Menginjak usia 32 tahun, Zayyan Alexander belum juga memiliki keinginan untuk menikah. Berbagai cara sudah dilakukan kedua orang tuanya, namun hasilnya tetap saja nihil. Tanpa mereka ketahui jika pria itu justru mencintai adiknya sendiri, Azoya Roseva. Sejak Azoya masuk ke dalam keluarga besar Alexander, Zayyan adalah kakak paling peduli meski caranya menunjukkan kasih sayang sedikit berbeda.
Hingga ketika menjelang dewasa, Azoya menyadari jika ada yang berbeda dari cara Zayyan memperlakukannya. Over posesif bahkan melebihi sang papa, usianya sudah genap 21 tahun tapi masih terkekang kekuasaan Zayyan dengan alasan kasih sayang sebagai kakak. Dia menuntut kebebasan dan menginginkan hidup sebagaimana manusia normal lainnya, sayangnya yang Azoya dapat justru sebaliknya.
“Kebebasan apa yang ingin kamu rasakan? Lakukan bersamaku karena kamu hanya milikku, Azoya.” – Zayyan Alexander
“Kita saudara, Kakak jangan lupakan itu … atau Kakak mau orangtua kita murka?” - Azoya Roseva.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - Nama Yang Sama
Mimpi apa dia liburan di saat-saat begini. Sempat ditolak oleh teman-temannya, Zayyan memilih untuk sendiri. Meski demikian tentu saja dia hanya menjalani, sementara persiapan dan segalanya adalah tanggung jawab Clayton, sang asisten. Pria itu yang menentukan dimana dia menginap, dan apa yang diperlukan Zayyan selama di sana.
"Kamar 202, semua sudah aku persiapkan ... nikmati waktumu di sana, aku dan Zico akan bertanggung jawab di sini," tutur Clayton dari balik sambungan teleponnya, dia hanya memberikan hal yang memang sudah dia ketahui sebelumnya.
Zayyan tidak menjawab lagi, dia melangkah gontai ketika tiba di bandara. Seorang pria berpakaian serba hitam sudah menunggu kedatangannya, wajah penuh senyum hangat dia berikan pada Zayyan namun tidak sebaliknya dengan Zayyan, pria itu memilih diam saja.
"Pak Zayyan?"
Dia sedikit terganggu dengan panggilan Pak tersebut, apalagi dari orang yang lebih dewasa darinya. Jika di luar begini akan lebih baik ketika seseornag memanggil namanya saja.
"Iya, benar."
Nampaknya ini adalah bagian dari sekian banyak hal yang Clayton persiapkan untuknya. Sejak dia berada di titik terendah, memang orang-orang di sampingnya seakan menganggap Zayyan sangat butuh di dampingi, terlebih lagi Zico yang menganggap jika mental Zayyan sebenarnya bermasalah pasca kematian Zoya.
Sepanjang perjalanan, mata Zayyan tidak berhenti menatap ke luar sana. Pria itu tengah berpikir dan merenungi sampai kapan akhir penantiannya. Zoya terlampau mandiri hingga benar-benar enggan mengusiknya lagi, hampir setiap hari Zayyan memeriksa email dan berharap akan ada notifikasi yang menjadi titik terang untuk menemukan istrinya.
Akan tetapi, bahkan hingga malam ini tidak ada tanda-tanda kehidupan Zoya dan membuatnya seolah mati sungguhan. Sejenak Zayyan memejamkan mata, niat hatinya liburan tapi kenapa belum apa-apa dia sudah sekacau ini. Hingga tanpa dia sadari pelupuk matanya membasah, ini hal biasa dan akan selalu begini sampai nanti Zayyan menemukan obatnya.
"Sudah sampai, Pak."
Terlalu lama melamun, Zayyan bahkan tidak sadar jika dirinya sudah tiba di hotel. Zayyan mengucapkan terima kasih untuk kali ini, sejenak dia mendongak kala tiba di bangunan menjulang tinggi di hadapannya. Memastikan tidak salah tempat dan Zayyan enggan malu di dalam sana.
Pria itu melangkah panjang menuju resepsionis, seperti biasa seorang Zayyan yang sedikit enggan menatap lawan bicara yang tidak dia kenal. Hanya sebatas menyampaikan keperluannya dan setelah itu dia berlalu, ucapan terima kasih saja terkadang tidak dia jawab sama sekali.
"Zoya gawat!"
Zayyan menghentikan langkah kala mendengar seorang wanita setengah berteriak di belakangnya. Bukan masalah etika pegawai di sini yang dia permasalahkan. Melainkan memang nama itu membuat perhatiannya teralihkan sejenak.
"Ck, nama itu tidak hanya satu, Zayyan."
Pria itu bergumam pelan kala dia menoleh dan melihat dua wanita dengan seragam sama tampak berbincang di belakangnya. Hanya saja, meski dia tidak memiliki keyakinan jika bukan sang istri yang dimaksud pria itu tetap menoleh dan belum juga berlalu.
Mereka tampak berbisik, sialnya wajah wanita yang membuat penasaran itu belum terlihat juga. Beberapa saat kemudian mereka berlalu ke tempat lain, hingga terlihat jelaslah wajah wanita itu.
Deg
Jantung Zayyan berdegub kencang, untuk pertama kalinya harapan Zayyan tidak patah. Wanita itu benar-benar Zoya yang dia rindukan, hanya saja memang penampilan dia sangat jauh berbeda, lebih dewasa dan semakin cantik di matanya.
"Zoy_"
Baru saja hendak melangkah, Zayyan mengurungkan niat kala wanita itu tampak sedang menghadapi masalah serius. Untuk sementara Zayyan biarkan dia menjalani pekerjaan, kemungkinan besar tidak dapat diganggu dan untuk malam ini dia putuskan sampai di sini saja. Setidaknya dia sudah menemukan keberadaan istrinya.
"Sampai jumpa nanti malam, Zoya."
.
.
.
Sementara kini Zoya dan Alya tengah dibuat sebal lantaran tamu yang banyak sekali protesnya. Bersembunyi di balik kata pengunjung adalah raja membuat Zoya harus mengikuti kemauan mereka untuk diminta memindahkan posisi tempat tidur dan lainnya.
"Agak geser sedikit, belum pas."
Ya Tuhan, sesulit ini mencari uang. Zoya menyeka keringatnya, di antara banyak orang entah kenapa pria itu memilih Zoya untuk memenuhi keinginannya.
"Cukup, kalian boleh keluar ... sampaikan pada atasan kalian, temanmu yang tadi pecat saja," ungkap pria itu dan membuat Zoya memutar bola matanya malas, kenapa harus mereka mendapat pengunjung seperti pria ini.
Dengan napas yang kini terengah-engah, Zoya berlalu keluar diikuti Alya di belakangnya. Nasib keduanya memang sama, sudah berapa kali pengunjung meminta ini dan itu hanya demi merasakan kenyamanan padahal pekerjaan mereka tidak seharusnya begitu.
"Zoy, kamu masih kuat kerja? Berat loh begini," tutur Alya namun hanya mendapat senyuman tipis dari Zoya, pertanyaan yang hampir tiap hari Alya pertanyakan.
"Harus dong, memangnya aku siapa."
"Aku kalau jadi kamu mending terima lamaran pak Dikta, sudah dikasih jalan hidup enak sama Tuhan masih saja kerja sampe sakit pinggang," ungkap Alya bingung sendiri kenapa bisa Zoya sekuat itu menahan dirinya.
"Untuk sekarang hidupku sudah sangat baik-baik saja, Alya ... jadi aku tidak memiliki pikiran menerima pria lain," ujar Zoya membuat Alya menghela napas kasarnya, ya sudah dia duga Zoya akan berpikir begini.
"Jadi penasaran sesempurna apa sampai kamu tutup mata bahkan untuk pak Dikta yang ganteng paripurna itu, Zoy."
"Dia sangat-sangat sempurna, Alya."
Zoya membantin, hanya dengan sebuah pertnanyaan itu pikiran Zoya berlalu kemana-mana. Hatinya sakit sendiri, tapi bukan salah siapapun karena dia yang memilih pergi.
- To Be Continue -
perjuangkan kebahagiaan memang perlu jika Zoya janda ,tapi ini masih istri orang
begoni.....ok lah gas ken