Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Di Antara Persiapan dan Ketegangan
“Hawa, kamu yakin warna mawar putih cocok untuk dekorasi utama?” tanya Harrison sambil memegang katalog bunga. “Aku pikir warna merah muda lebih mencerminkan kamu—lembut dan memikat.”
Hawa tertawa kecil, menggeleng sambil memandang Harrison dengan penuh cinta. “Mas, ini pernikahan kita, bukan sesi puisi. Mawar putih itu elegan dan sederhana, pas untuk tema kita.”
Harrison mengangkat alisnya. “Baiklah, Nona Perfeksionis. Kalau kamu bilang mawar putih yang terbaik, aku ikut saja. Tapi, bagaimana kalau aku tambahkan beberapa lilin aromaterapi di sudut ruangan? Biar lebih romantis.”
Hawa meliriknya dengan senyum tipis. “Romantis untuk siapa? Tamu-tamu kita atau Mas sendiri?”
Harrison mendekat, menyentuh dagu Hawa dengan lembut, matanya menatap penuh arti. “Untuk aku dan kamu. Lagipula, aku ingin hari itu jadi yang paling sempurna, bukan cuma untuk tamu, tapi untuk kita.”
Hawa merasa pipinya memanas. Meskipun sudah sering mendengar kata-kata manis dari Harrison, tetap saja pria itu berhasil membuat hatinya berdebar setiap kali. “Mas, fokus ke dekorasi dulu. Jangan malah bikin aku salah pilih karena digoda terus.”
Harrison tertawa kecil dan mencium kening Hawa sebelum kembali duduk di kursinya. “Baik, Nona. Saya akan bekerja sesuai arahan Anda.”
Siang itu, rumah mereka dipenuhi keramaian. Para dekorator, florist, dan tim katering sibuk mempersiapkan detail untuk hari besar mereka. Hawa sibuk memeriksa daftar tamu, memastikan tidak ada yang terlewat, sementara Harrison sesekali mengawasi pekerjaan para staf.
“Mas, kamu yakin nggak mau ada tarian pembuka?” tanya Hawa tiba-tiba.
Harrison menoleh dengan senyum jahil. “Kalau kamu mau, aku bisa belajar dansa sekarang juga. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti aku menginjak kakimu di depan semua orang.”
Hawa terkekeh. “Mas, aku nggak yakin dansa itu ide yang bagus. Aku cuma bercanda.”
“Tapi aku serius,” kata Harrison sambil menarik Hawa ke tengah ruangan. “Ayo, kita latihan sekarang. Siapa tahu aku ternyata berbakat.”
“Mas, ini bukan waktunya,” protes Hawa, tapi Harrison sudah memeluknya dan mulai bergerak pelan mengikuti irama imajiner.
“Tutup matamu,” bisik Harrison.
“Mas, kita—”
“Tutup saja,” desaknya lagi.
Dengan ragu, Hawa menutup matanya. Sesaat kemudian, ia merasakan Harrison memimpin gerakan mereka dengan lembut. Hawa tertawa pelan, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu. Meski hanya sejenak, ia merasa semua kekhawatiran tentang ancaman dan rencana pernikahan menghilang.
Ketika ia membuka mata, Harrison menatapnya dengan penuh cinta. “Lihat? Aku bisa memimpinmu tanpa membuatmu terluka. Jadi, jangan pernah ragu padaku.”
Hawa merasa matanya berkaca-kaca. “Mas, kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa aman.”
Harrison tersenyum, mengecup keningnya dengan lembut. “Dan aku akan terus melakukannya, setiap hari.”
Namun, di balik kesibukan mereka, ancaman dari Samuel belum sepenuhnya hilang. Harrison diam-diam mengatur pengamanan tambahan untuk lokasi pernikahan mereka. Ia sudah menyewa tim profesional untuk memastikan tidak ada gangguan di hari besar mereka.
“Harrison, kamu yakin semuanya aman?” tanya David, salah satu sahabatnya yang juga menjadi pengawal di pernikahan itu.
Harrison mengangguk. “Aku nggak mau ambil risiko, David. Samuel mungkin mundur untuk sementara, tapi aku tahu dia masih menyimpan dendam. Aku harus memastikan Hawa dan Emma nggak dalam bahaya.”
David menepuk bahu Harrison. “Kamu sudah melakukan yang terbaik. Aku akan pastikan semuanya berjalan lancar.”
Di malam hari, setelah semua persiapan hampir selesai, Hawa duduk di balkon bersama Harrison, menikmati udara malam yang sejuk.
“Mas, kamu nggak merasa ini semua terlalu mewah?” tanya Hawa pelan.
“Mewah itu relatif,” jawab Harrison. “Yang penting, aku ingin hari itu jadi momen yang nggak akan pernah kita lupakan. Ini bukan soal uang atau dekorasi. Ini soal kita, Hawa.”
Hawa tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Harrison. “Aku merasa seperti gadis paling beruntung di dunia.”
“Dan aku pria paling beruntung karena kamu memilihku,” jawab Harrison sambil merangkul Hawa lebih erat.
Namun, saat mereka larut dalam momen romantis itu, ponsel Harrison bergetar. Ia mengambilnya dengan raut wajah serius setelah membaca pesan yang baru masuk.
“Ada apa, Mas?” tanya Hawa, melihat perubahan ekspresinya.
Harrison menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Nggak apa-apa. Hanya sedikit gangguan.”
Hawa tahu Harrison menyembunyikan sesuatu, tapi ia memutuskan untuk tidak memaksanya.
Setelah membaca pesan itu, Harrison berdiri dan berjalan ke tepi balkon. Matanya menyipit menatap kegelapan, memikirkan langkah berikutnya. Hawa memperhatikan dari kursinya, merasa ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.
“Mas, kalau ada yang kamu khawatirkan, aku ingin tahu,” ujar Hawa lembut.
Harrison menoleh, mencoba tersenyum, tetapi raut wajahnya tetap serius. “Ini cuma masalah kecil, Hawa. Nggak perlu kamu pikirkan. Fokus saja pada pernikahan kita.”
Hawa berdiri, menghampiri Harrison, lalu menggenggam tangannya erat. “Mas, aku tahu kamu ingin melindungiku, tapi aku nggak mau kamu menanggung semuanya sendirian. Kita ini tim, kan? Kalau ada masalah, aku ingin jadi bagian dari solusinya.”
Harrison menghela napas panjang, merasa tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya lebih lama. “Hawa, aku nggak mau kamu takut. Tapi aku rasa Samuel belum selesai dengan rencananya.”
Hawa terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Harrison lebih erat. “Apa dia akan mencoba mengganggu pernikahan kita?”
“Mungkin,” jawab Harrison dengan jujur. “Tapi aku sudah mempersiapkan segalanya. Dia nggak akan punya kesempatan untuk menyentuhmu atau Emma. Aku janji.”
Hawa merasa hatinya campur aduk. Di satu sisi, ia percaya pada kemampuan Harrison untuk melindunginya. Tapi di sisi lain, ancaman itu membuat pikirannya terusik. “Kalau begitu, aku akan berdoa agar semuanya berjalan lancar,” ucapnya lirih.
Harrison mengusap pipi Hawa, menatapnya dengan penuh kasih. “Hawa, nggak ada yang lebih penting bagiku selain kamu dan Emma. Aku akan lakukan apa pun untuk memastikan kalian aman, bahkan jika aku harus menghadapi bahaya sendiri.”
“Mas…” suara Hawa hampir tak terdengar.
Harrison membungkuk dan mencium keningnya. “Sudah malam, Hawa. Kamu harus istirahat. Aku masih ada beberapa hal yang perlu aku urus.”
Hawa mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. Setelah Harrison mengantarnya pulang, ia kembali fokus ke gangguan yang mengancam.
“David, tingkatkan pengamanan untuk pernikahan. Aku nggak mau ada celah sedikit pun,” ujar Harrison dengan nada dingin.
“Sudah kuatur tim tambahan,” jawab David dari ujung telepon. “Tapi Harrison, kamu yakin nggak mau melibatkan polisi? Ancaman ini serius.”
“Polisi akan membuat semuanya jadi sorotan, dan itu hal terakhir yang aku inginkan di hari besar kami. Aku akan tangani ini sendiri.”
David terdiam sejenak sebelum menjawab, “Baiklah, aku akan pastikan semuanya berjalan sesuai rencana.”
Harrison mengakhiri panggilan itu, lalu memandang jauh ke horizon. Di sudut pikirannya, ia tahu Samuel adalah tipe orang yang tidak mudah menyerah.
Di tempat lain, Samuel duduk di sebuah ruangan remang-remang, ditemani segelas anggur dan senyum liciknya. Ia menatap layar laptop yang menampilkan gambar dekorasi pernikahan Harrison dan Hawa.
“Pernikahan yang indah,” gumamnya pelan. “Tapi aku rasa kalian butuh sedikit kejutan.”
Samuel lalu menelepon seseorang, memberikan instruksi rinci tentang rencananya. “Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Aku ingin Harrison tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga.”
Pria di ujung telepon mengangguk. “Siap, Pak. Tidak ada yang akan menghalangi rencana ini.”
***
Kembali ke rumah, Hawa yang belum bisa tidur berjalan pelan ke balkon, hanya untuk telp Harrison. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan pria itu.
“Mas, aku nggak bisa tidur,” ucapnya pelan di telp.
“Kamu nggak perlu khawatir, Hawa. Aku sudah pastikan semuanya aman.”
Hawa mendengus, “Mas, aku nggak peduli seberapa berat masalah yang harus kita hadapi. Selama kita bersama, aku yakin kita bisa melewatinya.”
Harrison menjawab dengan santai. “Dan aku janji, kita akan selalu bersama. Aku nggak akan biarkan siapa pun merusak kebahagiaan kita.” Tidak lama terputuslah sambungan telp.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.