NovelToon NovelToon
Pamit

Pamit

Status: tamat
Genre:Tamat / Poligami / Cerai
Popularitas:605.9k
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

34. Kehilangan Anak

"Justru alamat ini adalah alamat rumah ayah kamu yang baru. Dia baru saja menikah dengan perempuan lain yang lebih cantik dari ibumu, yang lebih baik dan nggak jahat kayak ibu kamu."

"Ibu nggak jahat, nenek yang jahat sama ibu. Nenek udah sakiti ibu," teriak Alif.

Teriakan Alif membuat beberapa orang yang berlalu lalang di sekitar jalan mengalihkan perhatian ke arah angkot.

"Ibu kamu yang sakiti saya. Dia sudah kurang ajar sama saya, kayak kamu ini! Berteriak saat bicara dengan orang yang lebih tua. Ini pasti hasil didikan ibu kamu. Saya akan antar kamu ke alamat ini. Minta makan sama ayahmu di sana."

Merasa malu karena diperhatikan banyak orang, ibu Anang memutuskan untuk naik ke angkot. Beliau sendiri yang akan membuang anak kecil itu.

Ya, ibu Anang tak suka ada siapapun yang berhubungan dengan Ayu berada di dekatnya. Kebencian yang membabi buta menjadikan ibu Anang gelap mata dan hati. Sudah dari dulu wanita itu tak menyukai Ayu, karena menurutnya asal usul Ayu yang tidak jelas.

Setelah kurang lebih setengah jam perjalanan, ibu Anang mengajak cucunya turun di sebuah gang kecil. Dengan kaki yang sedikit pincang karena belum sembuh benar dari sakitnya, ibu Anang menggandeng Alif untuk berjalan masuk gang tersebut. Alif hanya mengikuti langkah neneknya dengan perasaan takut dan cemas.

"Nenek, rumah ayah di mana? Apa masih jauh?" tanyanya memberanikan diri.

"Nggak, habis ini kita akan melewati perkebunan orang-orang sini. Nah, habis melewati kebun itu kita sampai di rumah ayah."

"Kenapa nenek nggak antar aku ke rumah ibu aja?"

"Saya benci ibu kamu. Dia sudah membuat hidup saya menderita. Gara-gara dia tetangga jadi musuhin saya dan akhirnya saya sakit. Kamu nggak usah banyak tanya. Dan satu lagi, jangan panggil saya nenek! Saya bukan nenek kamu!"

Alif diam seketika, malang sekali nasibnya, anak sekecil itu harus mendengar ucapan yang kasar dan seharusnya tidak ia dengar.

Setelah sekian lama berjalan, akhirnya mereka sampai di tengah-tengah perkebunan.

"Lif, dompet saya jatuh kayaknya. Kamu tunggu sini dulu biar saya cari."

"Ikut, nek. Aku takut di sini sendirian."

"Aduh, jangan! Paling jatuhnya juga deket kok. Duduk sini diam-diam! Jangan kemana-mana, nanti saya susah nyarinya."

"Makanya aku ikut aja, nek," pinta Alif sekali lagi.

"Jangan! Udah istirahat aja dulu di sini. Rumah ayahmu juga masih jauh, nanti kalau kamu kecapean saya yang di marahin ayahmu. Kamu mau saya di marahin?"

Alif menggeleng pelan. Akhirnya anak kecil itu menuruti perintah neneknya. Ia duduk di bawah pohon pisang yang berjejer dalam jumlah banyak di sana.

Sementara itu, ibu Anang berusaha berjalan dengan cepat meski harus menahan sakit di kakinya serta tubuhnya yang sudah mulai lelah.

"Rasain kamu, Ayu. Enak aja kamu nyuruh-nyuruh anak saya untuk jaga anak kamu. Dan sekarang rasakan pembalasan dari saya karena sudah lancang." Ibu Anang menggerutu seraya menampilkan senyum liciknya.

*

"Alif! Lif, kamu di mana? Ayah pulang, ini ayah bawa ayam goreng!" teriak Anang mengelilingi seluruh rumah.

Sudah sejak tadi Anang mencari anak itu namun tak kunjung bertemu. Ia sudah mencarinya hingga ke tetangga sekitar rumahnya namun tak ada batang hidungnya di sana. Teman-teman yang bermain dengannya juga sudah tak ada di tempat.

Akhirnya pria itu pergi ke rumah ibunya, barangkali anaknya itu sedang bermain di sana. Meskipun ia tahu hal itu tidak mungkin terjadi, tapi tak ada pilihan lain.

Di tengah perjalanan, Anang berpapasan dengan ibunya yang nampak lelah berjalan.

"Ibu dari mana? Cape banget kayaknya?"

"Jalan-jalan aja, biar lemes kakinya."

"Lihat Alif nggak, bu?"

"Nggak. Memang dia nggak ada di rumah? Anak hobi kelayapan, sama kayak ibunya sebelum pergi dari sini."

"Nggak usah ngelantur ngomongnya, bu. Jangan terlalu benci sama orang! Nanti takutnya semesta membalik keadaan terus ibu butuh dia, dan hanya dia yang bisa bantu ibu. Aku ngomong begini karena aku sayang sama ibu. Aku nggak mau ibu jadi orang yang pendosa, bu. Ayu sudah melahirkan anak-anakku, darah daging ibu juga."

"Ibu nggak peduli! Bagi ibu, Ayu tetaplah wanita yang tidak tahu diri, sejak kenal dia kamu jadi berani sama orang tua. Jadi suka melawan," sungut ibu Anang dan berlalu dari sana.

Anang hanya menghela nafas panjang, sangat susah membuka hati ibunya yang sudah sekeras batu itu. Ia pun melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan, barangkali ia temukan anaknya yang entah di mana.

"Mau kemana, Nang?" tanya salah seorang tetangga yang berpapasan dengannya.

"Cari Alif, ibu ada lihat dia?"

"Tadi ibu lihat sama ibumu naik angkot. Belum balik kayaknya, nggak tahu juga di ajak kemana."

"Apa?" tanya Anang terbelalak karena terkejut.

Pria itu seketika memutar badan dan berjalan cepat menujuu rumah ibunya. Ia sudah tak bisa berpikir apa-apa. Bahkan untuk menelan ludahnya saja terasa sukar.

"Ibu!" teriak Anang memasuki halaman rumah ibunya.

"Ada apa?" tanya ibu Anang dengan santainya.

"Ada apa? Ibu bawa ke mana Alif?" Anang bertanya dengan nada yang berusaha menahan amarah.

"Ketemu aja nggak."

"IBU BAWA KE MANA ALIF?" Anang bertanya dengan murka. Ia berteriak sekeras mungkin di wajah ibunya. Ini adalah pertama kalinya ia berani bicara bernada tinggi dengan sang ibu.

"Ibu bawa dia pergi. Ibu buang dia jauh dari sini!" Ibu Anang menjawab dengan bernai dan tegas. Ya, tak ada takut sedikitpun dari raut wajahnya.

Lidah Anang terasa kaku, tenggorokannya pun terasa tercekik, tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya pun mendadak lemas tak bertenaga.

"Astaga, ibu. Ibu sebenarnya punya perasaan nggak, sih? Cepat bilang, ibu bawa Alif ke mana? Alif masih kecil, dia tidak tahu apapun, bu. Kalau ibu benci sama ibunya ya Alif jangan di bawa-bawa. Katakan di mana Alif atau ibu mau masuk penjara? Ibu tahu Ayu wanita pemberani dan tegas. Ibu lihat apa yang dia lakukan saat aku menyakitinya. Kenapa ibu masih berani berulah, sih bu?" ujar Anang terduduk di lantai dengan frustasi.

Mendengar nama polisi ada perubahan di raut wajah ibu Anang. Ada guratan ketakutan yang tampak di wajah yang sudah tak lagi muda.

"Ibu bawa ke mana Alif?" tanya Anang yang sudah entah keberapa kalinya. "Cepat bilang sebelum Alif pergi jauh dari sana, bu!" pinta Alif melas.

"Ibu bawa dia ke sini." Wanita tua itu menyerahkan satu lembar kertas yang bertuliskan alamat di mana beliau meninggalkan Alif. "Di jalan itu ada gang kecil yang menuju perkebunan. Kebunnya sangat luas, ta...."

Belum usai ibu Anang menyelesaikan ucapannya, anaknya itu sudah memotongnya dengan cepat, "ibu memang keterlaluan! Jangan berharap apapun lagi dariku, setelah ini ibu tidak akan melihat anak sulung ibu. Jangan berharap aku akan datang ke sini lagi. Ibu sudah kehilangan satu anak ibu!" ucapnya seraya melempar kertas yang tadi ia terima ke sembarang arah dan berlalu pergi dari rumah ibunya.

Sang ibu tentu saja terkejut dengan ucapan anak sulungnya. Namun, dalam hati ia memenangkan dirinya sendiri dengan berpiki positif.

"Anang tidak serius, dia bilang begitu pasti karena masih di kuasai oleh amarah. Anang tak punya siapa-siapa selain aku, hanya aku yang ada di sisinya. Bahkan Winda sudah meninggalkannya entah ke mana. Ya, Anang hanya marah padaku, tidak meninggalkanku," gumam ibu Anang dengan raut panik yang tak dapat disembunyikan.

1
Jessica
Luar biasa
UfyArie
50 ribu seminggu ini tahun berpa
meris dawati Sihombing
Hahhh, umur 25 dah jd Dokter spesialis?? yg bener???H suka2 mu lah thorrr
niken babyzie
kuliah fadil gak kelar2 yah thorrr
niken babyzie
nenek2 laknat
niken babyzie
campur racun sekalian
meris dawati Sihombing
Haluuuu, 1 minggu cuma 50 rebu
niken babyzie
judul novelnya cocok di beri judul.. ternyata aku baru sadar telah menikahi suami pelit
niken babyzie
mokondo
Ratnasihite
kocak nih alif udah tau suka sama suka😄😄
Ratnasihite
Luar biasa
yuyunn 2706
bodoh ayu,kasusin itu mantan mertua biar kapok
yuyunn 2706
kok ndridil anaknya,kan bs KB
Mastina Maria siregar
novelmu sukses bikin aku mewek Thor...
ceritanya sperti di dunianya nyata.
Mastina Maria siregar
dr awal baca sampe bab ini suka,,mewek trust,seolah olah saya yg mengalaminya.alurnya bagusjg penggunaan bahasanya.pokoknya suka,
Mastina Maria siregar
sperti di dunia nyata,sedih Thor...
Sulati Cus
jgn2 si jaga cosplay nya si rifki
Sulati Cus
😂😂😂 g mungkin lah jd Winda yg mau sm suami orang lah Wong yg bujang aja msh banyak
Sulati Cus
kyknya jodoh nih eh apa si jaka lg nyamar ???
Sulati Cus
mase keknya pgn di tabok bolak-balik nih, cantik jg perlu modal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!