Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Kembali ke Masa Lalu
Elyana terbangun dengan rasa bingung yang luar biasa. Matanya yang masih bengkak dari tangisan semalam tertuju pada langit-langit kamar yang familiar, yang terasa asing sekaligus penuh kenangan. Ia merasakan kelembutan selimut yang menutupi tubuhnya, suara angin yang berhembus lembut di luar jendela, dan aroma parfum Davin yang masih melekat di ruangan itu.
Namun, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang berbeda. Ketika ia melihat ke sekeliling, segalanya terlihat seperti sebelum semua kekacauan itu terjadi. Foto-foto di dinding, perabotan, bahkan aroma kopi pagi yang sempat mereka nikmati bersama. Elyana merasa seperti ada yang tidak beres, seperti ia terjebak dalam mimpi yang tak bisa dijelaskan.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan Davin muncul. Ia mengenakan setelan hitam, dengan ekspresi serius yang jarang ditunjukkan. Matanya menatap Elyana sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke jendela.
"Selamat pagi," ucapnya, suara itu seperti biasa—datar dan tidak ada emosi yang terlihat.
Elyana terkejut. Seharusnya, ia sudah tahu bahwa Davin telah meninggal, tetapi kini, di hadapannya, pria itu berdiri dengan wajah yang penuh ketidakpastian. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ia berada di sini, di masa lalu, di saat semuanya belum berubah?
"Davin...?" Elyana memanggil, suaranya bergetar. "Kita... kita belum menikah? Aku... bagaimana ini bisa terjadi?"
Davin menoleh, ekspresinya tak berubah. Ia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu, mencoba mengingat sesuatu yang penting. "Elyana, kau terlihat tidak sehat. Apakah kau baik-baik saja?"
Elyana merasakan jantungnya berpacu cepat. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan, meskipun sulit untuk dipercaya. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang sangat langka—kesempatan untuk mengubah semua yang telah terjadi. Tetapi bagaimana ia bisa menghadapinya? Bagaimana ia bisa memberitahu Davin tentang apa yang akan terjadi, tanpa membuatnya panik atau bingung?
"Aku... aku hanya butuh waktu," Elyana menjawab, berusaha menyembunyikan perasaannya yang membuncah. "Davin, ada banyak hal yang perlu kita bicarakan."
Davin mengangkat alis, sedikit tertarik, tetapi tetap dengan sikapnya yang tenang. "Bicarakan apa, Elyana? Aku tidak tahu apa yang membuatmu begitu cemas."
Elyana menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tidak mudah untuk menghadapi kenyataan bahwa ia berada di titik awal semua penderitaan ini, sebelum Davin mengetahui segala sesuatu. Ia harus bijaksana dalam kata-katanya.
"Aku hanya ingin kita lebih banyak berbicara, lebih banyak waktu bersama," kata Elyana, mencoba terdengar wajar. "Aku hanya merasa... kita perlu mendekatkan diri sebelum semuanya menjadi terlalu rumit."
Davin menatapnya sejenak, seolah mencoba membaca perasaan di balik kata-katanya. "Baiklah," katanya akhirnya. "Aku setuju. Tapi, jika ada yang mengganggumu, kau tahu aku akan selalu di sini."
Elyana merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Kegelisahan yang bercampur dengan harapan. Ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk menceritakan semuanya, tetapi setidaknya, kesempatan ini memberinya peluang untuk membuat Davin memahami perasaannya, untuk memberikan mereka waktu sebelum nasib mereka berpisah secara tragis.
"Aku ingin memperbaiki semuanya, Davin," bisiknya dalam hati. "Aku ingin kita memiliki kesempatan itu. Kali ini, aku tidak akan melewatkannya."
Elyana duduk di ruang tamu yang sunyi, jantungnya berdebar kencang. Sekilas, saat ia melihat meja di dekat sofa, pandangannya tertuju pada amplop putih berisi dokumen yang sudah ia tanda tangani beberapa waktu lalu. Itu adalah surat perceraian yang telah ia ajukan, keputusan yang membuatnya merasa seolah-olah hidupnya berada di ujung jurang. Namun, sekarang, di hadapannya, Davin masih ada—seperti sebelum semua kekacauan itu dimulai.
Pagi itu, perasaan panik semakin menghantui saat ia mendengar suara langkah kaki di luar pintu. Davin masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi serius, memegang ponsel di tangan. Wajahnya masih terlihat dingin, seperti biasanya, tetapi ada sesuatu di matanya yang Elyana belum pernah lihat sebelumnya. Kekhawatiran.
"Elyana," Davin memulai, suaranya tegas namun agak ragu. "Aku baru saja menerima pemberitahuan dari pengacara. Mengenai... perceraian kita?"
Elyana merasa darahnya membeku. Kata-kata itu mengalir seperti air deras yang menghantam batu. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin keputusan ini sudah hampir diputuskan? Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang kembali mengikutinya, tetapi kali ini, ia berada di dalamnya, memegang peran yang seharusnya sudah selesai.
"Davin, aku... aku belum siap," ucapnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia berdiri, mencoba mengatur napas. "Aku tidak ingin cerai."
Davin berdiri di depan Elyana dengan ekspresi bingung yang terlukis di wajahnya. Ia memandangnya keanehan dalam diri Elyana, seseorang yang ia kenal namun tak bisa dipahami.
"Elyana," katanya, suara penuh kebingungan. "Kau mengatakan tidak ingin cerai, tapi kenapa aku merasa seperti semuanya sudah terlalu terlambat?"
Elyana menatap Davin, matanya penuh air mata dan perasaan yang campur aduk. Ia ingin menjelaskan, ingin menjawab semua kebingungannya, tetapi kata-kata itu terasa seperti terjebak di tenggorokannya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Bagaimana menjelaskan bahwa ia salah besar? Bagaimana menjelaskan bahwa ia tidak pernah benar-benar ingin berpisah, tetapi sekarang, semuanya sudah di ujung jurang?
"Aku... aku membuat kesalahan, Davin," ucap Elyana, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak ingin perpisahan ini."
Davin mengernyitkan dahi, langkahnya maju satu langkah. Ia menatap Elyana dengan mata yang penuh pertanyaan. Selama ini, ia hanya melihat Elyana yang teguh, yang sudah menentukan sikapnya. Tetapi sekarang, di hadapannya, ada Elyana yang tampak rapuh dan penuh keraguan. Ini membuatnya semakin bingung.
"Kau sudah mengajukan perceraian," kata Davin, nada suaranya lebih keras, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. "Kau sudah membuat keputusan itu, Elyana. Kenapa sekarang kau berubah pikiran?"
Elyana menatap Davin, matanya yang merah mulai berkilau. "Karena aku sadar, Davin. Aku sadar aku tidak ingin kita berakhir seperti ini. Aku ingin memperbaikinya, jika kau masih mau."
Davin diam, membiarkan keheningan merayap di antara mereka. Ia mencoba memahami semua ini, mencoba mengurai kebingungan yang semakin dalam. Elyana, yang selalu terlihat mantap dan percaya diri, kini tampak rapuh, hampir seperti seekor burung yang terluka. Ia tidak tahu apakah ia bisa percaya bahwa kali ini, Elyana benar-benar serius. Ia takut, takut untuk terluka lagi.
"Apakah ini hanya kebingungan sementara, Elyana?" tanya Davin dengan nada yang sulit diartikan. "Apakah ini hanya karena kamu melihat aku di sini sekarang?"
Elyana menatapnya, berusaha menegaskan keberadaannya. "Bukan hanya itu, Davin. Ini lebih dari sekadar saat ini. Aku benar-benar ingin kita berjuang. Aku tidak ingin menyerah."
Davin merasakan perasaan yang tidak bisa dijelaskan, campuran antara harapan dan keraguan. Ia ingin percaya, ingin merasa yakin, tetapi masih ada bagian dari dirinya yang ragu. Bagaimana jika kali ini, Elyana hanya merasa bingung dan tidak benar-benar tahu apa yang dia inginkan?
"Kita tidak bisa bermain-main dengan ini, Elyana," kata Davin akhirnya, suaranya lebih lembut. "Kita harus tahu jika ini benar-benar yang kita inginkan, bukan hanya karena rasa takut akan kehilangan."
Elyana mengangguk, air matanya mengalir lebih deras. "Aku tahu, Davin. Dan aku siap untuk membuktikannya. Jika kau masih mau memberiku kesempatan, aku akan berjuang."
Davin menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang bergejolak. Ia menatap Elyana dengan tatapan yang sulit diartikan—ada kekhawatiran, tetapi juga ada kilasan harapan yang mulai tumbuh di dalamnya. "Baiklah, Elyana. Tapi kali ini, kita harus benar-benar melakukannya dengan cara yang berbeda. Tidak ada tempat untuk kesalahan lagi."
Elyana merasa seolah-olah dunia ini kembali memberikan harapan padanya. Walaupun langkah mereka masih panjang dan penuh tantangan, ada kemungkinan, meskipun rapuh, untuk memperbaiki semuanya.
...****************...