Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6-Sejenak Bercengkrama
...Jangan hanya karena lelah menunggu, kamu memilih kereta yang tidak sesuai dengan tujuanmu....
...###...
Aku merebahkan diri di pangkuan Mama yang tengah duduk selonjoran, tak segan beliau pun membelai suraiku dengan penuh kelembutan. Status kami memang menantu dan mertua, tapi beliau memperlakukanku selayaknya anak sendiri.
"Dari dulu Mama pengen banget punya anak perempuan, alhamdulilah sekarang Mama punya kamu," katanya sembari tersenyum lebar.
Aku menatap lekat wajah beliau, dan memberikan senyum terbaik, tak lupa kugenggam pula kedua tangannya. "Nikah lagi aja, Ma," kelakarku diakhiri dengan kekehan.
Mama tertawa dan menjawil hidungku tanpa izin. "Fariz ngamuk kalau Mama nikah lagi."
Kami pun saling menatap dan tawa kami pecah tak terbendung. Membayangkan bagaimana Bang Fariz akan mengomel sepanjang hari karena Mama nekat menikah lagi.
"Memangnya Mama sudah ada calon?" tanyaku dengan alis yang dinaik-turunkan.
Mama menggeleng. "Gak ada niatan buat nikah lagi. Mama sudah sangat bersyukur dengan kehidupan saat ini. Lihat Fariz dan kamu hidup rukun aja bahagia banget," katanya seraya tersenyum manis.
"Kalau kesepian, Mama nginep aja di sini," sahutku yang langsung dibalas anggukan.
Aku bangkit dan memilih duduk di sisi beliau, takut kakinya pegal-pegal jika terlalu lama.
"Kalau ada apa-apa cerita sama Mama. Apalagi kalau soal Fariz yang kadang-kadang kelakuannya bikin jengkel hati."
Aku terkekeh lantas berujar, "Aku mau tanya sesuatu sama Mama, boleh?"
"Boleh, satu pertanyaan seratus ribu," candanya sembari tertawa kecil.
Aku terdiam beberapa saat. Mendadak kaku kala mendengar kata seratus ribu. Uang lembaran berwarna merah yang kerapkali jadi idaman orang-orang itu sangat jarang kupegang, sebab aku lebih sering mengantongi recehan, logam.
Ternyata hatiku begitu mudah goyah dan tersinggung. Hanya karena hal sesederhana ini saja mendadak melow. Seharusnya aku bersyukur, bukan malah berkeluh-kesah dan kufur.
Astagfirullahaladzim!
"Kenapa? Kok malah bengong."
Aku terkesiap lantas menggeleng cepat. "Gak papa."
Tanpa diduga Mama mengelus puncak kepalaku dan mengarahkannya untuk bersandar di bahu beliau. "Apa ada yang mengganjal hati kamu, Nak?"
Aku mengangkat kepalaku sedikit untuk bisa bersitatap dengan beliau. "Sejak kapan Bang Fariz hobi koleksi uang logam?"
Mama mendaratkan kecupan singkat di dahi, lantas memintaku untuk duduk tegak menghadapnya. "Mungkin dua atau tiga tahun ke belakang."
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Cukup tidak percaya, sebab aku mengira kebiasaan tersebut memang sudah mendarah daging dari sejak Bang Fariz masih berusia belia.
"Sebanyak apa sih, Ma koleksi recehannya? Tangan aku kapalan kalau ngitung logam mulu," aduku yang malah disambut gelak tawa.
"Celengan ayamnya masih banyak di rumah, Fariz akan bongkar kalau stok receh yang dia punya habis," cetus Mama berhasil membuatku membisu.
ALLAHUAKBAR!
Aku benar-benar tak habis pikir. Ada yah manusia sejenis Bang Fariz?!
Speechless.
"Mama harap kamu bisa mengerti dan memaklumi. Meskipun Mama tahu ini gak mudah buat kamu lalui," cetusnya.
Aku mengangguk singkat. Berusaha untuk meyakinkan beliau bahwa aku mampu melewati semua ujian ini.
Satu hal yang selalu aku ingat. Menikah itu bukan penyelamat hidup, melainkan pergantian fase dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Jadi, tidak ada jaminan pasti bahwa setelah menikah akan hidup tenang dan terbebas dari permasalahan.
Semuanya masih sama, hanya hak dan kewajiban kami saja yang bertambah. Jadi ya, kalau ada badai dan angin menerjang itu memang sudah menjadi hukum alam. Nikmati saja, cepat atau lambat pasti akan berlalu juga.
"Mama jangan banyak pikiran yah," kataku mengingatkan beliau.
Beban pikiran akan mempengaruhi kesehatan beliau, dan aku tak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk padanya.
"Rukun-rukun yah, kalau ada apa-apa bicarakan baik-baik. Jangan mencari kebahagiaan di luar," pesannya lantas memelukku dengan sangat erat.
Aku mengangguk mantap dan mengiyakan.
Seperti ada ketakutan dan kecemasan yang saat ini tengah beliau rasakan. Mungkin efek samping dari perceraian yang dulu beliau alami masih membekas sampai sekarang ini.
Perpisahan karena adanya orang ketiga memang akan memberi trauma tersendiri. Bahkan mungkin bayang-bayang masa lalu menyakitkan itu akan terus berputar dan sulit dienyahkan.
Aku tahu ini bukanlah hal yang mudah, tapi Mama berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu dan kuat untuk bertahan. Bahkan kehidupan beliau sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin ini yang dinamakan dengan, selalu ada hikmah di setiap musibah.
"Mama mau makan siang sama apa? Biar aku masakin," tanyaku setelah pelukan di antara kami terlepas.
Berusaha untuk mengalihkan perhatian dan mengubah topik pembicaraan.
"Apa aja, masakan kamu selalu enak," sahut beliau membuatku tersipu malu.
"Oh, ya nanti agak sorean kita jalan-jalan sebentar yah. Quality time bareng Mama Mertua."
"Aku izin dulu sama Bang Fariz yah, Ma," sahutku.
Mama menggeleng cepat. "Biar Mama yang ngomong sama Fariz. Kalau kamu yang izin, pasti gak akan dibolehin!"
Aku meringis dan tersenyum tipis. Lalu setelahnya mengangguk kecil.
Praduga beliau memang benar adanya. Mendapat izin keluyuran dari Bang Fariz itu sebuah kemustahilan, kecuali aku pergi bersama dengan dirinya. Selain itu tidak diperkenankan, sekalipun dengan mamanya sendiri.
Bang Fariz memang over protective, over pelit, dan over perhitungan. Semuanya dipertimbangkan, apalagi jika menyangkut soal keuangan. Semula aku merasa terkekang, tapi makin ke sini, aku mencoba untuk mengerti dan memaklumi.
Perangai Bang Fariz memang santai, tapi jika sudah menyangkut izin tidak bisa sembarangan. Dia memiliki kecemasan berlebih jika aku bepergian tanpa dampingan darinya. Entah karena apa, aku pun kurang mengetahui.
Seingatku Bang Fariz dulu pernah berkata, "Jangan pergi ke mana-mana tanpa izin dari Abang, dan Abang berhak tahu ke mana saja kaki kamu melangkah. Apa yang kamu lakukan, kelak akan Abang pertanggungjawabkan."
Maka dari itulah, aku selalu berusaha untuk patuh. Sebab, aku tak ingin memberatkannya saat hari penghisaban kelak. Setidaknya kalau aku menyusahkan di dunia, jangan sampai juga aku menyusahkan Bang Fariz di akhirat.
"Antisipasi Fariz itu emang kelewatan, dia gak bermaksud untuk mengekang, dia hanya takut kehilangan," tutur Mama memecah keheningan.
"Iya, Ma aku paham," sahutku.
"Sabar-sabar yah kamu ngadepin Fariz."
Aku mengangguk dan tersenyum lebar.
Aku sudah memutuskan untuk memilih Bang Fariz sebagai imam. Baik-buruknya harus bisa kuterima dengan penuh keikhlasan. Jalan hidup sudah ditakdirkan, dan tugasku hanya sekadar menjalankan.
Pernikahan itu selayaknya sekolah, tempat belajar. Setiap hari yang dilalui pasti penuh pembelajaran, ada saja rintangan, tapi aku harus sadar bahwa seperti inilah kehidupan. Harus terus belajar agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik di masa mendatang.