Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Sebelum masuk waktu Maghrib, Aisyah dan Habibah sudah kembali ke rumah Halim.
Tadi mereka pergi sebentar untuk jalan-jalan di daerah sana. Tak lupa juga singgah ke taman danau.
Karena besok mereka sudah kembali ke kesibukan masing-masing. Habibah sudah masuk kuliah di kota. Sedang Aisyah memilih untuk membuka butiknya. Dia belum mau menemani Suaminya di Paris.
Untuk sementara waktu, biarlah dia menjauh dulu dari Suaminya. Entah apa yang terjadi, jika Suaminya tahu dia sudah nekat menikahkan Halim tanpa sepengetahuan Suaminya.
“Abang sama Kakak iparmu belum pulang, ya?”
Habibah melepas hijab syar’i-nya. Terlihat rambutnya yang bergelung. Rambutnya panjang, tampak dari gelungan rambut yang menonjol.
“Kayaknya belum, Ma.”
“Hemm. Penganten baru. Lagi pingin berduaan terus.”
Habibah terkekeh. “Tapi Bibah seneng, Ma. Bang Halim kelihatan banget bahagianya.”
Aisyah tersenyum tipis. Dia juga setuju dengan ucapan Habibah. Tapi ketika tiba-tiba teringat lagi dengan Suaminya, senyumnya langsung pudar.
“Haaaaaah.”
Habibah spontan menoleh ke arah Mamanya. “Ada apa, Ma?”
Aisyah menggeleng cepat. “Gak ada, Bah. Mama harap, Abangmu selalu bahagia tanpa takut kepikiran dengan Papa.”
Habibah manyun, dia kemudian menghela nafas. “Hemmm, gimana gak kepikiran, Ma?”
Aisyah menatap lekat manik mata Habibah. “Maksudmu, Bah?”
“Papa itu masih hidup, Ma. Mana mungkin Bang Halim gak kepikiran. Lagi pula, kalau kali ini Papa ikut campur tentang pilihan Bang Halim. Bibah gak segan untuk melawan.”
Aisyah mendesah lemah. “Semoga aja Papamu berubah ya, Bah. Gak egois lagi.”
“Hemm, iya, Ma. Insya Allah.”
......**......
Setelah sholat Maghrib di kafe, Halim dan Medina memutuskan untuk pulang. Karena besok, Medina masih sekolah. Sedang Halim masih cuti. Alasannya cuti bukan karena nikah, tapi sedang ada seminar di kampusnya.
“Masya Allah, Abang hebat bisa punya kafe. Kafenya bagus lagi. Cocok untuk anak muda, Bang,” ucap Medina mendekat ke telinga Halim.
Halim senyum-senyum. “Alhamdulillah, Dek. Abang masih punya 1 kafe lagi, dekat sama simpang 4 kampung kita.”
“Oh iya, Bang? Kafe tempat Nona biasa beli boba itu, ya?”
“Iya. Kayaknya bisa lah nanti kita kerja sama bareng Ibu. Ibu ‘kan pengusaha tempe, kafe kita butuh tempe untuk menu ayam penyet dan ayam lainnya. Nanti bisa kita atur, gimana caranya supaya ada yang kerja bantuin Ibu bikin tempenya.”
“Masya Allah. Ibu pasti seneng, Bang. Abang hebat, bisa jadi Guru, bisa buka kafe juga.”
Duh! Jantung Halim seperti sudah mau lompat saja ini. Istrinya terus memuji dia, gimana rasanya gak mau terbang?
“Kafe itu untuk tabungan kita, Dek. Dulu, buka kafe adalah tujuan Abang, yang harus Abang raih. Setelah ketemu Adek, Abang jadikan Adek sebagai prioritas untuk Abang raih. Sekarang, Abang gak perlu tujuan lagi. Karena tujuan Abang Cuma hidup bersama Adek. Bersama Anak-anak kita nanti.”
Ucapan Halim terdengar tulus sekali. Medina sampai speechless sesaat. Setelah itu matanya terasa panas. Tetapi dalam hati, dia mengaminkan ucapan Suaminya.
Medina mendekatkan duduknya, dia semakin mengeratkan pelukannya pada Halim. Sekarang, tidak ada lagi keraguan di hatinya, untuk mencintai Halim. Sama seperti Halim mencintai dirinya.
Halim sampai kaget sendiri. Dia melirik sebentar tangan Medina di atas perutnya, dengan senyum lebar yang terpatri.
Mereka akhirnya sampai di rumah Halim. Menyapa sebentar Mama dan Adiknya, setelah itu mereka langsung pergi ke rumah Widya.
Medina membawa motor Ibunya di depan, sedang Halim membawa motornya sendiri tepat di belakang Medina.
Malam ini, mereka memutuskan untuk tidur di rumah Medina dulu.
......**......
Pagi-pagi sekali, Halim sudah mengajak Istrinya untuk pulang ke rumahnya. Tak lupa Ibu Mertua juga ikut. Karena Aisyah dan Habibah sudah hendak berangkat.
“Dadah, Medina. Sayang banget, ya? Waktu kita gak ada untuk main bareng,” ucap Habibah sembari memeluk Medina.
Medina mengusap punggung Adik Iparnya itu. “Iya, Kak. Mudah-mudahan nanti, insya Allah ada ya waktunya.”
Aisyah dan Widya juga saling berpelukan dengan heboh. Doa yang sama mereka haturkan, agar segera bisa bertemu kembali.
“Nanti kapan-kapan bawa Istri dan Ibu Mertuamu ke rumah kita ya, Lim?”
Halim terkesiap. “Hah? Main ke rumah?”
‘Ngapain ke sana coba? Pasti ada Papa di sana.’
“Iya! Main ke rumah!”
Halim menatap objek lain, tidak mau menatap mata Mamanya. “Iya, Ma. Insya Allah.”
Aisyah memeluk Medina dengan sayang. Kata-kata nasihat pun dia sampaikan dengan lembut, pada Menantunya yang masih terlalu muda ini.
Habibah mendekat dan menyalim tangan Halim. “Abang! Abang bakalan rindu ‘kan sama aku?”
Halim menoyor pelan kepala Habibah. “Hiii, siapa yang mau rindu sama kamu?”
Habibah mencebik. “Ish, Abang ‘kok gitu? Selama tinggal di sini, aku yang udah masakin Abang! Uuuhh. Padahal aku baik, ya? Gak campurin racun ke makanan Abang.”
Halim terkekeh. “Hahaha, iya-iya cerewet!”
Halim mengeluarkan hp dari kantung celananya. Lalu dia terlihat sibuk sebentar dengan benda itu.
Tring! Bunyi notifikasi masuk ke hp Habibah. Habibah segera mengecek. Matanya langsung berbinar, ketika tahu Halim ternyata mentransfer uang sama dia.
“Ya Allah, Abang? Makasih banyak uang jajannya!” Habibah menghambur memeluk Halim.
Halim mengusap kepala Habibah. “Sama-sama. Belajar yang benar, ya? Biar cepat jadi Dokter!”
“Cepat launching ya keponakan aku.”
Halim langsung melirik pada Medina yang sudah terlihat salah tingkah.
Setelah ucapan selamat tinggal sudah cukup, Aisyah dan Habibah pun berangkat. Mereka menggunakan mobil yang dikendarai oleh Aisyah.
Halim, Medina, dan Widya melambaikan tangan saat mobil itu mulai melaju.
“Medi udah bisa berangkat sekarang, Nak?”
Medina tersentak. “Eh, iya, Bu. Udah jam 7.”
Widya manggut-manggut. “Nanti pulang sekolah langsung ke rumah, ya? Beres-beres.”
Halim dan Medina sama-sama mengangguk. “Iya, Bu.”
“Ya udah. Ibu pulang dulu, ya?”
Widya langsung pulang dengan motornya.
Medina berbalik dan berjalan menuju teras rumah. Dia hendak mengambil tasnya. Di ikuti Halim yang berjalan tidak jauh darinya.
“Adek, Abang antar, ya?” Halim menyentuh kepala Medina.
Medina berdiri menghadap Suaminya. “Tapi, nanti apa kata orang di sekolah, kalau Abang antar Adek?”
Halim terdiam.
Medina tersenyum. Dia menyentuh sekilas perut Halim. “Lagi pula, Abang ‘kan masih cuti?”
“Jadi Adek pergi sama siapa?”
“Adek numpang aja sama Nona, Bang. Tadi malam Adek udah kabarin dia. Abang jangan khawatir, ya?” Medina tersenyum dengan manis sekali.
Halim terdiam. Kalau Medina manis kali seperti ini, bagus tidak usah berangkat sekolah. Lebih baik ke kamar saja. Ya ‘kan? Ya ‘kan?
Halim membalas senyuman Medina. Dia tidak sengaja menjatuhkan pandangannya ke jari Medina yang ada cincin.
Halim pegang tangan kanan Medina. “Adek, Murid sekolah gak boleh pakai perhiasan.”
Medina membelalak. “Eh, iya!”
Halim tertawa. Dia cubit ujung hidung Medina. “Iiihh, Muridnya udah di pinang orang, ya?”
Medina ikutan tertawa. Dia tutup mulutnya dengan tangan kanan.
“Hihi, iya. Yang meminang, Gurunya sendiri.”
Mereka berdua terkekeh-kekeh.
“Abang, kalau cincin ini dilepas dulu, apa gak papa?”
Halim menggeleng pelan. Dia pegang pipi Medina. “Gapapa, Istri Abang. Tanpa cincin pun, Adek tetap Istri Abang di hadapan Allah.”
Bluuusshh. Pipi Medina langsung merona merah. Dia menunduk dan mengulum senyum.
“Assalammu’alaikum! Mediiii!” Nona berteriak dari luar pagar. Sambil melambaikan tangan pula.
“Wa’alaikumsalam. Abang, ini cincinnya simpan dulu, ya?” Medina melepas cincinnya, lalu memberikannya pada Halim.
“Adek berangkat dulu, ya?” Medina buru -buru menyalim tangan Halim.
Halim melirik Nona. Mata Nona itu melotot terus dari tadi memperhatikan mereka.
‘Ck! Dasar! Padahal aku mau cium Istri aku. Gak jadi gara-gara ada wartawan di luar pagar.’
Halim tersenyum saat Medina melambaikan tangan ketika berangkat. Langsung manyun ketika Medina mulai menjauh.
‘Iihh, sunyinya dunia ini tanpa Istri aku. Ck! Hampa kali! Ini gak bisa dibiarin!’
Halim! Halim! Padahal Istrinya Cuma pergi ke sekolah? Ck! Ck!
.....**.....
Assalamu'alaikum Pembaca akoh ☺️ .
Selamat membaca ya.
Jangan lupa like nya ya Weh.
Maaf ya, akoh belum balasin komentar Kelen, Weh. Makasih udah berkomentar ya, weh. Wkwk.
Akoh sakit kepala lagi ini. Macuk angin abis ngukur jalan. Ya Allah, akoh mengeluh terus, Weh. Akoh gak setangguh kalian para pembaca novel akoh.❤️
Hohoho. Akoh malah curhat 😭
Akoh pada kalian, sarang heo love muah muah 💐❤️🤟🏻