"Bagaimana rasanya jatuh cinta dengan wali yang ditugaskan oleh ayah saya?"
Amara yang muda dan cantik memiliki kehidupan yang bahagia dan sempurna; ia dicintai oleh orang tuanya, sukses dalam studinya, dan telah menjadi direktur perusahaan sejak usia sembilan belas tahun.
Namun, di balik permukaan yang di irikan semua orang itu, ada sesuatu yang membuatnya sedih. Melihat pria yang dikaguminya sejak kecil menikah dengan wanita lain, Amara yang sombong hampir tidak bisa menyembunyikan rasa sakit dan kesedihan di hatinya.
Di sisi lain, Akmal yang tahu dirinya tidak boleh jatuh cinta, namun tanpa sadar dirinya terus memperhatikan Amara. Saat melihat Amara bersama pria lain, ia peduli dan cemburu...
Akankah roda takdir menuntun keduanya untuk saling mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Skenario Astrid
Satu Minggu sudah Amara memimpin perusahaan miliknya, tidak ada kesulitan yang ia alami. Kelurga pun sudah pulang ke Jakarta kini Amara kembali tinggal dengan kakek dan neneknya.
Ingin tinggal di apartemen tapi tidak mungkin di kasih ijin, lagi pula kasihan nenek dan kakeknya yang sudah usia tua, mereka tidak ada yang menemani.
Di meja makan pagi hari, pak Hisyam dan Bu Hani sudah duduk setelah melakukan jalan pagi disekitar halaman rumah, Amara menuruni tangga sudah berpenampilan rapi dan cantik, hari ini ia akan bertemu dengan klien dari luar negeri.
"Pagi nek, pagi kakek." Dengan senyumnya yang ceria Amara mencium pipi keduanya, dan duduk di kursinya yang sudah ada segelas jus dan sepotong roti untuknya.
"Hari ini jadwal kalian kontrol bukan?" tanya Amara sambil menatap kedua kakek dan neneknya.
"Ya, dokter Rudi lusa akan ke keluar negeri, jadi jadwalnya di majukan."
Setiap bulan kedua kakek dan neneknya selalu melakukan cekup rutin untuk kesehatan, semua sudah di agendakan oleh putri mereka yaitu Arabella. Keduanya tinggal menjalani saja.
"Sayang sekali Amara tidak bisa ikut, hari ini ada pertemuan penting dengan klien." Katanya dengan wajah tak enak.
"Tidak apa, kami biasa berangkat dengan supir," ucap Bu Hani sambil tersenyum.
Setelah menyudahi sarapan pagi, keduanya berpisah, kakek dan neneknya pergi kerumah sakit, sedangkan Amara pergi ke kantor mengendarai mobilnya sendiri.
Di perjalanan saat melewati lampu merah, mata Amara tak sengaja melihat mobil Akmal yang melintas berlawanan arah menuju kantor membuat Amara mengerutkan keningnya.
"Sudah jam segini, mau kemana dia." Gumamnya sambil melirik jam.
Sejak semalam tidak ada kabar ataupun pesan dari Akmal, mungkin karena sering seperti itu, Amara jadi terbiasa tidak terlalu menunggu.
Tidak mau terlambat, Amara tidak memikirkan perihal Akmal yang kemana, ia ada pertemuan penting dengan klien pagi ini.
Sampainya di perusahan, Amara disambut dengan Evan yang sudah menunggunya, pria itu sudah menunggu di lobby dengan wajah cemas.
"Wajah kamu kenapa? Kayak orang kebelet," Ucap Amara saat sudah berdiri di depan Evan.
"Sejak tadi aku telepon tidak kamu angkat, klien yang mau bertemu sudah datang dan menunggu di hotel xxx." Kata Evan sambil menghela napas kasar.
Amara menautkan sebelah alisnya, "Lalu kenapa, salah mereka dong yang merubah waktu," Balas Amara santai.
"Ish, ini investor penting, apa kamu tidak takut beliau membatalkan pertemuan dan kerja samanya." jelas Evan yang mendengar jawaban santai Amara.
"Kalau rezeki tidak akan kemana, sudah siapkan saja berkasnya kita temui mereka."
Amara putar balik, tidak jadi masuk ke kantor dan kembali masuk ke mobil untuk bertemu klien, kali ini Evan yang mengemudikannya.
Amara duduk disebelah kursi kemudi, tampak sibuk dengan tabletnya untuk mengecek pekerjaan.
Evan melirik bos wanitanya, bibirnya terasa gatal ingin mengatakan sesuatu.
"Bos," Panggil Evan.
"Hm," Amara hanya berdehem.
"Pak Akmal tidak masuk kantor." Katanya lagi.
Amara menghentikan gerakan jarinya di layar tab, untuk beberapa detik.
"Lalu," Jawabnya cuek.
"Bukanya hari ini beliau harus meninjau proyek yang sedang bermasalah di kota B,"
Amara benar-benar menghentikan kegiatannya, wajahnya mendongak dan menatap Evan yang fokus mengemudi.
"Besok kita pergi ke kota B, jika hari ini rasanya tidak mungkin, banyak berkas yang harus aku selesaikan dulu."
Evan hanya mengangguk, Evan melirik Amara yang duduk diam sambil menatap luar jendela, wajahnya berubah murung.
*
*
Sampainya di restoran hotel, keduanya turun dari mobil menuju tempat yang sudah di janjikan. Evan berjalan di belakang samping Amara, keduanya memiliki usia yang terpaut tidak jauh membuat orang yang melihat mengira jika keduanya adalah sepasang kekasih.
"Silahkan Nona," Seorang pelayan membukakan pintu room private yang sudah di resevasi untuk bertemu.
Amara melangkahkan kakinya ingin masuk, namun penselnya berdering membuatnya mengurungkan niatnya dan memilih untuk mengangkat panggilanya lebih dulu.
"Sebentar, aku angkat telepon." katanya pada Evan.
Amara sedikit menjauh dari pintu, sebuah nomor baru memanggil.
"Halo.."
Di lorong yang cukup sepi, Amara berjalan cepat dengan sedikit berlari, wajah panik dan takut jelas ketara menghiasi wajahnya.
Suara sepatu yang beradu dengan lantai begitu menggeman, Amara semakin mempercepat langkah kakinya saat pintu ruangan yang dia cari terlihat.
Ceklek
Amara berdiri mematung, melihat seseorang terbaring di ranjang tergolek lemah tak berdaya.
"Kakek, nenek!"
Amara mengusap air matanya, berjalan pelan menuju rajang yang terdapat dua orang yang ia cintai dan kasihi.
"Dokter bagaimana keadaan mereka?" Tanya sambil menatap sedih keduanya.
"Beliau hanya mengalami syok tidak ada luka yang serius."
Amara menghela napas lega, mendapat kabar dari rumah sakit jika nenek dan kakeknya mengalami kecelakaan mobil membuat Amara benar-benar takut.
"Beliau sedang istirahat setelah minum obat, tidak ada yang perlu di khawatirkan." ucap sang dokter.
Dua rajang dalam satu ruangan, Amara mencium punggung tangan keduanya secara bergantian.
Karena tidak ingin menganggu kedua, Amara memilih keluar, tidak perlu ada yang di khawatirkan mereka akan baik-baik saja.
Saat keluar dari ruangan mata Amara memicing melihat sosok yang sangat familiar di matanya.
"Bukanya itu Akmal, sedang apa dia di sini." Amara berjalan menuju ruangan yang baru saja Akmal tinggalkan.
"Siapa yang sakit," Gumamnya lagi sambil membuka kamar yang Akmal tinggalkan.
"Mama, apa papa akan pelgi." Ucap Kayla yang terbaring dengan selang infus di tangan kecilnya.
Astrid membelai pucuk kepala putrinya, "Tidak sayang, memangnya papa mau pergi kemana." Jawaban dengan senyum.
"Papa kan suka pelgi, Kay harus nangis dulu balu papa pulang." Cicitnya dengan suara sedih.
"Kalau Kay, ingin papa, Kay harus dengar kata mama."
Kayla hanya mengangguk saja, "Anak pintar, Kay pintar buat papa datang kan."
Di ambang pintu Amara tersenyum sinis, ternyata wajah cantik yang terlihat baik tak membuat hatinya juga baik. Amara pikir mungkin hanya kebetulan tapi ternyata semua sudah ada dalam skenario wanita yang bernama Astrid itu.
"Sedang apa kamu di sini!"
Suara bariton di belakang Amara membuat wanita itu mematung dengan tubuh menegang.
menunggu lama ternyata dpt bekas siapa tuh
akhirnya jika org yg berjuang tk mu menyerah maka kamu sendiri yg mengalami penyesalan