Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Pertama
...Tama...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Enam tahun yang lalu...
Gue buka pintu ruang guru dan sodorkan daftar hadir ke mejanya. Sebelum gue sempat balik ke kelas, dia menahan gue dengan sebuah pertanyaan. "Kamu di kelas Bahasa Inggrisnya Pak Jun, kan, Tama?"
"Betul, Bu," jawab gue ke Bu Mei. "Ada sesuatu yang harus dibawa sekalian ke Pak Jun?"
Telepon di mejanya berdering, dan dia mengangguk sambil mengangkat teleponnya. Dia tutup receiver-nya pakai tangan. "Tunggu bentar lagi, ya," katanya sambil mengangguk ke arah ruang kepala sekolah.
"Ada murid baru dan dia juga ada di kelasnya Pak Jun sekarang. Ibu mau kamu bareng sama dia ke kelas." Gue setuju dan langsung duduk di salah satu kursi di dekat pintu.
Gue mengamati sekitar ruang BK dan sadar kalau ini pertama kalinya selama tiga tahun gue di SMA, duduk di salah satu kursi ini. Yang artinya, gue berhasil tiga tahun tanpa pernah dipanggil ke kantor. Nyokap gue pasti bangga kalau tahu itu, meski ini bikin gue sedikit kecewa sama diri sendiri.
Masuk ruang BK itu kan sesuatu yang seharusnya dirasakan semua cowok di SMA, setidaknya sekali. Gue masih punya sisa tahun ini terakhir buat merasakan itu, jadi ya, itu yang gue tunggu-tunggu.
Bu Mei masih menelepon, tapi dia sempat melakukan kontak mata sama gue. Dia cuma senyum dan lanjut dengan tugas-tugasnya.
Gue geleng-geleng kepala dan kirim chat buat Ian. Orang-orang di sini gampang banget merasa senang. Karena jarang ada hal baru yang terjadi di sekolah gue.
...Gue: Ada cewek, murid baru. Kelas 12....
^^^Ian: Cakep gak?^^^
...Gue: Belom lihat. Mau anterin dia ke kelas sekarang....
^^^Ian: Kalo cakep, fotoin dong.^^^
Gue: Oke. BTW, lo udah berapa kali ke ruang BK tahun ini?
^^^Ian: Dua kali. Emang kenapa? Lo ngapain?^^^
Dua kali?
Ya, mulai hari ini gue harus sedikit lebih bandel sebelum lulus. Gue mesti sering-sering enggak kumpul PR atau bolos sekolah tahun ini.
Pintu ruang kepala sekolah terbuka, jadi gue tutup HP. Gue masukan ke kantong dan melihat ke depan. Gue enggak mau lagi lihat ke bawah.
"Tama yang akan antar kamu ke kelasnya Pak Jun, Yesica." Bu Mei mengarahkan Yesica ke gue, dan dia mulai jalan ke arah gue.
Gue langsung sadar kalo kaki gue enggak bisa buat berdiri. Mulut gue jadi lupa caranya ngomong. Tangan gue lupa bagaimana caranya mengenalkan diri. Hati gue lupa buat menunggu dan gue langsung samperin dia.
Yesica... Yesica... Yesica.
Dia kayak puisi. Kayak prosa dan surat cinta dan lirik lagu, yang mengalir di tengah halaman.
Yesica... Yesica... Yesica.
Gue ulang-ulang namanya, karena gue yakin ini nama cewek yang bakal bikin gue jatuh cinta.
Tiba-tiba gue berdiri.
Jalan ke arahnya.
Mungkin gue senyum, pura-pura enggak terpengaruh sama mata kucingnya yang gue harap suatu hari nanti bakal kasih senyuman manja buat gue. Atau rambutnya yang sedikit keriting kayak hati gue yang kelihatan enggak pernah berubah sejak Tuhan menciptakannya khusus buat dia.
Gue mulai untuk membuka pembicaraan sama dia. Gue bilang nama gue Tama. Gue bilang dia bisa ikuti gue dan bakal tunjukkan jalan ke kelasnya Pak Jun.
Gue terus menatap dia karena dia belum ngomong apa-apa, tapi anggukannya adalah hal paling manis yang pernah diberikan seorang cewek ke gue.
Gue tanya dia asalnya dari mana, dan dia bilang dari Jogja. “Bantul,” katanya lebih spesifik.
Gue enggak tanya apa yang membawa dia ke Jakarta, tapi gue bilang kalau bokap gue sering ada urusan bisnis di Bantul karena dia punya beberapa anak perusahaan di sana.
Dia senyum.
Gue bilang kalau gue belum pernah ke sana, tapi gue ingin ke sana suatu hari nanti.
Dia senyum lagi.
Gue kira dia bilang Jogja kota yang bagus, tapi susah buat gue menerjemahkan kata-katanya karena di kepala gue cuma ada namanya.
Yesica, gue bakal jatuh cinta sama lo.
Senyumannya bikin gue enggak bisa berhenti bicara , jadi gue tambah lagi dengan pertanyaan yang lain, bahkan sebenarnya kita sudah jauh melewati ruang kelas Pak Jun.
Kita terus jalan sepanjang lorong. Dia terus bercerita, karena gue enggak berhenti kasih dia pertanyaan.
Kadang dia mengangguk.
Kadang dia jawab singkat.
Kadang dia kayak bernyanyi.
Atau memang kedengarannya seperti itu.
Kita sampai di ujung koridor, tepat ketika dia menceritakan tentang dia yang berharap bisa betah di sekolah ini karena sebenarnya dia belum siap untuk pindah dari Jogja.
Iya.
Dia enggak kelihatan senang pindah ke SMA gue. Dan dia enggak tahu seberapa senangnya gue dengan kepindahannya ke sekolahan ini.
"Di mana kelasnya Pak Jun?" potongnya.
Gue tatap mulut yang baru saja melontarkan pertanyaan itu. Bibirnya enggak simetris. Bibir atasnya sedikit lebih tipis dari bibir bawahnya, tapi lo enggak bakal paham sampai dia ngomong.
Pas kata-kata keluar dari mulutnya, gue jadi berpikir kenapa nada-nadanya jadi jauh lebih indah keluar dari mulut dia dibandingkan yang keluar dari mulut orang lain. Dan matanya. Mustahil jika belum pernah melihat dunia yang jauh lebih indah dan damai dibanding mata-mata lainnya.
Gue tatap dia beberapa detik lagi, terus gue tunjuk ke belakang dan bilang kalau kita tadi sudah melewati kelasnya Pak Jun.
Pipinya jadi lebih merah. Gue senyum lagi. Gue mengangguk ke arah kelas Pak Jun. Kita jalan balik ke arah sana, memutari koridor sekali lagi terus ke kelas Pak Jun.
Yesica, lo bakal jatuh cinta sama gue.
Gue buka pintu buat dia dan kasih tahu Pak Jun kalau Yesica adalah murid baru di sini. Gue juga pengen tambahin, demi kepentingan semua cowok-cowok di kelas, kalau Yesica bukan punya mereka.
Dia punya gue.
Tapi gue enggak ngomong apa-apa. Enggak perlu, karena satu-satunya yang perlu tahu kalau gue ingin dia adalah Yesica.
Dia menatap gue dan senyum lagi, lalu dia ambil satu-satunya kursi kosong, di seberang ruangan.
Matanya ngasih tahu gue kalau dia udah tahu dia punya gue. Ini cuma soal waktu. Gue mau bilang ke Ian dan bilang kalau dia gak cuma cakep. Dia kayak gunung Krakatau, Ian pasti bakal ketawa dengar itu.
Sebagai gantinya, gue diam-diam mengambil fotonya dari tempat gue duduk dan Gue kirim foto itu ke Ian dengan kata-kata, "Dia yang bakal ngelahirin semua anak-anak gue”
Pak Jun mulai memberikan materi.
...***...
Gue ketemu Yesica hari Senin.
Sekarang hari Jumat.
Gue enggak bilang apa-apa lagi ke dia sejak hari di mana kita kenalan.
Gue enggak tahu kenapa.
Kita ada di kelas bareng. Setiap kali gue lihat dia, dia senyum ke gue kayak dia pengen gue ngomong sama dia. Setiap kali gue kumpulin keberanian, gue malah mundur sendiri. Jadi, gue kasih waktu ke diri sendiri sampai hari ini. Kalo gue gak bisa ngumpulin keberanian sampai hari ini, gue bakal serahkan satu-satunya kesempatan gue sama Ian.
Cewek kayak Yesica menurut gue Very-Very Limited Edition. Gue enggak tahu apakah dia sudah terikat sama cowok lain di Jogja, tapi cuma ada satu cara buat tahu.
Gue berdiri di samping kelas, menunggu dia. Dia keluar dari kelas dan senyum ke gue. Gue bilang "Hei," pas dia jalan di bawah ventilasi pintu.
Gue perhatikan warna kulitnya berubah lebih cerah. Atau memang mata gue yang bertambah gelap dan menyerap cahaya yang terpancarkan dari dia, tapi apa pun itu gue tetap suka.
Gue tanya bagaimana minggu pertama dia. Dia bilang baik-baik saja. Gue tanya apakah dia sudah punya teman, dan dia angkat bahunya yang mungil sambil bilang, "Beberapa."
Gue cium aromanya, pelan-pelan. Tapi dia tetap enggak sadar. Gue bilang dia wangi.
"Makasih," jawabnya.
Gue lawan bunyi detak jantung gue yang berdentum di telinga. Gue coba hadapi keringat yang mulai muncul di telapak tangan gue. Gue coba buat mengulang-ulang namanya dengan suara keras. Gue tahan semuanya dan tetap menatap matanya sambil bertanya “Lo sibuk, enggak, nanti malam”
Gue tahan semua perasaan itu dan tunggu jawabannya, karena itu satu-satunya yang gue mau.
Gue mau lihat anggukan kepala itu, sebenarnya. Yang enggak perlu kata-kata dan cuma senyuman. Tapi gue enggak dapat anggukan itu. Dia ada rencana malam ini.
Semua perasaan tadi balik dengan berlipat ganda, kayak banjir yang tumpah ruah dan gue jadi bendungannya.
Detak jantung yang kencang, telapak tangan yang berkeringat, namanya, rasa enggak PD yang baru saja gue temukan dan enggak pernah gue sadari sebelumnya, semuanya menumpuk dan mulai bikin tembok di sekitar dia.
"Gue enggak sibuk, kok, besok," imbuhnya, sontak menghancurkan tembok itu dengan kata-katanya.
Gue kasih ruang buat kata-kata itu.
Banyak ruang.
Biarkan kata-kata itu masuk ke dalam diri gue. Gue serap kata-kata itu kayak spons.
Gue petik dari udara dan telan bulat-bulat.
"Besok juga bisa," sahut gue.
Gue ambil HP dari kantong, tanpa berusaha menutupi senyum di muka gue. "Berapa nomor lo? Gue bakal telepon."
Dia kasih nomornya.
Dia antusias.
Gue simpan kontaknya di HP gue, tahu kalau nomor itu bakal ada di sana untuk waktu yang lama, lama banget. Dan gue bakal pakai nomor itu sesering mungkin.