Menyukai seseorang adalah hal yang pribadi. Zea yang berumur 18 jatuh cinta pada Saga, seorang tentara yang tampan.
Terlepas dari perbedaan usia di antara keduanya, Zea adalah gadis yang paling berani dalam mengejar cinta, dia berharap usahanya dibalas.
Namun urusan cinta bukanlah bisa diputuskan personal. Saat Zea menyadari dia tidak dapat meluluhkan hati Saga, dia sudah bersiap untuk mengakhiri perasaan yang tak terbalaskan ini, namun Saga baru menyadari dirinya sudah lama jatuh cinta pada Zea.
Apakah sekarang terlambat untuk mengatakan "iya" ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MANUVER CINTA~PART 34
Sagara bergegas memakai suit penerbangnya lagi, ia tak pulang melainkan langsung melesat menuju loker dimana tadi ia menaruh suit penerbang.
"Skadron X, siap mengudara!"
4 perwira muda penerbang pesawat tempur kebangaan kesatuan menghormat serempak dimana salah satunya adalah anak dari Pangdam Al Fath Ananta.
"Skadron XX siap ditarik atas ketidaksiapan sang kapten, saya harap kalian lakukan tugas sesuai perintah dan kemampuan, bukan sekedar naluri kekanakan!" ucapnya, bikin juniornya itu mengernyit tak mengerti maksud sang komandan.
"Menurut informasi manifest penumpang ada seorang polisi berpangkat bripka disana, ada putri dari perwira marinir berpangkat letnan kolonel, dan putri menteri hukum dan hak asasi,"
Sagara kembali mele nguh mendengar nama Clemira dan Zea disebut, seakan tak percaya jika kini ia harus menyelamatkan orang-orang terkasih.
"Siap laksanakan!"
Sagara berlari mengambil helm dan memasangnya, ia naik dengan mantap sampai atap jet tempur tertutup.
Ketinggian pesawat sedikit lebih rendah, bahkan Zea dapat melihat belantara, hanya saja ia tak tau pulau apakah itu, hingga pesawat kembali menaikan ketinggiannya saat ia dipaksa berdiri dan dipegangi oleh Tius.
Ajay sedang bernegosiasi bersama negosiator pihak negara.
"Pukul mundur pasukanmu!"
"Kami tak gentar menghadapi pemberontakan dan kejahatan. Bebaskan para sandera, maka kami akan memundurkan personel..." balik pihak negosiator memberikan ultimatum.
Ajay mendengus geli, "bos..." ia segera menghubungi bos besarnya, namun kali ini tak ada balasan dari bosnya itu, membuat Ajay sedikit dilanda khawatir dan bingung.
"Si alan. Apakah terjadi sesuatu dengan markas?"
"Bos, come in..."
Hanya ada suara riuh gemerisik dari alat ponselnya, hingga ia hanya mendapatkan nada tuut...tuut.....
"Gob lokk!" Ajay mencebik keras,
"Boeing 789 come in, kami beri waktu 5 menit untuk memberikan keputusan...."
Ajay mengetuk-ngetuk keningnya, tak mungkin usahanya harus berakhir sia-sia, "20 milyar atau kami tembak mati semua penumpang."
Briptu Giana menghela nafasnya, bertugas menjadi negosiator selama hampir 10 tahun membuatnya terbiasa berhadapan dengan situasi semacam ini, "Boeing 789 come in, kami akan lakukan pembicaraan dengan pihak negara, namun kami meminta kesediaan untuk mengeluarkan beberapa penumpang yang sakit lanjut usia ataupun balita..."
Negosiasi berjalan alot karena Ajay yang tak mau mengalah begitu saja, sementara di jalur darat dan laut, militer sudah melakukan pencarian dan menyusup kawasan yang diduga salah satu markas para sindikat mafia.
Rayyan menanggalkan seluruh pakaian menyelamnya saat sampai di tepian, ia yang sepertinya akan pensiun dari unit Raden Joko tahun ini, mendapatkan interuksi untuk mencari lokasi jatuhnya pigeon 1.
Dengan menggeret puing dan sisa potongan tubuh, ia melaporkan, "pigeon 1 sudah gugur."
Kemudian ia dan unit Raden Joko bersiap kembali untuk selanjutnya mencari titik dimana rudal sempat diledakan, serangan tadi setidaknya memberikan titik terang dimana markas mereka berada.
Ajay menggertakan jarinya, memantau bahan bakar pesawat yang tersisa, karena ada masanya dimana mereka harus mendarat.
"Si al! Bos masuk!" ujarnya tak berhenti berusaha.
"Lepaskan saja mayat pilot itu, untuk memberi peringatan pada mereka, Jay."
Ajay menghela nafasnya lega, lalu mengangguk, "siap!"
Dan peristiwa tubuh pilot yang keluar dari pintu bagasi kargo pesawat membuat semua tercengang, aksi yang dilakukan mereka benar-benar tak berperi kemanusiaan. Mata dunia semua mengarah pada kejadian pembajakan ini.
Sagara beserta tim bermanuver.
Regu basarnas dan rescue dari militer mengkoordinirkan pasukan untuk segera mencapai letak jatuhnya tubuh sang pilot dengan parasutnya.
Eyi dan keluarga korban lainnya kembali dilanda sesak tak berkesudahan. Mereka berkumpul di bandara untuk mengetahui informasi langsung dari pihak maskapai penerbangan sambil menyuarakan jeritan hati.
...Save our daughter...
...Save our sister...
...Save our family...
...Save our son......
"Mi, makan dulu..." pinta Zico, kembali mama Rieke menggeleng, "adik kamu udah makan belum Co," mata yang teramat bengkak sudsh tak dapat lagi mengeluarkan air mata, saking panasnya seperti akan meledak.
"Mi, Zico yakin Zea baik-baik aja. Kita percayakan semuanya sama pihak aparat dan negara."
Mama menggeleng, "itu buktinya! Pilot nasibnya begitu! Gimana Zea! Zeaaa!"
Zico mendekap sang mama, sementara papanya kini berada di tengah-tengah aparat mengupayakan pembebasan boeing 789 beserta isinya.
"Boeing 789, kami sedang mengupayakan, tapi keluarkan penumpang balita, lanjut usia dan status penumpang sakit...."
Para penumpang mulai dilanda jetlag, mual dan kelelahan. Seharusnya mereka sudah sampai di rumah masing-masing sekarang.
Clemira menatap Zea yang ditahan di bangku depan sana, gadis itu tersenyum meski matanya berkaca-kaca.
"Gue oke. Lo yang ngga oke," gumam Zea pada Clemira, masih sempat-sempatnya Zea tak mau kalah di situasi seperti ini.
Tangisan anak balita menggema, begitupun keluhan sakit dari orang lanjut usia termasuk Biyang Ketut.
"Heh! Ngga risih apa sama suara nangis anak bayi!" tunjuk Zea yang kasihan, Tius melihat ke arah tunjukan dagu Zea, "kalau sa pu itu rasa kasihan. Mungkin sa sudah membangun panti asuhan!"
"Becanda lo garing, brother!" cibir Zea mendengus sinis. Clemira justru mengu lum bibirnya ingin tertawa, memang benar itu Zea, sahabatnya. Yang paling jago bikin orang malu setengah gila.
"Hey bisa buat diam kah, itu kaka punya anak!" bentak Todi, bukannya diam si anak malah semakin nangis kejer dibuatnya, sang ibu berusaha sekuat mungkin menenangkannya.
"Coba lo kasih duit segepok, pasti diem!" timpal Zea lagi, di situasi seperti ini ada saja ocehannya yang bikin orang bibir orang gagal berkedut karena menahan geli tawa. Padahal maunya Zea sih ia nyanyi gitu, lagu naik-naik ke puncak awan kek, atau gugur bunga sekalian, daripada cuma diem-diem doang liatin muka-muka sensoran macam para pembajak ini.
Coba kalo ada satu saja yang berwajah tampan, mungkin ia akan sebetah berada di taman surga.
"Hey diam nona! Nona pu mulut berisik bikin orang sakit kepala! Bikin emosi naik! Tak kapok kah, kau kena pukul, hah?!" ancam Todi.
Zea mengangguk seraya membuat gerakan mulut terkunci dengan tangannya dan melempar gemboknya pada Iyang, "oke, gue gembok nih...Yang tangkep gembok cinta gue!"
"Hahah, si alan..." Clemira mendengus geli.
Tama mendapatkan posisi sesuai perintah dan siap dengan tombol tembakannya.
"Brown falcon, siap menerima perintah tembak... Sasaran berada 5 km di depan mata, surya sudah mulai naik, minta status...ganti!" ucapnya.
Deru angin bahkan terbelah oleh kecepatan pesawat jet tempur, Sagara melakukan gerakan manuver Pitchback, gerakan belokan memutar 180 derajat yang sulit terlacak musuh. Layaknya burung elang yang bermanuver tajam membelah langit, sayap pesawat begitu gagah memutar di udara hingga ia naik di posisi seharusnya.
"Skadron X, come in. Blue eagle ready!" ucap Sagara, Tama menyunggingkan senyum tipisnya.
"Skadron X meminta status," ujar Saga.
"Perkecil jarak, Blue eagle!" balas Tama.
Jika mereka tak main-main, maka aparat lebih serius lagi. Atas perintah yang turun, kedua skadron benar-benar menunjukan taringnya pada para pembajak.
"Jay, lihat!"
Ajay, Tius, dan yang lain mulai merasa tersudut dengan datangnya pesawat tempur militer secara tiba-tiba tanpa mereka ketahui sebelumnya dan sudah berada mengelilingi boeing 789.
Kehebohan mereka membuat Zea curiga dan penasaran ada apa di luar langit sana.
"Militer, Cle..." guman Zea, yang langsung memancing atensi Clemira untuk membuka tirai kaca pesawat, namun belum ia menaikan itu.
"Tak ada yang boleh membuka tirai kaca jendela!" teriak Todi memajukan moncong senjata ke sembarang arah.
"Aaaaa!" mereka menjerit dan menunduk, berlindung di balik kursi karena takut Todi memuntahkan peluru tembakannya.
Sagara melirik ke samping, disanalah Zea dan Clemira berada.
"Boeing 789 masuk, silahkan beri keputusan, atau kami terpaksa menggunakan cara kami sendiri...."
Sebuah rudal terlacak mendekati skadron, Sagara memberi aba-aba, "Blue eagle come in, rudal di arah pukul 2...."
Seketika formasi terpecah layaknya lebah yang berterbangan ke lain arah.
Sayap menukik tajam demi menghindari tembakan rudal yang dilesatkan, Sagara memang salah satu perwira berbakat, meski beban penyelamatan yang lebih dari personel lain karena adiknya disana, ia tidak mengedepankan emosi dan lebih menggunakan akal sehat.
Misinya menyelamatkan, bukan mengumpankan personel unitnya untuk gugur di medan perang.
Letupan merah di udara membuat mereka terkejut hingga berteriak histeris, "aaaa! Astagfirullah!"
"Emak, pengen pulang atuhlah!" rengek Iyang menangis di dalam sana.
"Shittt, hampir!" Tama mendengus.
"Fokus bang," jawab Sagara.
"Tembakan shock teraphy," ujar Tama.
"Dicopy," balas Sagara.
Trekk!
Dorrrr!
Ekor pesawat ditembak dengan perhitungan matang di bagian yang tak terlalu berpengaruh agar tak membahayakan para penumpang.
"Aaaaa!" jerit para penumpang ketika pesawat berguncang hebat tertembak di bagian ekornya.
"Bang sat!" Ajay kini melongokan kepala ke arah kanan dan kiri pesawat, dimana formasi pesawat tempur sudah kembali seperti semula mengelilingi dan mengawal boeing 789.
Mungkin setelah ini para penumpang harus diberikan trauma healing atas kejadian ini.
⭐ Di tempat lain
"Sasaran ditemukan, ganti..."
"Flying dutchman come in, lumpuhkan!" ujar Rayyan.
Dorrr!
Cekrekkk, dorr!"
Seketika pertumpahan da rah terjadi, unit detasemen khusus Raden Joko menemukan markas dimana rudal ditembakan barusan.
"Bos masuk, bahan bakar pesawat sudah kritis..." ujar Ajay.
"Lepaskan beban tak berguna," jawab seseorang.
"Siap!"
"Tius," angguk Ajay.
Tius keluar dari kokpit, "Matua! Kau, kaka! Ikut sa!"
Beberapa penumpang mulai dari anak balita, dan orangtua dipisahkan, perlakuan kasar mereka membuat mereka menangis dan menjerit-jerit ketakutan akan ditembak atau dilemparkan seperti tubuh pilot tadi, menyisakan orang-orang usia remaja hingga tak lebih dari 35 tahun.
"Ibuuu! Ibuuu!" teriak Clemira dan rekan lain ketika para gurunya dipisahkan dan dibawa.
"Boeing 789 masuk, kami lepaskan yang kalian mau, dengan syarat setengah uang harus masuk!"
Papa Rangga dan para petinggi langsung menyiapkan pendaratan para penumpang.
"Siapkan rescue!"
Pesawat apache yang membawa personel pasukan khusus segera mengudara.
"Maju!" bentak mereka ke arah bagian kargo pesawat.
"Astagfirullah, jangan bunuh kami...jangan lempar kami!" jeritnya pilu.
.
.
.
.
.