Welcome Yang Baru Datang☺
Jangan lupa tinggalkan jejak, Like, Vote, Komen dan lainnya Gais🌹
=====================================
Irene Jocelyn harus kehilangan masa depannya ketika ia terpaksa dijual oleh ibu tiri untuk melunasi hutang mendiang sang ayah. Dijual kepada laki-laki gendut yang merupakan suruhan seorang pria kaya raya, dan Irene harus bertemu dengan Lewis Maddison yang sedang dalam pengaruh obat kuat.
Malam panjang yang terjadi membuat hidup Irene berubah total, ia mengandung benih dari Lewis namun tidak ada yang mengetahui hal itu sama sekali.
hingga lima tahun berlalu, Lewis bertemu kembali dengan Irene dan memaksa gadis itu untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi lima tahun lalu.
Perempuan murahan yang sudah berani masuk ke dalam kamarnya.
"Aku akan menyiksamu, gadis murahan!" pekik Lewis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bucin fi sabilillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa rencanamu?
Devon hanya terdiam sembari mempelajari semua hal baru yang ada disekitar. Ia belum sepenuhnya menerima kehadiran Lewis, namun juga tidak menolak.
Ia hanya terdiam mengamati percakapan adik, ibu dan ayahnya. Walaupun ada rasa aneh, namun Devon tidak bisa menggambarkan rasa itu.
Ia masih menatap ke arah luar dan melihat apa yang di tunjuk oleh Diego. Ini kali pertama mereka datang ke kota Barthow.
"Ibu, apa kita boleh belanja?" tanya Devon ketika melihat Irene selesai menelpon Lewis.
"Boleh, Sayang. Devon mau beli apa?" tanya Irene tersenyum.
Ia masih memiliki cukup uang untuk membelikan apa saja yang diinginkan pria kecilnya. Mungkin tidak banyak, setidaknya ia sudah menabung dalam waktu tiga tahun terakhir.
"Aku mau beli komputer baru, Bu. Laptop yang sekarang sudah lambat, aku tidak nyaman," jelas Devon menatap Irene penuh harap.
"Boleh, Sayang!" Irene mengelus kepalanya dengan lembut.
Devon memang foto copyan Lewis. Tidak ada yang berbeda sama sekali antara mereka selain usia.
"Adek mau beli apa?" tanya Irene ketika melihat Diego tengah berpikir keras.
"Belum tau, Ibu. Nanti kita ke toko buku ya!" ajaknya penuh keyakinan.
Memiliki otak yang pintar, membuat mereka begitu menonjol di taman kanak-kanak. Diego dan Devon sudah bisa membaca, menghitung penjumlahan dan menyelesaikan rumus sulit hanya dalam satu kali pengajaran.
Irene meringis, namun ia hanya mengangguk pasti dan mendukung semua keinginan anak-anaknya.
Ketika sampai di sebuah restoran, mereka langsung masuk ke dalam ruang privat yang sudah dipesan oleh Lewis.
Pria tampan itu sudah berada di sana dengan begitu banyak makanan yang sudah terhidang dimeja makan.
"Hai," sapa Lewis sambil tersenyum.
"Ayah sudah lama?" tanya Diego.
"Baru sampai, Nak. Ayo kita makan, ayah gak bisa lama soalnya," ucap Lewis menggendong Diego dan mengusap kepala Devon dengan lembut.
Lewis menatap Irene yang terlihat lebih cantik dengan make up sederhana. Hatinya semakin kesal dan memberikan tisue kepada Irene untuk menghapus make up itu.
"Gak usah lebay! Saya juga menutupnya dengan masker!" ucap Irene tidak suka.
Lewis hanya menatap Irene dengan datar. Devon yang melihat itu langsung membalas tatapan Lewis dengan tajam hingga membuat pria tampan itu menghela napas.
"Jaga ibu kalian, atau nanti kalian bisa dapat ayah baru yang kejam!" ucap Lewis ketus.
"Boleh saja, semoga gak dapat yang kasar dan jahat!" ucap Devon datar.
Lewis tersedak dan menatapnya tidak suka. Bisa-bisanya anak kecil berbicara seperti itu.
Irene merasakan atmosfer antara anak dan ayah itu. Ia hanya menghela napas membayangkan seperti apa ketika mereka dewasa nanti.
"Sudah!" tegas Irene membuat Devon mengalihkan pandangannya.
Diego hanya duduk tenang sambil menatap Lewis dan Devon bergantian. Ia mencomot beberapa buah dan memakannya dengan santai.
"Ayah dan Kakak begitu mirip. Datar dan gak punya semangat," ucap Diego membuat mereka menatapnya tajam.
"Ibu, mereka jahat!" adu Diego yang bersembunyi di balik punggung Irene.
"Sudah! Ayo kita makan. Habis ini kita pergi bermain ke time zone," ucap Irene merasa lelah.
Lewis menyuapi anak-anaknya dengan telaten, sementara Irene memisahkan tulang dengan daging. Mereka terlihat seperti keluarga harmonis dan rukun.
"Apa kamu sudah memiliki rencana?" tanya Lewis.
"Rencana apa?" Irene menatapnya bingung. Namun ia paham kemana arah pembicaraan pria tampan ini.
"Untuk mereka. Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Lewis.
Dua pria kecil itu masih sibuk mengunyah makanan, namun telinga mereka begitu nyaring dan menyimak pembicaraan orang tua itu.
"Sekarang saya belum ada rencana. Fokus saya masih untuk anak-anak. Gak tau nanti gimana," jelas Irene.
Ia tentu paham, Diego dan Devon tidak boleh mendengar hal buruk dalam hidup mereka. Sehingga Irene tidak mungkin mengatakan rencana balas dendam yang akan ia lakukan nanti.
Lewis mengernyit, namun ia melihat sekilas kode dari Irene dan membuatnya sadar.
"Nanti ayah pulang agak larut, kalian jangan nakal ya! Jagain ibu baik-baik," ucap Lewis.
Dua pria kecil itu mengangguk pasti dengan mulut yang penuh.
Setelah menyelesaikan makan, Lewis mengeluarkan sebuah kartu hitam edisi terbatas dari sakunya.
"Ini untuk jajan nanti, Nak! Pakai berdua dulu ya, nanti ayah buat satu-satu!" ucap Lewis sambil menyerahkan kartu kepada Devon.
Pria kecil itu menatapnya dengan lekat. Ia tidak pernah mendapatkan hal ini dari orang lain. Walaupun Ken sering membawa mereka jalan-jalan, hanya saja Ken tidak memberikan mereka kartu seperti ini.
"Simpan saja! Saya masih memiliki uang untuk itu," tolak Irene membuat wajah Lewis kembali datar.
"Ambil, Nak! Kalian tanggung jawab ayah sekarang! Beli apapun yang kalian inginkan," ucap Lewis.
"Apa aku boleh borong satu toko buku, Ayah?" tanya Diego dengan mata yang berbinar.
"Boleh, nanti ayah siapkan perpustakaan pribadi di rumah untukmu!" ucap Lewis tersenyum dan mengusap kepala Diego dengan gemas.
Ia kembali menatap Devon. "Kamu mau beli apa? Belilah, jangan lihat harganya," sambung Lewis tersenyum.
Dengan ragu, Devon mengambil kartu itu dan menyimpannya dengan baik. "Terima kasih, ayah!" ucapnya.
"Sama-sama, Nak. Ayah pamit dulu ya! Jangan jauh-jauh dari ibu nanti," ucap Lewis dengan tegas.
Ia mengecup kening mereka dan beralih menatap Irene. Wanita cantik itu hanya mendengus kesal.
"Anda seperti akan pergi selamanya!" ketus Irene membuat Lewis mengecup bibirnya dengan gemas.
"Persiapkan dirimu malam ini!" bisik Lewis membuat bulu kuduk Irene meremang.
Ia segera pergi dari sana dan meninggalkan mereka.
Irene menatap Diego dan Devon dengan perasaan yang bercampur aduk. Jangan sampai kartu hitam itu sebagai bentuk sogokan, agar Irene percaya jika Lewis memang benar-benar tulus, lalu membawa anak-anaknya pergi.
Sebentar mereka melanjutkan makan siang, karena Irene tidak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk mubadzir makanan.
"Ayo kita pergi!" ajak Irene bersemangat setelah menyelesaikan kakan siang.
Dua pria kecil itu juga ikut bersorak dan keluar dari ruangan privat itu.
"Yeeey, ibu kita bisa main sepuasnya di sini, ayah akan pulang malam!" ucap Diego terkekeh senang.
"Kalian ikut om Max dulu ya, Ibu mau ke ke toilet sebentar," ucap Irene.
Mereka dengan patuh menggandeng tangan Max menuju mobil.
Irene melangkah menuju toilet untuk mencuci tangan. Tepat ketika hendak masuk, ia tanpa sengaja menabrak seseorang.
"Kau punya mata tidak? Ck, baju mahalku!" bentak wanita cantik itu.
Irene menatapnya dengan tajam. "Anda yang menabrak saya!" tukas Irene tidak terima.
"Heh! Jelas-jelas kau yang menabrak! Kau tidak tau siapa saya ha?" pekiknya.
Irene hanya mendengus kesal menatap gadis ini. Dia memang terlihat cantik namun begitu angkuh dan sombong.
"Ada CCTV, kita bisa cek kalau anda mau!" sindir Irene.
"Heh, miskin! Jangan sok belaga tau kau! Sekarang ganti bajuku 100 juta!" bentaknya.
"Baju kumal seperti itu 100 juta? anda sudah tertipu sepertinya," sindir Irene membuat Shirley melotot kaget.
"Apa yang kau bicarakan? Kalau tidak punya uang untuk mengganti baju saya, jangan sok-sok an kau!" tukas Shirley.
Irene tersenyum. Gadis ini benar-benar bodoh. "Harusnya saya yang minta ganti, baju saya ini seharga 150 juta!" ucapnya sembari memperlihatkan tag harga yang belum terlepas.
Shirley terdiam. "Saya tidak mau tau, kau harus ganti rugi!" pekiknya.
"Nona, Tuan Lewis sudah pergi sadari tadi," ucap Fira yang berhasil menghentikan perdebatan mereka.
Irene terkejut menatap dua gadis ini. Ada urusan apa mereka dengan Lewis.
"Ck, gara-gara kau ja*lang! Hancur rencana saya!" pekiknya sambil menghentakkan kaki.
Irene hanya terdiam sambil menatap dua orang gadis yang sedang dalam misi menemukan Lewis ini.
Siapa mereka? Kenapa Lewis mau berurusan dengan dua badut seperti itu? Bikin kesal saja!. Batin Irene.
Ketika hendak masuk ke dalam toilet, Max datang terburu-buru karena Irene Irene tidak kunjung kembali.
"Nyonya?" panggilnya panik.
"Apa yang terjadi?" tanya Irene khawatir.
Max hanya terdiam. "Anda tidak kunjung keluar, makanya saya menyusul, Nyonya!" jelas pria tampan itu membuat Irene terdiam.
Ia segera mencuci tangan dan kembali ke mobil untuk pergi bersenang-senang dengan anak-anaknya.
"Jangan khawatir, saya tidak akan kabur!" ucap Irene lirih sebelum masuk ke dalam mobil
Max hanya mengangguk pasti. Ia segera membawa ibu dan anak itu jalan-jalan mengelilingi kota Barthow.
Ia mengirimkan pesan kepada manager restoran untuk meminta CCTV di area toilet agar tau apa yang terjadi dengan Irene.
Jangan sampai, Nyonya muda ini kenapa-napa atau dia akan menerima hukuman yang begitu berat dari Lewis karena lalai.
Sementara itu, tanpa mereka sadari. Shirley dan Fira menatap kepergian mereka dengan tatapan bingung dan juga dendam.
"Periksa siapa dia!" titah Shirley.
di tunggu bab selanjutnya ya🥲🥲