Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Tak Diundang
“Sebenarnya Mas ….” Aliando mengigit lidahnya. Kenapa begitu sulit mengakui identitas aslinya? Ia kesal terhadap diri sendiri.
Jika aku mengakui pada Laras kalau aku ini Polisi Intel, apakah dia mau membalikkan pikirannya untuk menceraikan aku?
“Sebenarnya apa cita-cita kamu?” Aliando menunduk. Dirinya malah membelokkan perkataannya.
“Presenter.”
“Oh, jadi kamu Ilmu Komunikasi?” tanya Aliando berbasa basi.
“Sastra Rusia.”
Mulut Aliando membola, nyaris tertawa tapi ditahan, ia lalu berkata, “urraaa.”
Laras menoleh, hidungnya berkedut. “Aku lagi serius.”
“Oke.” Ali mengangguk sambil mengangkat kedua tangannya. “Mas mau ngakuin sesuatu.”
“Apa? Kalau sebenarnya Mas itu, judol?”
“Hah?”
“Iya, ‘kan?”
“Kamu serius mengira kalau, Mas, judol?”
Gila …, aku polisi, Laras! Bahkan Mas pernah razia dan membubarkan pusat judol di Ibu Kota loh!
“Uang Mas Al banyak, tapi kerjanya cuma jadi ojol.” Wanita itu menarik sekantong besar yang berisikan peralatan kecantikan. “Gimana bisa beli skincare mahal kalau kerjanya cuma ngojol?”
“Jadi, kamu intinya gak mau jadi istri Mas, karena pekerjaan Mas ojol atau karena kamu pikir aku ngejudi online?”
“Keduanya,” jawab Laras serius.”
Karena Aliando sudah tidak tahan lagi disangka begini dan begitu. Pria bertubuh atletis itu berdiri tegak. “Mas bisa mendukung cita-citamu sampai terwujud. Mas juga gak masalah kalau kamu sarjana!”
“Awalnya emang gitu, ‘kok, Mas. Temen-temen Laras banyak yang cerai karena status pendidikan dan karir yang ngejomplang!” Wanita bertubuh mungil itu ikut berdiri. Bola matanya menatap serius pada suaminya. “Laras gak mau semakin memperkeruh keadaan. Mas Ali berhak mendapatkan wanita yang sesuai begitu pun dengan Laras.”
“Tapi Mas bukan sekedar ojol!”
“Ya terus apa?!”
“Mas ini Po ….”
Tok … Tok … Tok …
Kedua orang yang tengah berdebat di dalam rumah sontak menoleh bersamaan ke arah pintu.
“Selamat malam!” Makin keras pria di luar mengetuk pintu, kali ini nyaris seperti menggedor.
“Ck, siapa, sih?!” Aliando membuka pintu, sudah hampir murka, raut wajahnya seketika berubah ketika melihat orang yang berdiri di depan rumah tinggalnya.
Cepat-cepat Aliando mendorong tubuh yang setinggi dirinya itu menuju tempat gelap. “Ngapain lo ke sini, hah?”
“Hey, santai bro,” jawab Baskara memperlihatkan deretan gigi rata putihnya.
“Gak usah basa-basi, ada perlu apa?” Tatapan Ali menjurus penuh kecurigaan.
Baskara melepaskan pegangan tangan keras saudara angkatnya dari kera bajunya. Ia berdeham melihat ke arah rumah Honai. Ia tersenyum kemudian memandang rendah ke Ali. “Cantik, ya, istirmu.”
Seketika tangan Aliando mengepal hendak menonjok tapi masih ia tahan bogeman itu di depan wajah Baskara. “Belum puas udah ngambil tugas aku?”
“Kamu, ‘kan, gak becus. Kenapa marah?” tantang Baskara. Pria itu memajukan badannya sehingga menempel ke dada Aliando yang terasa sesak oleh gemuruh rasa marah.
“Bass, aku tahu kalau kamu sekongkol sama pengedar itu, ‘kan?!” geram Ali, bibirnya gemetar, urat pada wajahnya mencuat.
Baskara tersenyum, “baru kali ini gue lihat muka lo ada ekspresinya.”
Bruakkk!
Aliando memukul wajah mulus itu hingga tersungkur. Tempat tinggalnya agak berjauhan dengan rumah Honai yang lain sehingga ketika ada keributan kecil yang terjadi, tidak akan mengundang perhatian warga.
Namun, Laras yang keluar saat ini. Ketika melihat suaminya memukul orang, wanita itu segera berlari. “Masss!”
Ali menoleh, ia tahan tubuh Laras sebelum sampai di dekat Baskara. “Masuk.”
“Mas ngapain mukul orang?” panik Laras. Wanita itu tidak bisa melihat siapa yang tersungkur di sana karena penerangan tidak ada, gelap gulita.
“Dia penjahat, sana cepat masuk, nanti kamu diculik!”
“Hah? Diculik?!”
“Ya, pokoknya kamu masuk rumah, cepat!” Aliando mendorong kuat tubuh mungil itu. Tapi, Laras masih kepala batu, terpaksa Ali membopongnya ke dalam rumah. Pria itu mengunci Laras dari luar.
“Hey!” Sambik Ali berjalan cepat menunjuk Baskara yang terduduk dalam tawanya. “Lo balik sekarang atau gue patahin tulang selangkangan lo!”
“Besok sidang perdana kasus narkoboy itu,” ujar Baskara cepat.
“Terus? Mau menyombongkan diri lo di depan gue?” kata Ali ngos-ngosan.
“Ternyata seorang Aliando, Polisi Intel kesayangan Ayah kalau marah pake bahasa ‘gue’ dan ‘lo’ ya? Hahaha.”
“Gak ada hubungannya.” Aliando menarik paksa lengan pria itu, ia seret sampai di depan mobil Baskara yang terparkir jauh dari tempat tinggalnya. “Pulang.”
“Gue bakalan pulang, tapi gue mau ketemu Laras dulu.”
Kening Ali mengernyit kesal, matanya membola seperti mau lompat keluar. Kerah baju Baskara kembali menjadi sasaran. “Buat apa, sat?!”
“Saran gue, sebaiknya lo ikut gue balik ke kota J.”
“Sinting!”
“Laras dalam bahaya kalau sama lo!” Gantian, Baskara yang menunjuk muka saudara angkatnya.
“Kenapa jadi bawa-bawa Laras, hah?!”
“Karena dia istri lo, tolol!” Baskara mengeluarkan ponselnya. “Lihat, tahanan bernama Desta itu mati diracun dalam sel. Satu-satunya orang yang tahu di mana markas pengedar. Bos besar mereka ngincer lo. Jadi, siapa pun yang ada di dekat lo, bakalan kena imbasnya.”
“Termasuk lo, Ayah, dan Mama?” tanya Aliando cemas.
“Gak.”
“Why?”
“Karena Papi bisa ngelindungi keluarganya sendiri. Sedangkan lo …, lo cuma anak pungut, bisa mati kapan aja.”
“Kenapa tiba-tiba sok perduli ama gue?” Aliando mendorong bahu Baskara. Matanya memicing ketika mengeluarkan praduganya. “Lo mau jebak gue lagi, ‘kan?”
“Ngomong apa sih, lo?!”
Aliando menghela napas panjang. Berusaha sedini mungkin menetralkan emosinya. Wajahnya kembali datar. Matanya mendelik pada Baskara, ia buka pintu mobil adik angkatnya. “Masuk, pulang, dan jangan pernah kembali ke sini.”
Baskara tertawa tidak percaya, jauh-jauh ia ke sini untuk menemuinya dan si Bangsat ini malah menghusirnya pulang tanpa mau mendengarkan ucapannya. “Lo bakalan nyesel.”
Aliando sudah tidak urus dengan perkataan tidak masuk akal Baskara. Ia dorong tubuh saudara angkatnya masuk ke dalam mobil.
Ia baru beranjak dari tempatnya berdiri ketika mobil Baskara sudah menghilang di pembelokan. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Aliando terus menunduk dalam, menendang tiap kerikil yang menghalangi jalannya.
Pria itu membuka pintu rumah dan tepat saat itu juga, Laras menghambur ke dalam pelukannya.
“Mas!” Pelukan Laras kuat sekali sehingga tubuh Ali terasa terikat. Wanita itu menangis tersedu.
“Laras?” Ali mengusap lembut kepala istrinya penuh sayang.
“Aku kira, Mas, udah mati.”
“Heh? Bicara apa kamu? Mas masih hidup dan sehat.”
“Penjahat yang tadi pergi ke mana?” Kepala itu mendongak menatap Ali. Sudut kedua matanya terlihat begitu basah. Hidungnya pun memerah.
“Udah aku husir, wuuu, sana udah jauh.”
Laras melepaskan pelukannya, ia periksa tubuh suaminya hingga dapat dipastikan kalau tak ada luka tusuk atau apa pun itu.
“Kenapa, sih, Ras?” bingung Ali.
“Hiks, Laras trauma banget lihat Mas Al kena tusukan.”
Hati Polisi Intel itu seketika bergetar. Tubuhnya menghangat seperti minta dierami, emang lo telur ayam , Al?
“Kamu itu perduli banget sama aku. Tapi, kenapa mau cerai dariku?”
Bibir wanita itu seketika terkatup rapat. Benar juga, kenapa dia harus menangis? Bukannya dia sudah yakin akan perasaannya sendiri kalau dirinya cuma suka? Bukan cinta.
“Kenapa diam? Hmm?”
Laras tidak tahu harus berkata apa. Dia sama sekali bingung dengan diri sendiri.
“Apa karena aku miskin?” tanya Ali mencoba mengorek kenyataan yang dirasakan Laras.
“Aku tidak mempermasalahkan kalau kamu khawatir soal ekonomi. Mas, bisa paham dan mengerti. Jujur saja, kerjanya aku bukan cuma ngojek.”
Laras mendongak. Ditatapnya pria di hadapannya dengan seksama. Mencari sebuah kebohongan dalam ucapan suaminya. Namun, sama sekali tidak ada, sepertinya ia jujur. “Terus, kerja apa selain jadi ojol?”
“Jadi suamimu,” jawan Aliando tersenyum, “Mas, punya bisnis.”
Aliando belum bisa mengatakan jika dirinya adalah Polisi Intel. Entah mengapa, ia belum yakin untuk show up mengenai identitas aslinya. Bukan karena tidak percaya sama Laras. Melainkan, ia mau lihat, sejauh mana istrinya bisa tahan dengan kondisi Ali yang berprofesi sebagai ojol.
Biar apa? Ya ndak tahu, cari aja jawabannya di bab berikutnya.
Dicerein beneran tahu rasa lo, Al ….