Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Penyesalan yang Mendalam
Elyana memegang amplop itu erat-erat, merasakan berat kata-kata yang tertulis di dalamnya. Perasaannya campur aduk; ada harapan yang mulai tumbuh, namun juga penyesalan yang menyesakkan dada. Kata-kata itu bagaikan jembatan antara masa lalu dan sekarang, mengingatkan bahwa perasaannya terhadap Davin belum benar-benar mati, dan mungkin, masih ada kesempatan untuk memperbaiki segala kesalahan.
"Satria, aku—" Elyana terhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Aku harus pergi."
Satria menatapnya dengan mata penuh keprihatinan. "El, jika ada yang bisa aku bantu, kau tahu aku akan ada di sini."
Elyana mengangguk, sebuah senyuman tipis mengembang di wajahnya, sebagai ungkapan terima kasih. Ia menuruni tangga perusahaan dengan langkah cepat, menembus udara malam yang basah. Hujan semakin deras, namun Elyana merasa seolah langit pun ikut merasakan pergolakan batinnya. Ia ingin sekali berlari, merangkul kenyataan bahwa hidupnya bisa berubah, bahwa mungkin, hanya mungkin, ada harapan baru yang menanti.
Sesampainya di rumah, Elyana mengunci pintu dengan cemas, mengabaikan segala suara dan gerak di luar. Ruang tamu yang sepi, tanpa Davin, seakan mengingatkannya pada semua yang telah hilang. Tapi kali ini, ia merasa ada kekuatan yang mengalir di dalam dirinya—kekuatan untuk melawan rasa takut yang telah lama menguasainya.
Ia menatap foto-foto lama mereka, mengenang senyuman Davin yang penuh kasih. "Aku seharusnya lebih banyak mendengarkanmu," bisiknya, air mata mengalir tanpa bisa ia tahan. "Aku seharusnya lebih menghargai setiap momen kita."
Kata-kata dalam amplop itu masih terngiang di telinganya. "Aku selalu mencintaimu, dan aku berharap kesempatan kedua itu akan datang untuk kita." Betapa ironis, ia berpikir, bagaimana satu kalimat sederhana bisa mengguncang seluruh dunia yang telah ia bangun setelah kepergian Davin. Namun, di sinilah ia, berdiri di tengah-tengah kekacauan yang ditinggalkan oleh kesalahan dan penyesalan.
Elyana tahu, untuk bisa memulai lagi, ia harus menghadapi ketakutannya. Ia harus mengakui bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang keputusan-keputusan buruk di masa lalu. Ini adalah kesempatan untuk berubah, untuk menjadi versi dirinya yang lebih baik, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengenang cinta yang pernah mereka bagi.
Esok harinya, Elyana memutuskan untuk mengunjungi tempat yang paling berarti bagi mereka berdua—taman kecil yang sering menjadi tempat mereka berbagi cerita dan impian. Hujan semalam meninggalkan jejak basah di jalan, dan udara segar pagi itu seakan membangkitkan kenangan yang sempat terkubur.
Di sana, di bangku taman, Elyana duduk, merasakan keheningan yang penuh makna. Langit cerah di atasnya, sinar matahari menembus dedaunan. Seiring angin yang berhembus lembut, ia merasakan seolah Davin berada di dekatnya, memberikan kekuatan yang ia butuhkan. "Aku akan berjuang, Davin," katanya pada angin yang seolah membawanya ke tempat di mana harapan masih ada. "Untuk kita."
Mulai hari itu, Elyana mengubah hidupnya. Ia bertekad untuk membuka lembaran baru, mencari cara untuk memperbaiki hubungan dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk Satria, yang telah menunjukkan perhatian tulus padanya. Ia memutuskan untuk melanjutkan hidup, tidak hanya untuk menghormati cinta yang telah hilang, tetapi juga untuk menghargai dirinya sendiri.
Hari-hari berikutnya, Elyana mulai bekerja lebih keras, kembali mengunjungi kegiatan-kegiatan di perusahaan, dan membangun hubungan dengan rekan-rekan yang sebelumnya terabaikan. Ia belajar untuk mendengarkan dan menghargai, untuk tidak hanya memikirkan masa lalu, tetapi juga menghargai momen-momen yang hadir di hadapannya.
Meskipun penyesalan masih menghantui, Elyana tahu bahwa ia tidak sendirian. Ada banyak hal yang masih bisa ia lakukan untuk meraih kebahagiaan, bahkan jika itu berarti mulai dari awal.
Dengan hati yang lebih terbuka, Elyana menatap masa depan dengan harapan, percaya bahwa mungkin, suatu hari nanti, ia akan bisa merasakan cinta yang sama sekali berbeda—cinta yang lebih murni, lebih tulus, dan lebih nyata. Dan mungkin, itu adalah hadiah terbesar yang bisa ia berikan untuk dirinya sendiri.
Elyana duduk di ruang kerja Davin, mengamati setiap sudut ruangan yang penuh dengan kenangan. Di dinding, ada foto-foto mereka, beberapa di antaranya diambil di acara perusahaan, sementara yang lainnya di momen pribadi—senyum lebar Davin yang jarang ditunjukkan pada orang lain, ekspresi bahagia yang seolah menyimpan kebahagiaan mereka berdua. Namun, di balik kenangan itu, ada rasa sakit yang begitu dalam. Ia merasakan penyesalan yang seakan mematahkan tulangnya, membuatnya hampir tak mampu berdiri.
Elyana tidak pernah membayangkan bahwa di balik pernikahan kontrak mereka, terdapat rencana besar yang selama ini disimpan Davin. Ketika ia menggali lebih dalam ke dalam catatan yang ditinggalkan, ia menemukan sebuah dokumen penting yang mengungkapkan segalanya: rencana di balik pernikahan mereka bukan sekadar untuk menyelamatkan bisnis atau mencari solusi cepat dalam menghadapi masalah. Itu adalah langkah cerdas yang dilakukan Davin agar bisa menikahi perempuan yang dicintainya, Elyana, dengan cara yang tidak biasa.
Ternyata, Davin sudah lama mencintai Elyana, bahkan sebelum mereka bertemu kembali dalam urusan bisnis yang akhirnya mempertemukan mereka. Ia tahu bahwa Elyana bukan perempuan yang mudah untuk dijatuhkan hati atau diperdaya; ia adalah wanita cerdas dan berprinsip. Melihat bagaimana Elyana begitu mandiri dan tidak mempercayai orang dengan mudah, Davin memutuskan untuk membuat langkah yang bisa membuatnya dekat dengannya, meski tak sesuai harapan Elyana.
Davin menyadari bahwa untuk mendekati Elyana, ia harus membuat situasi yang tampak seperti sebuah kebutuhan, sebuah ikatan yang tidak bisa dihindari. Ide pernikahan kontrak itu muncul sebagai langkah pertama, sebuah cara untuk membuat Elyana tetap bersamanya tanpa menimbulkan kecurigaan atau kebimbangan. Namun, pernikahan itu ternyata membawa konsekuensi yang tidak diharapkannya. Elyana yang merasa terjebak dan tidak tahu latar belakang Davin yang sesungguhnya, menganggap hubungan itu hanya sebuah formalitas, sesuatu yang tidak bisa menjamin kebahagiaan.
Davin mengakui dalam catatannya bahwa ia terlalu cepat membuat keputusan besar itu, mengira bahwa langkah cepat dalam bentuk pernikahan kontrak bisa menjadi kunci untuk mendapatkan hati Elyana. Namun, niatnya yang tulus malah disalahpahami, dan akhirnya menjadi sebuah bumerang. Elyana, yang merasa terperangkap dalam kesepakatan yang tak jelas, memilih untuk mengakhiri pernikahan itu dan melanjutkan hidupnya. Baginya, cinta yang sejati tidak bisa dipaksakan.
Ternyata, di balik sikapnya yang dingin dan jarang menunjukkan emosi, Davin adalah pria yang mencintai Elyana dengan sepenuh hati. Ia mungkin salah dalam langkahnya, tetapi niatnya adalah untuk membuat Elyana tetap berada di sampingnya—meski tak ada jaminan bahwa itu akan berhasil.
Elyana, setelah membaca catatan itu, mulai melihat bahwa pernikahan kontrak itu adalah ide Davin yang sangat salah, namun dilandasi oleh cinta yang tulus dan mendalam. Meskipun langkah itu tidak berhasil mengungkapkan cinta mereka, Elyana menyadari bahwa di balik semua kebohongan, ada seorang pria yang benar-benar berusaha untuk menunjukkan rasa cintanya dengan caranya sendiri, walau cara itu keliru.
Mungkin, jika waktu bisa diputar kembali, pernikahan mereka akan memiliki awal yang berbeda. Namun, kenyataan bahwa Davin melakukan semua itu demi menyatukan mereka memberikan Elyana sebuah pelajaran tentang cinta, penyesalan, dan keberanian untuk memulai lagi—meskipun sekarang, tanpa Davin di sisinya.
...****************...