Wanita kuat dengan segala deritanya tapi dibalik itu semua ada pria yang selalu menemani dan mendukung di balik nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syizha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penyamaran
Malam itu, Akselia tidak bisa tidur. Surat dari ayahnya membawa kembali kenangan yang telah lama ia kubur. Ia teringat bagaimana dulu ia terpaksa meninggalkan rumah, meninggalkan hidup yang penuh kemewahan tapi tak bermoral. Ayahnya adalah sosok yang ambisius, seorang penguasa bayangan yang selalu memaksanya tunduk pada aturan-aturannya.
"Semua ini untuk keluarga," ayahnya pernah berkata. "Tidak peduli apa yang harus kita lakukan, kekuasaan adalah segalanya."
Akselia mengepalkan tangan, mengingat ucapan itu. Tapi sekarang, dia bukan lagi gadis kecil yang bisa dibungkam. Dia telah membangun hidupnya sendiri, dan dia bersumpah untuk melindungi apa yang dia cintai.
---
Pagi berikutnya, Akselia mengumpulkan Mikael dan beberapa orang kepercayaannya. Mereka mempelajari surat dari ayahnya dengan seksama.
"Ini bukan hanya ancaman," kata Mikael sambil meneliti setiap kata. "Dia ingin kau tahu bahwa dia masih memegang kendali, meskipun dari jauh."
Akselia mengangguk. "Tapi kali ini dia salah. Dia mungkin mengenalku dulu, tapi dia tidak tahu siapa aku sekarang."
"Kita harus mendahuluinya," ujar Pak Ramli yang duduk di sudut ruangan. "Kita perlu tahu rencananya sebelum dia sempat bergerak lebih jauh."
Akselia memandang mereka satu per satu. "Aku setuju. Tapi kita juga harus memastikan komunitas ini tetap tenang. Jika mereka tahu siapa yang sedang kita hadapi, mereka akan panik."
Mikael berpikir sejenak. "Ada satu cara. Kita bisa menyusup ke kelompok mereka. Cari tahu siapa saja yang ada di belakang semua ini."
"Aku yang akan melakukannya," kata Akselia tegas.
Mikael menatapnya, terkejut. "Tidak, itu terlalu berbahaya. Kau adalah pemimpin di sini. Jika sesuatu terjadi padamu—"
"Tidak ada yang mengenal mereka sebaik aku," potong Akselia. "Dan ini adalah masa laluku. Aku yang harus menghadapinya."
Setelah perdebatan singkat, akhirnya mereka setuju. Tapi Mikael bersikeras bahwa dia akan mengawasi dari jauh, memastikan Akselia tidak sendirian.
---
Beberapa hari kemudian, Akselia memulai langkahnya. Dia menyamar sebagai seorang pengembara, meninggalkan komunitas sementara waktu untuk mencari informasi. Dengan bantuan Mikael, dia mendapatkan akses ke salah satu jaringan yang mungkin terhubung dengan Arya dan kelompok ayahnya.
Di sebuah kedai kecil di pinggir kota, Akselia bertemu dengan seseorang yang mungkin bisa membantunya—seorang wanita bernama Kirana, yang dikenal sebagai informan bayangan.
"Kau mencari Arya?" tanya Kirana sambil menyeruput teh. "Berani sekali kau."
"Aku tidak takut," jawab Akselia dingin.
Kirana tertawa kecil. "Aku suka keberanianmu. Tapi Arya bukan orang sembarangan. Dia punya banyak orang di belakangnya. Dan kalau aku boleh menebak, kau pasti punya hubungan khusus dengannya."
"Dia bagian dari masa laluku," kata Akselia singkat.
Kirana menatapnya dengan tajam, lalu tersenyum. "Baiklah. Aku bisa memberimu informasi. Tapi semua ada harganya."
"Apa yang kau inginkan?"
"Jaga aku tetap aman," jawab Kirana. "Arya tidak suka orang yang membuka mulut tentang urusannya."
Akselia mengangguk. "Kau punya jaminanku."
Dari Kirana, Akselia mengetahui bahwa Arya tidak hanya bekerja sendiri. Dia adalah bagian dari jaringan yang lebih besar, sebuah kelompok bayangan yang ingin mengambil alih komunitas untuk kepentingan mereka sendiri. Ayah Akselia tampaknya adalah otak di balik semua ini.
"Ada satu tempat yang bisa kau datangi," kata Kirana. "Mereka sering bertemu di sebuah gudang tua di ujung kota. Tapi hati-hati, mereka tidak ramah pada orang asing."
---
Malam itu, Akselia, ditemani Mikael dari jarak aman, pergi ke gudang yang dimaksud. Dia berbaur dengan para anggota kelompok itu, mengandalkan ingatannya tentang cara berbicara dan bertindak di dunia bawah.
Saat dia masuk ke gudang, jantungnya berdebar kencang. Dia melihat sosok Arya sedang berbicara dengan seseorang. Namun, sebelum dia bisa mendekat, seorang pria besar menghentikannya.
"Siapa kau?" tanyanya dengan nada curiga.
"Aku hanya mencari pekerjaan," jawab Akselia dengan tenang.
Pria itu menatapnya dari kepala hingga kaki, lalu tertawa kecil. "Kau terlihat tangguh. Mungkin Arya akan menyukaimu."
Akselia merasa tubuhnya menegang, tetapi dia tahu dia harus tetap tenang. Ini adalah bagian dari rencananya.
Ketika Arya akhirnya menoleh dan melihatnya, ekspresi terkejut muncul di wajahnya. "Akselia," katanya perlahan. "Aku tidak menyangka kau akan datang sendiri."
"Aku di sini untuk bicara," jawab Akselia, mencoba menjaga nadanya tetap datar.
Arya tersenyum licik. "Tentu saja. Tapi kau tahu, tidak ada yang gratis di tempat ini. Jadi, apa yang kau tawarkan?"
Akselia menatapnya tajam. "Informasi. Tapi hanya untuk orang yang layak."
Arya tertawa keras. "Kau masih sama seperti dulu, selalu penuh teka-teki. Baiklah, ayo kita bicara. Tapi ingat, Akselia, di sini kau bermain dengan aturan kami."
---
Pertemuan itu berjalan penuh ketegangan. Arya mencoba mengorek informasi dari Akselia, tetapi dia juga memberikan petunjuk tentang rencana besar yang sedang mereka jalankan.
"Komunitasmu itu terlalu idealis," kata Arya sambil menyeringai. "Dunia ini tidak bekerja seperti itu. Cepat atau lambat, kau akan melihat segalanya runtuh."
"Tidak selama aku di sana," balas Akselia dingin.
Arya tertawa. "Kau memang keras kepala. Tapi aku akan memberimu satu nasihat: siap-siaplah kehilangan. Karena itulah harga dari melawan sistem."
Saat Akselia meninggalkan gudang malam itu, dia tahu waktunya tidak banyak. Ancaman dari Arya dan ayahnya semakin nyata. Tapi dia juga tahu bahwa dia tidak sendiri.
Dengan Mikael di sisinya, dan tekad yang semakin kuat, Akselia bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Satu hal yang pasti: dia tidak akan membiarkan masa lalunya mengambil alih masa depannya.