Max membawa temannya yang bernama Ian untuk pertama kalinya ke rumah, dan hari itu aku menyadari bahwa aku jatuh cinta padanya.
Mungkinkah dia bisa menjadi milikku meski usia kami terpaut jauh?
note: novel ini dilutis dengan latar belakang luar negeri. Mohon maklumi gaya bahasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4
Halloween tiba, dan tahun ini ibu lagi kepikiran buat dekorasi rumah. Menurutku, kayaknya dia lagi deket sama seseorang deh, soalnya dia terlihat lebih bahagia akhir-akhir ini. Aku juga ngerasa dia mungkin takut cerita ke kami, takut gimana Max atau aku bakal nerima kabar itu. Kalau menurutku, Max yang mungkin bakal agak susah nerimanya, soalnya dia kadang suka iri sama kami. Tapi aku sendiri bakal seneng banget kalau itu bener, ibu punya hak buat bangun hidupnya lagi. Kita gak boleh ngelarang dia, aku yakin dia masih sayang sama ayah, tapi dia gak bisa terus-terusan hidup dalam kesedihan. Ayah juga gak akan mau lihat ibu gitu terus.
“Gimana menurutmu kostum yang kubeliin buat Max?” tanya ibu, sambil senyum lebar. “Itu kostum rubah,” tambahnya sambil ketawa.
Aku ikut ketawa. “Bu, Max udah gak kecil lagi, dia pasti gak bakal suka. Dia bahkan udah gak ngelakuin trik-or-treat lagi. Umurnya udah tujuh belas, Bu. Semoga aja kamu bisa bikin dia pake ikat kepala bertanduk.”
Ibu ngangguk sambil tertawa. “Cepet banget ya mereka tumbuh. Kayaknya aku butuh cucu, deh.”
Aku ngakak. “Bu, itu agak rumit. Yang bisa aku tawarin buat kamu adalah dandan dan pergi minum bareng. Kostum Wonder Woman-ku udah siap, nih.”
“Oh sayang, maaf ya, tapi ibu udah ada rencana malam ini. Kayaknya kamu harus jagain rumah bareng Max, kasih permen buat anak-anak yang datang.”
Gak mungkin ibu punya rencana Halloween, sementara aku gak punya apa-apa. Parahnya lagi, aku tau Max juga punya rencana.
“Max juga punya rencana. Jadi aku bakal sendirian di rumah pas malam Halloween, malam paling serem dalam setahun,” kataku sambil mendramatisir. “Keluarga yang baik banget, ya, aku punya.”
“Jangan dramatis, Megan Ariana,” tegur ibu sambil ngelihatin aku. “Aku punya rencana sama teman-teman. Kalau nggak, ibu pasti temenin kamu kok, sayang.”
Aku ketawa kecil. “Aku cuma bercanda, Bu. Aku bakal baik-baik aja kok. Aku sayang ibu, tau kan kamu bisa percaya sama aku?”
“Iya, sayang, ibu tau kok.” Dia nyium keningku. “Ibu mau siap-siap dulu ya,” katanya sambil naik ke kamarnya. Dia gak cerita lebih lanjut, tapi aku tau dia bakal cerita pas udah siap.
Aku juga naik ke kamar dan siap-siap. Kostum Wonder Woman itu pas banget di badanku. Aku pakai celana ketat transparan dan sepatu bot emas berhak rendah. Rambut hitamku kubiarkan terurai, terus aku pakai mahkota. Sempurna.
Pas aku turun, ibu lagi pesen taksi. Dia pakai kostum Morticia Addams, lengkap sama wig hitam dan makeup serasi. Dia keliatan cantik banget.
“Kamu cantik banget, Bu,” kataku.
“Kamu juga, sayang,” jawabnya sambil tersenyum.
“Kenapa gak bawa mobil aja?”
“Kita kan mau minum alkohol, aku harus pulang dengan aman. Ada dua anak yang nunggu aku di rumah.”
“Pinter banget tuh, Bu,” kataku sambil ngangguk setuju.
***
Setelah ibu pergi dan permen buat anak-anak habis, aku mutusin buat keluar juga. Gak mungkin kostum keren ini gak dipamerin. Aku diundang ke pesta salah satu temen sekelas di kampus, dan aku gak mau ngelewatin kesempatan ini. Max ada di rumah, dia baru pulang bareng temen-temen kutu bukunya. Kayaknya Ian juga ada di situ.
Aku ambil mantel dan pesen taksi. Kostum ini layak buat dipamerin.
***
Pestanya rame banget, aku gak bisa ngenalin siapa-siapa karena hampir semua orang pake topeng dan kostum. Tapi temen-temenku ngenalin aku dan ngajak gabung di grup mereka. Di sana, kami minum bir, terus lanjut campur rum. Kostumku berhasil banget narik perhatian. Beberapa cowok ngajak aku ke lantai dansa, tapi aku tolak.
Lalu, ada cowok tinggi pake kostum Batman yang datang dan langsung menggandeng tanganku, ngajak ke lantai dansa. Nah, aku suka nih, cowok tinggi. Jadi, aku ngikut aja. Aku juga gak terbuat dari batu, kan. Kami nari beberapa lagu bareng, dan pas musiknya mulai pelan, aku ngeliatin dia. Ada momen di mana aku rada takut karena bulu matanya yang panjang keliatan familiar, tapi matanya abu-abu, bukan hijau, jadi gak mungkin dia orang yang kukenal.
Aku ngerasa kayak ada di dalam gelembung. Cowok misterius ini bikin aku ngerasa aman. Kami kayak magnet yang saling narik, dan tiba-tiba aja, bibir kami ketemu. Jauh dari yang aku bayangin, ciumannya lembut dan pelan. Aku suka banget. Ciuman dari seseorang yang aku gak kenal dan bisa jadi siapa aja.
"Siapa namamu?" tanyaku sambil liat ke arahnya. Dia cuma senyum dan nunjuk ke lencana nama di dadanya, tulisannya "James."
"Emang kamu bisu, James?" tanyaku lagi.
"Semacam itulah," jawabnya pelan dengan suara serak. "Lagi pilek nih."
"Oh, pantes," kataku ngerti.
Kami terus nari sepanjang malam, gak banyak ngobrol karena suaranya serak banget. Kami berciuman lagi, tapi aku lebih suka kalau kami gak ngelepas topeng. Setelah malam ini, kami bakal jadi orang asing lagi. Aku gak ada waktu buat pacaran sekarang, dan entah kenapa, aku ngerasa aneh kalau punya hubungan sementara aku masih ada perasaan buat Ian. Aku tau ini terdengar bodoh, tapi aku gak mau bikin dia lebih terluka. Dalam beberapa bulan, Ian bakal masuk universitas, dan mungkin kami gak akan sering ketemu lagi. Habis itu, mungkin semuanya akan baik-baik aja, masing-masing dari kami bakal bahagia, sendirian.
Aku emang tertarik sama Batman ini. Kami nari dan berciuman sampai larut malam. Jam empat pagi, aku pesen taksi dan pulang. Malam itu benar-benar luar biasa.
***
"Ngomongin apa kalian berdua?" tanyaku ke ibu dan Max yang lagi duduk di dapur, ngebahas sesuatu di buku catatan sementara Max tunjuk-tunjuk sesuatu.
"Ulang tahunnya Ian minggu depan. Aku yang ditunjuk buat ngadain pesta kejutan buat dia, dan ibu bakal bantuin," jawab Max santai.
"Kamu gak pernah bikin pesta kejutan buat aku."
"Oh, jangan mulai drama kamu, Megan. Ini gak cuma dari kami kok, semua temen-temennya juga ikutan. Itu ide dari Laura."
Laura ini kayaknya udah nyusup ke segala urusan.
"Dia pacarnya atau apa?" tanyaku, terus langsung sadar kalau pertanyaanku rada ngawur.
"Dia suka Ian, dan dia, yah, menurutku Ian bodoh atau gak ngeh," jawab Max sambil nyengir.
"Ya, pasti Ian gak sadar. Kalian berdua sama aja!" tambah ibu sambil ketawa. "Aku bisa urusin bikin kue dan camilan enak, sayangku. Megan, kamu bisa bantu dekorasi, ya?"
"Siap, tentu aja," jawabku. "Tapi, mereka bakal bikin pesta kayak apa? Pesta lab?"
"Ha ha, lucu banget," jawab Max sarkas sambil geleng-geleng. "Gak kok, kami mau bikin pesta seru. Bahkan temen-temen atletiknya juga bakal dateng."
"Beneran? Mereka bakal ke sini?" tanyaku setengah gak percaya.
Max ngangguk. "Iya dong. Emang kamu kira cuma kita doang yang punya rumah?"
"Kamu gak ngomong kayak gitu pas ibu dan ayah pergi, dan kamu bikin pesta di rumah," jawab Max sambil lempar fakta yang bikin aku melongo.
Ibu langsung noleh ke aku dengan tatapan kaget. Aku balikin tatapan ke Max dengan wajah tak percaya.
"Kira-kira, rencana pesta ulang tahun kamu apa, Meg?"