Di hancurkan berkeping-keping oleh suaminya dan juga ibu mertuanya, kehidupan Laras sangat hancur. selain harus kehilangan anak keduanya, Laras di serang berbagai ujian kehidupan lainnya. Putranya harus di rawat di rumah sakit besar, suami mendua, bahkan melakukan zina di rumah peninggalan orantuanya.
Uluran tangan pria tulus dengan seribu kebaikannya, membawa Laras bangkit dan menunjukkan bahwa dirinya mampu beejaya tanpa harus mengemis pada siapapun. Akan dia balaskan semua rasa sakitnya, dan akan dia tunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Sehebat apa luka yang Laras terima? apakah dia benar-benar membalaskan rasa sakitnya?
Yuk simak terus ceritanya sampai habis ya 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di ejek
Selesai makan siang. Laras mengantarkan Nando ke rumahnya, sepanjang perjalanan Nando hanya mengeluarkan suaranya jika memang di perlukan saja. Dari arah depan Aiman mengemudikan mobil milik Nando, kondisi tangan Nando yang terbungkus perban tidak memungkinkan untuk menyetir, padahal Nando sendiri tidak masalah jika harus mengemudi sendirian.
Saat makan siang pun, Nando hanya memberengut kesal karena ia sudah membayangkan Laras akan menyuapinya, semua bayangannya sirna karena Aiman yang menggantikannya.
'Awas aja tuh duda, gue sunat lagi tau rasa loe!' Batin Nando kesal.
Kondisi Nando sudah berangsur pulih, kedua orangtuanya pun membebaskan putra semata wayangnya itu pergi kemanapun yang ia mau. Dari kejauhan pun Rafli tetap memantau putranya.
Sesampainya di rumah megah dengan pagar menjulang, Laras memarkirkan mobilnya di halaman luas dengan air mancur di tengah-tengahnya. Laras berdecak kagum melihat desain rumah yang unik dan juga cantik, Aiman mengetuk kaca mobil Laras meminta Nando turun.
Knockkk .. Knockkk ..
"Turun, udah sampai nih." Ucap Aiman.
Nando menurunkan kaca mobilnya, dia menyembulkan kepalanya dengan wajah songongnya.
"Ogah!" Ketus Nando.
"Turun, Nando. Kasihan Langit pasti nungguin di sekolah, udah dianterin pulang ngelunjak pula." Kesal Aiman, lama kelamaan kesabarannya menipis menghadapi orang gila seperti Nando.
"Kalian ini dari restoran ribut mulu deh, udah cepetan! Nando turun!" Tegas Laras.
Akhirnya senyum mengembang terbit dsri bibir Aiman, Nando turun dari dalam mobilnya dengan wajah di tekuk. Aiman segera masuk ke dalam mobil, dia mengambil alih kemudia dan menyuruh Laras duduk di samping kemudinya.
"Ras, gak mampir dulu?" Tanya Nando basa-basi, dia tak ingin Laras pergi begitu saja karena masih ingin menikmati banyak waktu dengannya.
"Maaf ya, aku gak bisa mampir. Sampaikan salamku pada tante Alfi, lain kali aku mampir sama Langit." Ucap Laras.
"Yasudah, hati-hati di jalannya. Kalau tuh Duda gangguin, lapor sama babang Nando." Ucap Nando menunjuk Aiman dnegan memajukan dagunya.
"Iya- iya, bye." Laras melambaikan tangannya begitu Aiman memundurkan mobilnya.
Nando membalas lambaian tangan Laras, Alfi keluar dari dalam rumahnya menghampiri Nando, pelayan memberitahukan dirinya bahwasannya sang Putra diantar pulang oleh orang lain. Alfi khawatir Nando kembali kambuh, meskipun sudah dinyatakan membaik belum tentu putranya itu sembuh seratus persen.
"Nando, kamu gapapa kan, Nak?" Tanya Alfi khawatir.
"Gapapa kok, Ma. Emangnya kenapa?" Nando mengernyitkan dahinya saat mendapati wajah khawatir ibunya.
Netra Alfi tertuju pada tangan putranya, seingatnya luka di tangan Nando sudha sembuh. Tetapi sekarang tangan itu kembali di balut perban.
"Tangan kamu kenapa? Kamu gak bikin kekacauan lagi kan?" Cecar Alfi.
"Ya Allah, Nando udah sehat, Ma. Nanti aku jelasin semuanya, sekarang Nando lagi bete." Nando merangkul bahu ibunya membawanya masuk ke dalam rumah.
****
Selang 25 menit. Aiman dan Laras sudah sampai di area sekolah, Laras keluar dari dalam mobilnya berjalan menghampiri Langit dan juga gurunya yang tengah berdiri tak jauh dari gerbang.
"Selamat siang, Bu." Sapa Laras tersenyum.
"Selamat siang juga, Bu Laras." Balas Guru yang mendampingi Langit.
Grep.
Langit memeluk Ibunya, matanya berkaca-kaca dengan wajah memerah. Laras berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Langit, di tatapnya wajah Langit dengan mata yang sudah mengembun, hanya sekali kedip saja bisa di pastikan air matanya akan luruh saat itu juga.
"Anak Ibu kenapa, hemm?" Tanya Laras.
"Mohon maaf sebelumnya, saat menunggu Ibu datang ada beberapa anak yang menceritakan orangtuanya, saat mereka bertanya kenapa Langit tidak pernah diantar oleh ayahnya membuat Langit sedih. Ada juga beberapa anak yang mengejek Langit, saya sebagai Guru disini mewakili para murid yang mengejek Langit, meminta maaf sebesar-besarnya. Saya sudah menegur anak-anaknya dan juga membicarakannya dengan orangtua bersangkutan, demi kenyaman Langit di sekolah." Ucap Guru Langit dengan sopan.
Laras menanggapi permintaan maaf dari Guru Langit dengan tersenyum, ia sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. sebagian banyak murid di sekolah ini diantar oleh orangtuanya masing-masing, wajar saja jika Langit pula merasa sedih.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya memakluminya, lagipula mereka masih anak kecil yang pastinya tidak begitu paham apa yang di ucapkannya itu menyakiti atau tidaknya pada orang lain." Ucap Laras.
Laras bercakap-cakap dengan Guru langit sebentar, setelah itu dia berpamitan dan membawa putranya masuk kedalam mobil. Begitu masuk, Langit memekik kegirangan saat mendapati Aiman tengah duduk di kursi kemudi. Langit memeluk Aiman dari arah belakang, keduanya nampak akur bak seorang ayah dan anaknya.
Hati Laras begitu nyeri saat mengetahui anaknya di ejek, tetapi ia berusaha tetap tegar di hadapan Langit agar anaknya itu tidak semakin sedih.
"Om Superman!" Pekik Langit.
"Woah, jagoan Om makin ganteng aja. Tapi kok, mukanya basah gitu? Jagoan Om lagi sedih ya?" Tanya Aiman saat membalikkan tubuhnya melihat kearah belakang.
Langit pun membisikkan sesuatu di telinga Aiman, Laras yang penasaran mendekatkan kupingnya agar bisa mendengar bisikan tersebut.
"Ihhh, ibu jangan nguping! Ini urusan laki-laki, Ibu kan perempuan jadi tidak boleh tahu." Protes Langit.
"Oh, main rahasia-rahasiaan ya sama Ibu. Oke, Ibu gak bakalan nguping." Laras kembali memundurkan tubuhnya menatap kedua manusia beda generasi tengah berbisik itu, entah apa yang mereka bahas sampai Aiman tersenyum.
Cukup Lama Langit dan Aiman saling berbisik, dirasa sudah selesai keduanya bertos membuat kening Laras mengernyit.
"Jangan kasih tahu Ibu ya, Om." Ucap Langit.
"Beres itu mah." Ucap Aiman dengan mantap.