Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: "Harmoni Senja"
Malam itu, aroma masakan hangat memenuhi ruang makan. Suara denting sendok dan obrolan ringan menyelimuti keluarga kecil yang sudah lama tak berkumpul bersama. Raehan terus memperhatikan Leonel sepanjang makan malam, tak bisa menahan senyum kecil yang terus terukir di wajahnya. Seperti saat bayi, wajah Leonel masih terlihat imut, dengan mata besar yang berbinar setiap kali ia tersenyum.
"Leonel, kamu nggak berubah sama sekali sejak bayi," kata Raehan tiba-tiba sambil tersenyum lebar. "Masih imut seperti dulu. Wajahmu benar-benar nggak ada bedanya."
Leonel mendengus, tersipu, lalu menunduk. "Hah, kalau orang lain bilang gitu, aku senang. Tapi gara-gara wajah imut ini, aku sering kena cubit sama guru-guru di sekolah, tahu nggak? Mereka semua gemes lihat aku."
Semua tertawa mendengar keluhan Leonel yang setengah bercanda itu, bahkan Mila dan Arga ikut tersenyum. Suasana semakin cair, seolah tak ada lagi jarak di antara mereka. Momen itu penuh dengan canda dan tawa, membawa rasa kehangatan yang lama hilang dari rumah tersebut.
Setelah makan malam usai, Leonel berdiri dan berjalan ke kamarnya, sementara Raehan mengikuti dari belakang. Di kamar itu, cahaya lampu yang temaram memantul dari dinding kayu yang hangat. Raehan memperhatikan sekeliling, mata tertuju pada sudut ruangan di mana terdapat sebuah biola tua yang terlihat sudah lama tidak digunakan. Biola itu tampak rusak, beberapa bagian kayunya retak, dan senarnya sudah longgar.
Leonel mengambil biola itu dan memainkannya dengan hati-hati. Raehan, yang awalnya mengira biola itu sudah tak layak dimainkan, terkejut mendengar suara yang masih indah keluar dari senar-senarnya. Meski rusak, suara biola itu tetap memiliki harmoni yang memukau.
"Wow, Leonel... kamu masih bisa memainkannya? Itu luar biasa," kata Raehan kagum, matanya berbinar melihat kepiawaian Leonel.
Leonel tersenyum kecil. "Yah, biola ini memang sudah rusak, tapi aku masih suka memainkannya kalau lagi sendiri. Suara dari senar-senar yang lama seperti punya kenangan tersendiri."
Raehan mendekat, duduk di tepi kasur Leonel. "Kamu berbakat, Leonel. Permainan biolamu indah. Aku janji, kalau nanti aku punya cukup uang, aku akan belikan biola baru untukmu."
Leonel terkejut mendengar itu, lalu buru-buru menggeleng. "Jangan, Raehan. Biola itu mahal. Aku nggak mau membebanimu. Lagipula, biola ini sudah cukup buatku."
Raehan menatap Leonel dengan serius, tetapi penuh kehangatan. "Jangan khawatir soal harganya. Kamu layak mendapatkan yang terbaik. Aku serius, Leonel. Biola yang baru bisa membuka lebih banyak kesempatan buat kamu berkembang."
Leonel terdiam, merasa terharu dengan niat baik Raehan. Akhirnya, setelah beberapa saat, dia tersenyum kecil dan berkata pelan, "Baiklah, kalau memang kamu ingin membelikannya, aku terima. Tapi kamu nggak perlu buru-buru."
Raehan tersenyum puas. Ia merasa senang bisa memberikan sesuatu yang berarti bagi adiknya. Setelah itu, Leonel memainkan beberapa nada lembut di biola tuanya, menciptakan melodi tenang yang mengisi ruangan dengan damai. Suara senar-senar itu seperti membawa mereka ke dunia lain, dunia di mana tidak ada beban atau rasa sepi.
Setelah selesai bermain biola, Leonel duduk di tepi kasur, menatap keluar jendela yang sedikit terbuka, membiarkan angin malam yang sejuk masuk. Raehan, yang duduk di kursi di sudut kamar, merasa damai hanya dengan melihat Leonel menikmati momen itu. Suasana malam yang tenang dan alunan melodi biola tua menciptakan harmoni yang sempurna.
Akhirnya, ketika kantuk mulai menyerang, Raehan mengangkat tangan, meregangkan tubuh, lalu berdiri. "Oke, sudah waktunya tidur," ujarnya sambil berjalan menuju tempat tidur. Mereka berdua tidur di kamar yang sama, berbagi tempat tidur seperti saudara yang sudah lama tidak bertemu.
Di dalam kegelapan, Raehan memandangi langit-langit kamar, memikirkan hari-hari yang telah berlalu. Rasanya seperti baru kemarin ia meninggalkan desa ini, tetapi banyak yang telah berubah. Leonel, meski masih muda, sudah mengalami lebih banyak hal dari yang Raehan duga. Namun, di balik kesedihan dan beban yang ia pikul, Raehan bisa melihat kekuatan luar biasa dalam diri adiknya.
"Raehan," suara Leonel tiba-tiba memecah keheningan.
"Hmm?" sahut Raehan.
"Terima kasih... sudah peduli padaku. Aku nggak pernah merasa benar-benar sendiri sejak kamu pulang."
Raehan tersenyum dalam gelap, meski Leonel tidak bisa melihatnya. "Kamu nggak akan pernah sendirian, Leonel. Aku ada di sini untukmu."
Dalam keheningan malam, keduanya akhirnya terlelap, dengan rasa hangat keluarga yang semakin erat mengisi hati mereka.