9
Pernikahan adalah cita-cita semua orang, termasuk Dokter Zonya. Namun apakah pernikahan masih akan menjadi cita-cita saat pernikahan itu sendiri terjadi karena sebuah permintaan. Ya, Dokter Zonya terpaksa menikah dengan laki-laki yang merupakan mantan Kakak Iparnya atas permintaan keluarganya, hanya agar keponakannya tidak kekurangan kasih sayang seorang Ibu. Alasan lain keluarganya memintanya untuk menggantikan posisi sang Kakak adalah karena tidak ingin cucu mereka diasuh oleh orang asing, selain keluarga.
Lalu bagaimana kehidupan Dokter Zonya selanjutnya. Ia yang sebelumnya belum pernah menikah dan memiliki anak, justru dituntut untuk mengurus seorang bayi yang merupakan keponakannya sendiri. Akankah Dokter Zonya sanggup mengasuh keponakannya tersebut dan hidup bersama mantan Kakak Iparnya yang kini malah berganti status menjadi suaminya? Ikuti kisahnya
Ig : Ratu_Jagad_02
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Setelah makan malam, Zonya kembali ke kamarnya. Ia melihat Naina sebentar untuk memastikan balita itu nyaman dalam tidurnya. Setelahnya, barulah Zonya menuju ranjang dan membaringkan tubuh lelahnya di sana.
"Ya Allah, kenapa jalan yang Engkau berikan begitu terjal, hamba takut tidak bisa melewatinya," batin Zonya.
Selama beberapa saat, Zonya hanya memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Hingga akhirnya secara perlahan matanya tertutup dan mulai mengarungi alam mimpinya.
*
Oek... oek... oek...
Tubuh Zonya berjingkat kaget saat mendengar tangisan Naina. Ia mengerjab pelan untuk mengembalikan kesadarannya. Begitu kesadarannya kembali sepenuhnya, ia lantas bangkit dari ranjang dan mendekati ranjang bayi milik Naina. Dengan menahan kantuk, ia mulai mengangkat tubuh kecil Naina kedalam gendongannya.
"Shut! Kenapa hm? Nai mau susu Sayang, tunggu ya, biar Aunty buatkan."
Zonya menimang Naina yang terus saja menangis. Sedang satu tangannya ia gunakan untuk menuang susu formula ke dalam botol, lalu mengisinya dengan air panas. Begitu merasa selesai, ia mencicip rasa susunya sebelum diberikan kepada Naina. Takut kalau air panas yang ia masukkan terlalu banyak hingga membuat lidah Naina melepuh. Begitu memastikan susu tersebut aman, Zonya langsung mengarahkannya ke mulut Naina yang beruntungnya langsung disedot bayi itu dengan rakus.
Zonya membawa Naina untuk duduk di ranjang. Namun seolah mengerti jika posisi Zonya sedang duduk, Naina kembali menangis kencang, membuat Zonya mau tak mau menimangnya sambil berdiri.
"Kenapa hm, kau ini sepertinya senang sekali mengerjai Aunty ya. Kau tahu, Aunty juga lelah, tapi kau malah tidak ingin Aunty ajak duduk," keluh Zonya.
Zonya terus menimang Naina hingga mata bayi itu mulai kembali menyipit, menandakan ia akan kembali tidur. Begitu memastikan Naina sudah benar-benar terlelap, Zonya langsung membawa Naina kembali ke ranjang. Namun begitu tubuh Naina akan menempel di kasur, seketika matanya kembali terbuka dan kembali menangis kencang.
"Sayang, cup cup cup"
Zonya kembali menimang Naina dengan deraan kantuk yang kian melanda. Ia lantas melirik jam yang menunjukkan pukul empat pagi. Apa mungkin semua anak kecil memang seperti ini. Suka menyiksa orang tua mereka dengan bangun sepagi ini.
*
"Nya, sarapan sudah siap," Mbok Ijah mengetuk pintu kamar Zonya.
Zonya membuka pintu kamar dengan membawa Naina dalam gendongannya. Jangan lupakan penampilan Zonya yang saat ini sangat terlihat memprihatinkan. Wanita itu hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong, dengan rambut yang ia cepol asal. Sebab, Naina yang menangis sejak pagi sekali tadi membuat Zonya tidak sempat memperbaiki penampilannya.
"Ada apa Mbok?" tanya Zonya.
"Makanan sudah siap, Nya. Nyonya sarapan dulu, biar Non Nai sama si Mbok." tawar Mbok Ijah.
Karena perutnya memang terasa lapar, akhirnya Zonya menyerahkan Naina kedalam gendongan Mbok Ijah. Setelah itu ia langsung melangkah menuju meja makan yang ternyata sudah ada Sean di sana.
"Pagi Mas."
Sean melirik Zonya singkat. Sebelum akhirnya ia kembali menggigit potongan rotinya. Setelah itu ia bangkit dari kursi hendak keluar. Namun barusaja akan melangkah keluar, ia harus menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan Zonya.
"Aku tahu kau terpaksa Mas, tapi setidaknya pikirkan aku, kau pikir aku menikah denganmu karena sukarela? Tidak! Aku juga sama terpaksanya denganmu."
"Lalu kau mau apa sekarang? Mau aku menganggapmu dan memperlakukanmu sebagai istri yang sebenarnya, begitu? Jangan mimpi!" Setelah mengatakan itu, Sean kembali melangkah.
"Setidaknya anggap aku sebagai Aunty dari putrimu!"
Sean membalik tubuhnya. Ia menyunggingkan senyum sinis disudut bibirnya, "Bahkan kelahiran anak itu sama sekali tidak aku harapkan," ucap Sean dingin. "Kalau bukan karena bertaruh nyawa untuk melahirkannya, maka istriku masih ada sampai sekarang."
Dada Zonya kempang kempis saat mendengar ucapan suaminya. Bagaimana mungkin ada seorang Ayah yang tega mengatakan itu pada putrinya sendiri. Apakah memang hati laki-laki ini telah membatu.
"Sebelum kau menyalahkan bayi yang tidak berdosa itu, kenapa kau tidak mencari tahu yang sebenarnya? Kebenaran bahwa keluargamu 'lah yang menyebabkan kematian Kak Sila."
"Stop! Jangan terlalu jauh mencampuri urusan keluargaku. Kau hanya orang asing bagiku dan akan sangat tidak pantas bagi orang asing untuk ikut campur dalam urusan keluarga orang lain."
Zonya mengangguk lemah dengan air mata yang sudah mengenang dipelupuk matanya "Ya, kita akan selamanya menjadi orang asing. Tapi ingat satu hal, suatu saat nanti kau akan memohon padaku untuk menjelaskan semuanya, Dan perlu kau ingat bahwa aku sangat menunggu saat itu tiba."
"Akan aku pastikan bahwa itu tidak akan pernah terjadi!" tegas Sean dan langsung pergi meninggalkan Zonya.
Zonya menghapus kasar air matanya yang turun begitu saja. Entahlah, kenapa air mata kelemahan ini harus muncul dan dilihat oleh laki-laki itu. Padahal Zonya telah mati -matian menahannya agar tidak keluar. Namun mendengar kehadiran keponakannya yang ternyata sama sekali tidak diharapkan, membuat Zonya benar-benar merasa sedih.
"Kita lihat Mas, kau akan bersujud padaku hanya demi sebuah fakta tentang kematian Kak Sila."
"Nya—"
Zonya membalik tubuhnya dan mendapati Mbok Ijah berjalan mendekat dengan Naina yang tengah menangis keras. Zonya segera mengambil alih Naina dari gendongan Mbok Ijah dan langsung menimangnya. Namun seperti kejadian sebelum-sebelumnya, Naina tetap menangis dengan histeris. Kali ini, Zonya ikut meneteskan air mata saat melihat keponakannya menangis. Ia tidak menyangka, kepedihan hidupnya ternyata belum ada apa-apanya dibanding penderitaan Naina yang lahir tanpa kasih sayang dari Ayahnya sendiri.
"Nai, Nai tenang ya Nak, jangan menangis terus atau Aunty juga akan ikut menangis nanti." ucap Zonya dengan suara bergetar menahan tangis.
Entahlah, mendapati kenyataan tentang keponakannya yang lahir tak diinginkan, membuat hati Zonya benar-benar merasa tercubit. Sebab, entah dengan alasan apa, ia merasa hidup Naina adalah gambaran dari kehidupannya sendiri. Ia hadir di dunia bukan tidak diinginkan. Namun kehadirannya seolah tidak pernah dianggap ada.
Orang bilang, anak ke-dua itu anak tengah dan cenderung tidak diperhatikan. Sebab, harapan tertinggi dilimpahkan pada anak pertama dan kasih sayang dilimpahkan kepada anak bungsu. Sedangkan anak tengah, entah percaya atau tidak tapi inilah yang Zonya rasakan. Ia merasa dilupakan dan tidak diperhatikan seperti halnya Kak Nasila dan Anggi.
"Percayalah Nak, kita yang hidup tanpa kasih sayang berlimpah, pasti akan tumbuh dengan kuat. Kau lihat Aunty, Aunty bahkan masih bisa kuat berdiri walau dengan kenyataan pahit bahwa Aunty harus merelakan masa muda Aunty demi menjagamu. Tapi sungguh, Aunty akan mencoba berdamai dengan kenyataan ini. Kita jalani ini bersama-sama Sayang."
Mbok Ijah memilih mengundurkan diri dari hadapan Zonya. Sebab, mendengar ucapan Zonya dan menatap matanya membuat Mbok Ijah ikut merasakan kesedihan. Ya, hatinya benar-benar bergetar setelah mendengar ucapan sang Nyonya baru.