Mengandung konflik 21+ harap bijaklah dalam memilih bacaan!
Ketika kesetiaan dibalas dengan pengkhianatan, saat itu pula wanita akan berubah menjadi mengerikan. Karena sejatinya perempuan bukanlah makhluk lemah.
Begitu pula dengan Jesslyn Light, kehilangan janin dalam kandungan akibat orang ketiga membangunkan sisi lain dalam dirinya. Hingga dia memilih untuk membalas perbuatan suaminya dan meninggalkannya, tanpa menoleh sedikit pun.
Dia lantas pindah ke negara lain, hingga bertemu dengan Nicholas Bannerick dan menemukan fakta pembantaian keluarganya demi kepentingan seseorang.
Bagaimanakah Jesslyn menjalani hidupnya yang penuh dengan misteri?
Mampukah dia membalaskan dendam?
WARNING!!! 21+++
INI BUKAN CERITA ROMANSA WANITA
TAPI KEHIDUPAN SEORANG WANITA YANG MENGUASAI DUNIA MAFIA.
MENGANDUNG BANYAK PSYCOPATH YANG MEMERLUKAN KESEHATAN MENTAL KUAT SEBELUM MEMBACANYA.
JADI JANGAN CARI BAWANG DI SINI!!!
KARENA BANYAK MENGANDUNG ADEGAN ACTION.
Bab awal akan Author revisi secara bertahap agar penulisannya lebih rapi. Namun, tidak mengubah makna dan alur di cerita.
Karya ini hanya fiktif belaka yang dibuat atas imajinasi Author, segala kesamaan latar, tempat, dan tokoh murni karena ketidaksengajaan. Harap dimaklumi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rissa audy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alice
Jessi mulai mengerjapkan matanya, terlihat sebuah selimut menutupi dirinya. Dia lantas bangun, melihat Jane tengah asyik dengan pekerjaannya.
Jessi menatap kagum Jane sambil berpangku tangan. "Untung kau bukan pria, Jane?"
"Kenapa?" Jane bertanya, tetapi tetap fokus pada laptopnya.
"Aku pasti sudah jatuh cinta padamu sejak dulu kalau kau pria!" Jessi menyibakkan selimut di tubuh, lalu melipatnya. Hingga sebuah pena melayang cepat ke arahnya. Dia yang memiliki kewaspadaan cukup tinggi langsung menangkap pena tersebut dengan mudah. "Dasar wanita kejam!"
"Mulutmu semakin beracun saja! Ada perlu apa kau kemari? Kantongku terasa gatal sejak kau datang!"
Jessi tertawa kecil. "Dia memang paling memahamiku, Kak! Belikan aku Pulau Ceria?"
"Kau ini sungguh keterlaluan! Kenapa tak meminta priamu? Kulihat cincin di jarimu baru!" Jane mencebikkan bibir mendengar permintaan Jessi yang tak ada habisnya.
"Ini!" Jessi memamerkan sebuah cincin berlian di jari manisnya. "Dia memang berondong sawit, Kak. Tapi, kau sudah berjanji sebelumnya padaku, akan membelikan pulau yang aku mau!"
"Kau pikir membeli pulau semudah membeli popcorn!" Jane akhirnya berdiri dari duduknya mendekati Jessi.
"Anggap saja hadiah pernikahan untukku!" Jessi masih berusaha untuk merayu kepada sang kakak.
"Kau akan menikah lagi?" Jane memicingkan mata, menatap tajam mendengar pengakuan Jessi.
"Bulan depan aku dan Nich akan menikah, aku ingin memiliki anak, Kak!" Jessi berucap dengan nada yang lirih, membuat Jane menyadari perasaan adiknya yang masih terluka karena kehilangan bayi dalam kandungannya dulu
"Apa kau yakin!" Jessi mengangguk. "Apa kau mencintainya?"
Jessi menggeleng. "Belum."
"Baiklah akan kubelikan pulau itu sebagai hadiah pernikahan! Anggap saja, kalau pernikahanmu kali ini gagal lagi, kau akan merampas harta lebih banyak dari kemarin!" Jane mengejek Jessi secara halus.
"Kau mendoakanku gagal! Bahkan sebelum aku memulai! Dasar wanita kejam!" Jessi mendengus lantas berdiri dari duduknya menatap ke arah luar kaca ruangan itu.
"Bukan mendoakan, aku hanya mengingatkan! Tak ada gunanya bergantung pada lelaki!"
Jane memang memiliki traumanya sendiri pada yang namanya pria, hingga dia lebih memilih sendiri, meskipun usianya sudah mencapai tiga puluh lima tahun. Namun, niat untuk berumah tangga sangat jauh dari pikirannya.
Jessi melihat ke arah luar, tampak seorang wanita sedang menyebarkan brosur. Terlihat raut wajahnya yang begitu pilu dan penuh kekhawatiran, dengan pakaian seadanya dan rambut kusut tak tertata. "Jane, apa kau tau berapa lama wanita itu di sana?"
Jane lantas berdiri dari kursi, mengedarkan mata, mencari apa yang dilihat oleh Jessi. "Yang mana?"
"Wanita yang menyebarkan brosur itu?"
"Entahlah! Aku juga baru melihatnya. Apa yang sedang dia lakukan dengan brosur itu? Kenapa dia terlihat khawatir?"
"Ayo turun!" Jessi dan Jane lantas keluar dari ruangan itu menuju ke bagian bawah restoran.
Jane memanggil salah satu karyawannya. "Kau panggilkan kemari wanita yang menyebarkan brosur di luar itu!"
Karyawan itu bergegas menghampiri wanita yang dimaksud, membawanya masuk ke dalam restoran seperti perintah Jane.
"Nona memanggil saya?" Wanita itu menundukkan kepalanya, dia tidak merasa melakukan kesalahan, hingga harus di panggil kemari.
"Duduklah!" perintah Jessi.
Wanita itu lantas duduk di antara Jessi dan Jane dengan menunduk. Penampilannya sekarang sangatlah buruk, bahkan tidak lebih baik dari pelayan di restoran mewah ini. Dia takut akan menambah masalah baru bagi dirinya sendiri.
"Siapa namamu?" tanya Jessi.
"A–alice, Nona."
Segera Jane menyuruh salah satu pelayan untuk mengambilkan minuman untuk mereka.
"Minumlah!" Jane menyodorkan gelas minuman kepada Alice.
"Terima kasih, Nona." Alice lantas meminum minuman yang diberikan oleh Jessi hingga tandas. Panas sebelumnya tersiram dengan air yang membasahi tenggorokan keringnya.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Jessi.
Alice memperlihatkan brosur yang dia bawa dengan begitu memprihatinkan. "Anak saya menghilang selama lima hari, Nona!"
"Apa kau sudah melaporkannya pada pihak yang berwajib?" Jessi mengelus punggung Alice yang sudah mulai terisak dalam tangisannya.
"Saya sudah melaporkannya, tetapi tidak ada tanggapan dari pihak kepolisian." Buliran bening kembali mengalir dan tak dapat lagi dia bendung, menyapu bekas debu yang menempel di wajah cantiknya di kala ia mengingat kembali putri semata wayangnya.
"Bagaimana kronologinya?"
Alice menggeleng. "Saya bekerja sebagai penyapu jalanan seperti biasa, dan anak saya bersekolah juga seperti biasanya. Tapi, ketika saya pulang malam harinya, anak saya tidak ada di rumah. Biasanya dia sudah menunggu, lalu saya mencarinya ke sekolah. Satpam bilang dia sudah kembali sejak sore. Tapi, sampai sekarang saya belum menemukan anak saya!" Rasa sesak kembali menyeruak di dalam dada.
Cukup lama dia tinggal berdua bersama putrinya demi menanti sebuah janji. Namun, kini dia gagal menjaga sang buah hati. Alice terisak dalam tangis menyalahkan diri sendiri yang tak mampu menjaga anaknya dengan baik.
Jessi dan Jane merasa iba dengan wanita di depannya. "Berapa usia anakmu?"
"Dua belas tahun, Nona."
Wanita tersebut mengelus foto anak perempuan di dalam brosur itu. Hati seorang ibu pastilah hancur, jika kehilangan buah hatinya. Anak yang sudah menjadi separuh nyawa ketika melahirkannya ke dunia. Namun, kini entah berada di mana. Terasa puluhan pedang menghunus jantungnya tanpa ampun, tidak ada seorang ibu pun yang tidak cemas di saat sang anak berada dalam jangkauan.
"Di mana suamimu?" Alice hanya menggeleng. Dia memang tidak tahu di mana kini suaminya berada. Karena itulah, wanita tersebut hanya bisa berjuang sendirian saat ini.
"Apa dia juga menghilang?"
"Dia sudah pergi sejak dua tahun lalu. Saya tidak tahu bagaimana kabarnya dan di mana dia sekarang?" Alice mengingat tentang suaminya yang lebih dulu meninggalkannya, menitipkan janji untuk kembali bersama, tetapi kini anaknya juga menghilang.
"Laki-laki memang brengsek! Kenapa dia meninggalkanmu?" Jane mengepalkan tangannya di atas meja, dia marah kalau mendengar perempuan yang ditelantarkan, begitu juga dengan Jessi. Namun, mereka tidak mengetahui, apa yang menyebabkan kedua pasangan suami istri itu terpaksa harus berpisah.
"Saya tidak tahu, Nona. Dia pergi hanya berpesan untuk menunggunya kembali! Padahal hidup kami sebelumnya baik-baik saja!" Alice menangis meratapi nasibnya yang malang.
Dia meninggalkan keluarganya dan hidup sederhana bersama suaminya. Namun, kini pria tersebut juga meninggalkannya dengan putrinya. Membuatnya mengharapkan kembali keluarga mereka yang utuh sebelumnya.
"Tenanglah! Aku akan membantumu!" Jessi menenangkan Alice. "Aku Jessi dan ini kakakku Jane!"
Alice mengangguk, menyapa dua wanita cantik di depannya. "Terima kasih, Nona!"
"Makanlah dulu! Nanti kita akan membahasnya lagi." Pelayan meletakkan beberapa makanan di meja mereka.
"Tapi, Nona. Saya merasa tidak pantas." Alice melihat para pengunjung di sini yang sedari tadi seperti jijik menatapnya.
Paham atas apa yang dirasakan Alice Jessi lantas berteriak dengan lantang. "Jika kalian keberatan dengan keberadaannya, maka keluarlah sekarang! Makanan kalian sudah dibayar olehnya!"
Suara tegas Jessi membuat semua orang di sana melanjutkan makanan mereka. "Tapi, Nona. Saya tidak punya uang untuk itu!"
"Kau ini polos sekali!" Jessi mengelus hidung Alice dengan telunjuknya. "Restoran ini miliknya, jadi tak perlu memikirkan soal uang. Aku hanya tak suka melihat orang lain menilai berdasarkan kastanya saja. Jadi, mari kita tutup mulut mereka dengan uang Jane!"
"Kau memang pandai menguras uangku." Jane mendengus kesal mendengar penuturan Jessi. Namun, dia juga bahagia karena adiknya memiliki tingkat kepedulian yang tinggi.
"Sudahlah! Ayo makan dulu!"
Mereka memakan makan siang bersama dalam satu meja. Alice merasa bersyukur bertemu dengan orang baik.
Dia sebenarnya adalah anak orang berada. Namun, keluarganya memiliki prinsip yang berbeda dengannya. Seandainya, saja keluarganya bisa seperti Jane dan Jessi, mungkin dia tak perlu merasakan semua ini sendirian.
"Siapa nama suamimu?" tanya Jane.
"Jackson."
TBC...