Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sahabat
Jalan pulang ini enggak seperti yang gue kira, tapi tetap saja gue gugup dan tangan gue gemetaran. Sebagian dari diri gue masih enggak percaya kalau gue lagi jalan bareng Anan.
Gue sengaja mengikuti dengan jarak satu langkah di belakang dia biar enggak harus hadapi wajah gantengnya yang bikin gue lemes.
Tapi ya, mata gue tetap saja melirik lengan kekar dan kaki atletiknya. Main bola memang bikin dia makin keren. Tubuhnya bikin dia kelihatan kuat banget. Gue memperhatikan dia sambil bengong, dan pas dia sadar, gue langsung menunduk malu. Anan melirik dari balik bahunya sambil senyum nakal, bikin gue susah napas.
Kenapa sih dia harus seganteng ini?
Kenapa?
Gue jadi badmood, dan akhirnya gue fokus melihat jalan di samping kita berdua. Di sepanjang jalan Anan asyik main HP. Begitu sampai depan rumah gue, suasananya jadi agak canggung.
Dia berhenti di samping gue, terus mengusap rambutnya. "Udah sampai goa lo, penyihir."
"Berhenti manggil gue gitu, deh."
"Pasti, kalau lo rajin nyisir tuh rambut."
Langsung sesak.
Gue buru-buru merapikan rambut gue yang berantakan pakai tangan, berusaha buat kelihatan rapi. "Ini karena hujan tadi."
Anan menyengir. "Ya, terserah lo aja... penyihir."
“Hiiih!”
Anan mengecek HP, seolah lagi lihat jam. "Masuk gih, sebelum Nyokap lo keluar dan nyeret lo masuk."
"Nyokap gue gak bakal kayak gitu, dia tahu siapa anaknya," jawab gue dengan nada sombong. "Dia percaya sama gue."
Dan seakan dia dengar suara Nyokap dari dalam rumah.
..."Zielle?"...
"Sial!" Gue langsung panik. "Ehm... makasih, ya, ya udah, bye." Gue buru-buru balik badan dan jalan ke pintu.
"Barusan lo bilang kalau Nyokap lo tahu anaknya siapa?"
..."Zielle?"...
Gue balik lagi menghadap dia. "Shhhh!" Gue kasih kode pakai dua tangan biar dia cepat pergi. "Cepat deh! Bye!"
Anan ketawa sambil pamerkan deretan giginya yang sempurna. Senyumnya cakep banget, gue bisa saja melihat itu semalaman, tapi Nyokap gue bentar lagi keluar buat ribut sama gue. Anan mengangkat tangannya bikin tanda, "Oke, gue cabut, penyihir."
"Sekarang gue punya julukan, ya?"
Dia menyengir sombong. "Kreatif, kan, gue?"
"Gue juga kreatif, Pangeran." Baru saja julukan itu keluar dari mulut gue, dan gue langsung menyesal.
Pangeran?
Serius, Zielle?
"Gue suka julukan itu."
Ya jelas, lah, lo suka, dasar sombong!
..."ZIELLEEE!!!"...
Gue balik badan lagi dan kali ini dia benaran pergi, langkahnya makin jauh pas gue buka pintu. Gue masuk dan bersandar di pintu, senyum bodoh muncul di wajah gue. Tadi seru banget jalan bareng Anan, cowok impian gue, dan masih enggak percaya.
“Zielle Pertiwi Kurnia Dewi!"
Lo tahu, lo dalam masalah besar kalau Nyokap lo sudah teriak manggil pakai nama lengkap.
"Halo, mama sayang," jawab gue dengan senyum paling manis yang bisa gue tunjukkan.
Dewi Kurniasih itu wanita pekerja keras, pintar, dan penuh dedikasi. Dia orang terbaik yang pernah gue kenal, tapi kalau soal jadi ibu, dia bisa super ketat. Walaupun dia enggak sering di rumah karena pekerjaannya, dia perawat, pas lagi di rumah dia suka banget mengontrol dan bikin semuanya teratur.
"Gak usah manis-manis gitu, mama-mama sayang apaan." Nyokap kasih jari telunjuknya ke gue. "Ini udah jam sepuluh. Dari mana aja?"
"Zielle kira kita udah sepakat kalau boleh pulang maksimal jam sebelas selama liburan."
"Cuma malam Minggu," tegasnya mengingatkan, "Itu juga kalau kamu kasih tahu Mama lagi di mana dan sama siapa."
"Zielle mampir ke toko roti, beli donat, dan..."
"Toko roti tutup jam sembilan!"
Gue berdehem. "Zielle belum selesai ngomong. Terus Zielle makan donatnya di luar."
"Kamu benaran berharap Mama percaya itu?"
Gue pasang tangan di pinggang. "Memang gitu, kok, Ma. Mama tahu, kan, anak Mama kayak gimana, ngapain lagi coba Zielle?"
Padahal ada cowok yang menciumi leher gue di kuburan.
Mata Nyokap mulai menyipit. "Semoga saja kama gak bohong, Zielle."
"Gak berani, Ma." Gue peluk dan cium pipinya.
"Makan sana! Mama udah taruh di kulkas," katanya dengan nada yang mulai datar. "Habis itu kamu naik, kasih makan anjingnya . Dia udah kelayapan di rumah dari tadi, kelihatan lesu banget."
"Aww! Atau mungkin dia lapar?"
Habis hangatkan dan habiskan makanan gue, gue naik ke kamar, Anoi langsung lari menyambut gue.
Tiap hari makin gede saja dia. "Halo, anjing ganteng, imut, dan berbulu kesayangan gue." Gue elus kepalanya lembut. "Siapa sih anjing paling lucu sedunia?" Anoi menjilat tangan gue. "Bener banget, lo lah yang paling lucu."
HP gue bunyi dari saku jaket, gue buka pintu kamar pakai kaki, terus mengecek pesannya. Dari Gori, sahabat terbaik gue. Sudah beberapa hari enggak ketemu dia karena gue banyak habiskan waktu sama Niria, dan dua orang itu memang lagi enggak akur.
...📩...
^^^Gori: Masih hidup?^^^
Gue: Ya, ada apa?
Nada dering telepon gue langsung bunyi, dan gue buru-buru angkat.
...📞...
^^^"Halo, Zee,"^^^
sapanya semangat. Gori memang selalu panggil gue Zee, ya sebutan buat sahabat.
"Halo, Gor."
^^^"Sebelum kita ngomong lebih jauh, si cewek aneh, enggak lagi bareng lo, kan?"^^^
"Enggak, Niria kayaknya lagi di rumahnya."
^^^"Akhirnya... gue udah kangen, sampai-sampai hampir lupa muka lo."^^^
"Baru empat hari, Gor."
^^^"Itu lama banget. Jadi, gimana kalau besok kita nonton maraton, Lovely Runner?"^^^
"Sumpah lo belum nonton episode barunya sama sekali?."
^^^"Sumpah deh."^^^
Gue jalan keliling kamar sambil mikirin tawarannya.
"Oke, deal."
^^^"Di rumah lo atau rumah gue?"^^^
Gue melirik kalender di dinding.
"Di rumah gue aja, Nyokap kebagian shift dobel besok, dan TV gue lebih gede."
^^^"Siap, sampai besok, Zee."^^^
"Oke."
Gue senyum ke HP, keingat dulu kalau pernah berpikir gue naksir sama Gori. Dia satu-satunya cowok yang sering gue ajak mengobrol dan habisin waktu bareng. Tapi gue enggak pernah berani merusak persahabatan kita gara-gara perasaan yang enggak jelas.
Gori itu cowok yang manis, pemalu, dan ganteng dengan caranya sendiri, beda jauh sih sama Anan yang bikin siapa pun klepek-klepek. Gori suka pakai kacamata dan topi terbalik yang enggak pernah dia lepas. Rambut kasarnya yang berantakan selalu tertutup sama topi itu.
Tanpa sadar, gue dekati jendela. Kira-kira Anan lagi nongkrong di halaman enggak, ya, mencuri Wi-Fi gue?
Jantung gue berdebar membayangkan dia duduk di kursi dengan laptop di pangkuan sambil pasang senyum sombongnya yang menyebalkan itu.
Pas gue buka gorden, yang gue lihat cuma kursi kosong dengan sisa-sisa tetesan hujan sore tadi di atasnya.
Gue melirik ke rumahnya Anan. Dari jendela kamar gue, pemandangan ke sana cukup jelas soalnya dia suka biarkan tirai kamarnya terbuka. Kadang gue mikir dia sengaja biar gue bisa mengintip. Gue lempar pandangan ke jendelanya. Lampunya nyala, tapi Anan enggak kelihatan.
Gue mendesah kecewa. Hampir saja gue menyerah, tapi tiba-tiba dia muncul, melepas kaosnya dari atas kepala. Gue langsung memerah melihat perutnya yang kencang banget.
Perut rata yang padat...
Lengan yang berotot...
Tato-tatonya...
Dan garis V itu di perut bagian bawah...
Tiba-tiba kamar gue jadi panas.
Gue buru-buru menundukkan kepala, malu. Tapi tetap saja, gue mengintip dia sekali lagi. Dan pas gue melirik, Anan ternyata sudah berdiri di depan jendela, dan dia lagi menatap gue langsung!
Sial!
Gue cepat-cepat jatuhkan badan ke lantai, terus mendorong badan gue jauh dari jendela. Anoi cuman memperhatikan gue dengan kepala miring, bingung sambil keluarkan lidahnya. "Anoi, jangan lihatin gue kayak gitu," bisik gue serius.
HP gue bunyi, bikin gue kaget setengah mati. Gue berdoa semoga saja bukan Anan yang mau mengejek gue soal kejadian tadi.
Dengan tangan gemetar, gue buka pesannya.
...📩...
^^^Anan: Lo suka sama yang lo lihat?^^^
Gue senyum sambil mengetik.
Gue: Enggak, gue cuma lihatin bulan doang kok.
^^^Anan: Enggak ada bulan, lagi mendung.^^^
Aduh, bego banget gue!
Gue: Gue cuma ngecek, takut ada yang nyolong Wi-Fi gue.
^^^Anan: Sinyal lo gak sampai sini.^^^
Gue: Ya, cuma ngecek aja.
Lama enggak ada balasan. Gue kira dia sudah enggak bakal balas lagi, jadi gue langsung mandi dan ganti baju tidur. Keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut, gue melirik HP dan ada pesan baru masuk.
^^^Anan: Kenapa gak lo langsung ke sini aja biar benar-benar yakin?^^^
Chat itu sudah masuk lima menit yang lalu, dan gue cuma bisa melongo.
Dia mengajak gue ke rumahnya?
Jam segini?
Apa dia memang lagi mengundang gue buat…?
Handuk yang gue pegang langsung jatuh ke lantai.
Enggak.
Gue memang masih polos, tapi bukan berarti gue bodoh. Gue bisa mengerti kode-kode kayak begini.
Tiba-tiba, ada pesan lagi yang masuk, bikin gue lompat.
^^^Anan: Lucu banget ngelihat lo panik. Udah sana tidur, Gurita Penguntit.^^^
Jadi cuman bercanda?
Gue enggak yakin. Anan Batari barusan ajak gue ke kamarnya dengan cara yang halus buat… ya, buat sesuatu, apalah itu. Dan yang bikin gue bingung banget adalah kalau tadi gue malah mikir panjang bukannya langsung lari ke kamarnya. Padahal ini kesempatan bagus buat kasih pelajaran ke dia.
Gue ternyata cuman bisa ngomong doang, sama kayak yang Niria sering bilang. Banyak gaya, tapi pas saatnya tiba, gue malah keder.
Bodoh banget, lo, Zielle.