Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Pusing
Aghnia kembali ke kota Tanon, langsung menuju ke kontrakan. Gadis itu merebahkan dirinya di karpet tebal yang berada di ruang tengah.
"Sudah pulang, bagaimana?", sapa Risti, ketika keluar dari kamar dan melihat Aghnia berbaring di ruang tengah.
"Begitu lah Ris, pusing aku", keluh Aghnia.
"Begitu bagaimana?", Risti tak tahu maksud Aghnia.
"Abah mengizinkanku di sini sampai selesai sidang saja. Usai itu, aku akan dipondokkan katanya", jelas Aghnia. Gadis itu mengubah posisinya menjadi duduk.
"Ya, ngga apa-apa sih, nanti aku akan mengunjungimu", canda Risti.
"Jahat sih?", protes Aghnia. Risti tersenyum dan memeluk Aghnia dari samping kiri.
"Lalu siapa yang melaporkanmu pada Abah?" Tanya Risti penasaran sembari melepas pelukannya.
"Entahlah Ris, aku belum sempat menanyakannya pada Abah" keluh Aghnia.
"Oh iya, pak Alfi menawariku menjadi asisten dosen setelah lulus, bagaimana menurutmu? Haruskah aku mengambil pekerjaan itu?" Ungkap Aghnia meminta pendapat Risti.
"Tergantung, jika kamu mengambil tawaran itu hanya untuk menghindar dari pengaturan Abah, ya menurutku lebih baik kamu dipondokkan saja" jawab Risti jujur.
"Ih kok gitu sih? Kamu mendukung Abah untuk mengekang ku?" Cecar aghnia.
"Bukan begitu Nia, kamu perlu menyempatkan diri untuk berkontemplasi, mengenal diri sendiri dan tujuanmu di dunia ini. Jangan sampai gemerlap dunia membutakan hatimu dari kenyataan bahwa dirimu diciptakan dengan tujuan menjalankan peran dan ujian" jelas Risti.
"Jadi, lebih baik masuk pesantren saja, bisa jadi kamu akan paham tentang tujuanmu, juga lingkungan yang minim maksiat bisa membantu proses menemukan jati dirimu. Ya, kecuali kamu ingin mati dalam keadaan sia-sia." Imbuh Risti.
Aghnia terdiam, mencerna setiap kata yang disampaikan Risti. Gadis itu menghela nafas panjang, mengingat perkataan abahnya yang seolah menyerah atas tingkahnya, membuat Aghnia sedih. Gadis itu tak ingin mengecewakan kedua orangtuanya, namun ia juga tak ingin masuk pesantren lagi.
Ia telah menyadari kesalahannya, ia juga berjanji pada dirinya sendiri tak akan mengulangi, bertekad menjadi lebih baik dan mencari jati dirinya. Namun ia ingin menentukan jalannya sendiri dalam proses pencarian jati diri. Tak terasa gadis itu meneteskan air matanya, ia merasa menyesal dan baru menyadari bahwa kesalahannya tak hanya melukai mentalnya, nyatanya juga mengecewakan orang tua terutama abahnya.
"Aku, aku sudah sadar atas kesalahanku. Aku akan berubah dan tak ingin lagi mengecewakan Abah" ucap Aghnia terbata.
"Tapi aku ingin menentukan jalanku dalam pencarian tujuan hidupku sendiri" imbuh Aghnia, mengusap air matanya seraya memandang Risti.
Risti melihat Aghnia dengan iba, gadis itu mengusap punggung Aghnia perlahan, ia tahu bagaimana susahnya menemukan tujuan hidup yang bahkan hampir dilupakan oleh banyak orang. Risti tak menyalahkan Aghnia karena tahu bahwa sahabatnya itu sedang berproses. Ia akan tetap mendukung dan menyemangatinya.
"Lalu bagaimana kamu akan meyakinkan Abah?" Tanya Risti.
Aghnia menggeleng lemah, benar-benar tak tahu. Aghnia menyesal telah merusak kepercayaan Abah pada dirinya. Gadis itu tak tahu lagi bagaimana meyakinkan abahnya jika sikapnya kini telah berubah.
"Kamu, punya saran agar aku bisa berkontemplasi kah?", tanya Aghnia, karena sekarang pikirannya malah rindu diskotik untuk melepas penat.
"Kamu harus temukan tempat yang tenang, di mana kamu bisa menyendiri dan berdiskusi dengan dirimu sendiri. Tentu tak masalah jika kamu terkoneksi dengan Abah jika ada yang tidak kamu pahami dalam prosesnya nanti. Ingat, ilmu itu cahaya agar tidak tersesat", ungkap Risti.
"Di mana misalnya?", Aghnia bingung, tak punya referensi.
"Masjid, taman yang sepi, atau kamarmu sendiri", Risti mencoba memberi saran.
Keesokan paginya, Aghnia pergi jogging ke taman, mencoba menenangkan diri dan mengikuti saran Risti.
Baru berlari satu putaran, ia sudah lelah. Bukan karena fisiknya menurun, melainkan karena mentalnya yang sedang kelelahan memikirkan banyak hal. Ia pun duduk di satu kursi taman yang sepi dan rindang, mulai berkontemplasi.
Saat ia sibuk berpikir, seorang pria menarik perhatiannya.
"Itu kan si killer?", batin Aghnia, fokusnya teralihkan dengan ketampanan Alfi yang tengah jogging. Aghnia yang tak ingin diketahui Alfi pun berbalik, membelakangi track jogging, mencoba kembali fokus pada kontemplasinya.
"Hidup itu karena dihidupkan dan dicukupi. Rezeki, jodoh, dan ajal sudah diatur sedemikian rupa oleh sang maha mencukupi. Lalu, siapa jodohku, Tuhan? Biar aku tidak repot pacaran dan melakukan pendekatan hingga kebablasan", batin Aghnia.
"Permisi, saya duduk di sini", tiba-tiba terdengar suara Alfi yang minta izin duduk di samping Aghnia, tidak mengenali sosok gadis ini. Aghnia hanya mengangguk, tidak mengatakan apapun agar tidak ketahuan, sadar bahwa suara ini adalah suara Alfi.
"Ngapain sih si killer ini selalu nempel dan merusuhiku?", jengah Aghnia, ingin pergi dari taman karena tak kondusif lagi baginya.
"Aduh!", Aghnia tergesa pergi hingga kakinya terkilir dan terjatuh. Alfi sigap membantunya berdiri.
"Kamu kenapa lewat situ mbak, jalannya sebelah sini", tegur Alfi sembari menolong Aghnia.
"Loh, kamu!", ujar Alfi saat melihat wajah gadis yang ia tolong.
"Apa sih? Permisi", Aghnia mengelak dari lengan Alfi yang telah membantunya kembali duduk ke kursi taman, mencoba pergi namun kakinya benar-benar sakit.
"Ck! Ngga usah sok kuat. Sini!", Alfi berjongkok di depan Aghnia, mencoba memeriksa kaki gadis itu. Anehnya, Aghnia malah berhayal Alfi sedang menyatakan perasaan dan hendak melamarnya.
"Apa sih otakku ini? Ngapain pakai berhayal seperti itu?", benak Aghnia, menepis lamunannya sendiri.
"Kalo sakit, istirahat dirumah. Jangan lari" celetuk Alfi, melihat tingkah Aghnia. Aghnia hanya mencebik tak menghiraukan ucapan Alfi.
Alfi mengernyit, merasa heran dengan Aghnia. Bukannya gadis itu sangat senang mendebat dirinya, namun ia memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembalikan otot engkel kaki Aghnia ke posisi semula hingga terdengar 'klik'.
"Aduh!", pekik gadis itu. Namun kakinya secara cepat terasa nyaman dan normal kembali.
"Sudah sembuh? Hati-hati lah, pulang dan jangan melamun lagi", sindir Alfi.
"Terimakasih", sahut Aghnia lantas berdiri dan hendak pergi.
"Siapkan presentasi yang menarik pekan depan. Jangan mempermalukanku sebagai dosen pembimbingmu", pesan Alfi, lantas meminum air dari tumbler biru miliknya.
"Iya iya, bawel!", sahut Aghnia, sedang malas mendengar ceramah Alfi terkait sidang skripsi. Saat Aghnia hendak melangkah pergi, pria itu kembali bertanya.
"Bagaimana tawaranku waktu itu, kamu tertarik?" Tanya Alfi. Entah kenapa ia menanyakan hal yang tiba-tiba saja meluncur dari lisannya.
"Entahlah pak" ucap Aghnia bimbang. Satu sisi ia tertarik dengan tawaran Alfi, di sisi lain ia lelah jika harus beradu argumen dengan dosen galak di hadapannya.
"Abah sepertinya tidak mengizinkan saya untuk bekerja bersama pria yang bukan mahram", lanjut Aghnia, kembali duduk di samping Alfi.
"Ck! Mana bisa kalau bukan wirausaha. Kita bekerja di lembaga pendidikan umum, sudah pasti akan berbaur lelaki dan perempuan asalkan kita tahu batasannya", sanggah Alfi, merasa aneh.
"Menurut pak Alfi, apa tujuan kita hidup di dunia ini?" Celetuk Aghnia.
Alfi menatap matanya, mencoba mencari alasan di balik pertanyaan Aghnia.
"Menggapai kemuliaan di sisi sang pencipta" jawab Alfi singkat, tanpa memandang gadis itu.
Jawaban yang disampaikan Alfi hampir sama dengan ucapan yang pernah disampaikan abahnya. Aghnia memandang lekat mata Alfi dan perlahan duduk di dekat Alfi.
"Bagaimana cara kita agar mendapat derajat itu?", tanya Aghnia lagi.
Alfi mengernyit heran. Kenapa tiba tiba gadis tengil ini menanyakan hal yang berkaitan dengan fundamental spiritual.
"Banyak hal. Salah satunya selalu melibatkan Tuhan di setiap kegiatan kita", terang Alfi.
Aghnia seolah ditampar oleh perkataan Alfi. Gadis itu tak ingat kapan dirinya mengingat tuhan. Bahkan sholat pun tergesa gesa tak menikmati disetiap gerakannya.
Gadis itu menunduk, menangis dalam diam. Ia merasa terlalu terbawa arus dunia, hingga melupakan sang pemilik dunia.
Alfi mengernyit melihat bahu Aghnia naik turun, meyakini gadis berkerudung hitam di disampingnya sedang menangis.
"Aghnia" panggil Alfi.
Namun Aghnia tak menghiraukan panggilan Alfi. Membuat Alfi kebingungan sendiri.