> "Dulu, namanya ditakuti di sudut-sudut pasar. Tapi siapa sangka, pria yang dikenal keras dan tak kenal ampun itu kini berdiri di barisan para santri. Semua karena satu nama — Aisyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Menghadapi Masa Lalu
Bab 17: Menghadapi Masa Lalu
"Sesungguhnya Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
(QS. Al-Baqarah: 286)
---
Malam yang Penuh Renungan
Malam itu, Fahri duduk sendirian di dalam kamar pesantren, matanya kosong menatap dinding yang tertutup poster kaligrafi. Pikiran-pikirannya tak bisa berhenti berputar. Aisyah, kenangan masa lalu, dan seluruh perjalanan hidupnya sebelum datang ke pesantren... semuanya datang bertubi-tubi.
Meskipun ia sudah berusaha keras untuk meninggalkan masa lalu, perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Ada kesedihan yang selalu menyelimuti hatinya setiap kali ia memikirkan Aisyah. Namun, Fahri mulai memahami bahwa apa yang ia rasakan bukanlah kebetulan. Allah mengizinkan perasaan itu muncul untuk mengajarinya sesuatu yang lebih besar—kesabaran dan ikhlas menerima takdir.
Saat ia mencoba menenangkan dirinya, sebuah suara lembut terdengar dari pintu kamarnya. Fahri menoleh dan melihat Zainal berdiri di sana, tersenyum lebar.
"Ada apa, Fahri? Sepertinya kamu sedang dalam banyak pikiran," kata Zainal dengan nada prihatin.
Fahri menghela napas panjang dan mengangguk perlahan. "Aku merasa masih terikat dengan masa lalu. Aku masih memikirkan Aisyah, meskipun dia sudah menikah."
Zainal mendekat dan duduk di samping Fahri. "Fahri, perasaan itu wajar. Kamu manusia. Tapi ingatlah, Allah punya rencana yang jauh lebih baik untukmu. Kadang, kita harus melepas yang kita inginkan agar Allah memberikan yang lebih baik di waktu yang tepat."
Fahri menunduk, meresapi kata-kata Zainal. "Tapi, bagaimana kalau aku tidak bisa melupakan semuanya? Bagaimana jika kenangan itu terus menghantui aku?"
Zainal tersenyum. "Fahri, Allah tidak akan membiarkan hambanya terluka tanpa alasan. Jika kamu merasa kesedihan itu masih ada, berarti itu adalah ujian. Dan ujian itu akan semakin ringan seiring waktu. Tuhan tidak akan membebani kita lebih dari kemampuan kita."
Fahri merasa sedikit lebih tenang. Kata-kata Zainal mengingatkannya bahwa ia tidak sendiri dalam perjalanan ini. Di pesantren ini, ia dikelilingi oleh orang-orang yang saling mendukung. Perlahan, ia mulai memahami bahwa untuk melepaskan masa lalu, ia harus fokus pada langkah-langkahnya ke depan.
---
Meninggalkan Kenangan
Keesokan harinya, setelah sholat Dhuha, Fahri memutuskan untuk berjalan-jalan di halaman pesantren. Angin pagi yang segar menyapu wajahnya, memberikan ketenangan. Di bawah pohon rindang, Fahri duduk sejenak, merenung tentang apa yang baru saja ia alami. Ia mulai berusaha untuk melepaskan semua kenangan yang telah membuatnya terpuruk.
"Aisyah adalah bagian dari masa lalu," ujar Fahri dalam hati. "Aku harus melangkah maju dan tidak lagi terjebak dalam bayang-bayang masa lalu."
Hari demi hari, Fahri belajar untuk fokus pada tujuan hidupnya yang baru. Ia mulai aktif dalam kegiatan pesantren, memperdalam ilmunya tentang agama, dan menjalin hubungan yang lebih baik dengan teman-teman sesama santri. Di luar itu, ia juga belajar mengendalikan perasaan dan lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Tentu saja, ada masa-masa sulit di mana perasaan rindu pada Aisyah datang begitu saja. Namun, Fahri mulai menyadari bahwa ia harus menjalani hidupnya dengan penuh syukur, menerima segala yang telah terjadi, dan terus maju.
---
Bertemu dengan Ilham
Suatu hari, saat Fahri sedang duduk di perpustakaan pesantren, seorang santri baru bernama Ilham mendekatinya. Ilham adalah seorang pemuda yang baru saja masuk pesantren dan dikenal sebagai sosok yang ceria dan penuh semangat.
"Fahri, aku dengar kamu adalah salah satu santri yang cukup pintar di sini. Bisa bantu aku memahami beberapa kitab?" tanya Ilham dengan antusias.
Fahri tersenyum, meskipun sedikit terkejut. "Tentu, Ilham. Senang bisa membantu."
Mereka mulai belajar bersama. Ternyata, Ilham memiliki cara berpikir yang tajam, meskipun baru mengenal agama lebih dalam. Dia sering bertanya tentang hal-hal yang Fahri anggap sepele, tetapi itu membuat Fahri semakin menyadari bahwa ia perlu terus belajar dan tidak cepat puas dengan apa yang sudah ia ketahui.
Ilham juga sering mengajak Fahri untuk berbicara tentang hidup, tentang tujuan, dan tentang bagaimana mereka bisa menjadi lebih baik. Kadang, Fahri merasa nyaman berbicara dengan Ilham, karena pemuda itu tidak menghakimi dirinya atas masa lalu yang kelam.
---
Pada akhirnya, Fahri mulai menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ia menyadari bahwa Allah telah memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Perjalanan hidupnya di pesantren menjadi jalan untuk menemukan ketenangan hati dan kebahagiaan yang sejati.
Fahri tahu bahwa perasaan yang ia miliki terhadap Aisyah mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hilang, tetapi ia yakin bahwa itu adalah bagian dari proses pendewasaan dirinya. Ia kini lebih siap untuk menghadapi masa depan dengan hati yang lebih lapang, dengan harapan bahwa suatu hari nanti, Allah akan memberikan kebahagiaan yang lebih besar.
---
Dengan keyakinan yang semakin kuat, Fahri melangkah ke hari-hari yang akan datang, menghadapinya dengan hati yang penuh harapan. Ia tahu bahwa meskipun masa lalu membekas, masa depan yang lebih cerah selalu menunggu bagi mereka yang ikhlas menerima takdir-Nya.