Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Rahasia di Balik Jendela
Suara kerikil menghantam jendela kamar di lantai dua, membuat Kayana menghentikan gerakan tangannya yang sedang memegang kompres dingin di pergelangan kaki lebamnya. Dengan tatapan penasaran, ia merangkak pelan ke arah jendela, menyingkap tirai dengan hati-hati.
Dari balik kaca, ia melihat Alastar berdiri di halaman dengan senyum tengil, melambai seperti biasa. Sosoknya tetap tampak percaya diri meski malam sudah menjelang. Kayana langsung mengedarkan pandangan ke sekitar, memastikan tidak ada orang lain yang melihat.
"Pergi! Papa gue bisa lihat!" bisik Kayana seraya melambai panik, menyuruh cowok itu segera pergi.
Namun Alastar hanya menggeleng keras, wajahnya serius. Dengan cepat, ia menggunakan bahasa isyarat yang selalu mereka gunakan sejak kecil.
"Gue cuma mau liat lo. Gue khawatir."
Kayana menggeleng kuat, menunjukkan ekspresi yang mencampur kesal dan cemas. Tapi Alastar tak menyerah. Ia berjalan ke arah motornya, mengambil sebuah tote bag hitam dari jok, lalu mengangkatnya ke atas.
“Gue bawain makanan. Lo pasti belum makan, kan?” serunya pelan, tapi cukup jelas untuk didengar Kayana.
Kayana menarik napas panjang, menatapnya dengan mata berkilat. “Lo bener-bener cari mati,” ucapnya dengan bibir yang bergerak tanpa suara, penuh ancaman. Tapi di balik nada tegasnya, ada kelembutan kecil yang hanya Alastar bisa tangkap.
Alastar hanya menyeringai, memiringkan kepalanya, seolah berkata, “Ya, gue tahu.”
Namun sebelum Kayana bisa membalas lebih jauh, ketukan keras di pintu kamar membuatnya terlonjak.
“Kayana! Buka pintunya sekarang!” suara berat ayahnya terdengar menggema.
Panik, Kayana melambaikan tangan kepada Alastar, menyuruhnya bersembunyi. Alastar segera berlindung di balik semak tinggi dekat pagar, menahan napas sambil memperhatikan gadis itu dari jauh.
Kayana membuka pintu setelah memastikan ekspresinya tetap datar. Namun begitu pintu terbuka, ayahnya masuk dengan langkah tegas. Di tangannya ada beberapa lembar uang berwarna merah yang langsung ia lemparkan ke kasur.
“Beli kado untuk dirimu sendiri. Papa sibuk,” ujarnya dingin, nyaris tanpa ekspresi.
Kayana menatap tumpukan uang itu dengan pandangan kosong. “Tiap hari juga papa sibuk. Sekalipun ada waktu luang, papa pakai buat nyiksa aku,” ujarnya pelan tapi penuh sindiran.
Mata ayahnya menyipit, rahangnya mengeras. “Masih untung kamu Papa kasih uang, Kayana. Lihat mamamu. Apa dia pernah kasih kamu selembar uang untuk ulang tahunmu? Jangan kan uang, waktu pun dia nggak sudi kasih buat kamu!”
Kayana mengepalkan tangan, tatapannya membara. “Setidaknya Mama nggak pernah bikin aku takut tiap hari,” balasnya getir.
Ayahnya melangkah maju, mengangkat telunjuknya ke wajah Kayana. “Jaga mulutmu! Selama kamu masih tinggal di rumah ini, kamu nggak punya hak bicara seperti itu!”
Kayana menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Tapi ia tidak menangis. Ia hanya berdiri kaku, menatap ayahnya dengan penuh perlawanan.
“Sama aja, Papa dan Mama nggak pernah peduli. Uang nggak bikin semua ini lebih baik.”
Ayahnya mendengus kesal, kemudian keluar dari kamar, membanting pintu dengan kasar.
Begitu suara langkah berat itu hilang, Kayana berlari ke jendela dan membuka tirai. Di bawah, Alastar sudah berdiri lagi, menatapnya dengan cemas.
“Lo denger, ya?” Kayana bertanya, suaranya serak.
“Denger,” Alastar mengangguk, matanya penuh simpati.
“Terus kenapa lo masih di sini?”
“Karena gue nggak mau lo sendirian.” Alastar mengangkat tote bag yang ia bawa, menunjukkannya lagi. “Gue serius. Lo harus makan, Kay.”
Kayana menarik napas dalam-dalam, matanya melembut. “Turun aja dulu, nanti ketahuan.”
“Gue nggak peduli,” Alastar menjawab, tetap berdiri di tempatnya. “Tapi gue nggak akan pergi sampai lo makan.”
Kayana akhirnya menyerah. Ia tersenyum kecil, pertama kali malam itu. “Tunggu sebentar.”
****
Kayana menutup tirai jendelanya rapat-rapat, memastikan tidak ada celah yang bisa membuat keberadaan Alastar ketahuan. Ia melirik ke pintu kamarnya, memastikan kunci sudah kembali diputar, lalu berjalan perlahan ke lantai bawah.
Kaki lebamnya masih terasa nyeri, tapi ia mengabaikannya. Tangannya gemetar saat memegang pegangan tangga, mencoba tidak membuat suara sekecil apa pun. Rumah sudah sunyi, hanya suara jam dinding yang terdengar di ruang tengah.
Setelah memastikan situasi aman, ia membuka pintu belakang dengan hati-hati. Angin malam langsung menyapa kulitnya, membawa hawa dingin yang sejenak membuatnya merinding.
Alastar sudah berdiri di sana, menunggu dengan tote bag di tangan. Senyum tengilnya masih bertahan, tapi tatapannya lebih lembut. Begitu melihat Kayana, ia langsung menghampiri.
“Lo lama banget. Gue kira nggak bakal dikasih izin,” ujar Alastar dengan nada bercanda, meski ia tahu ini bukan situasi yang bisa dibuat main-main.
Kayana mendengus pelan, lalu merebut tote bag dari tangannya. “Gue nggak perlu izin, yang gue butuhin cuma keberanian buat ngelawan semua ini.”
Alastar tertawa kecil. “Berani banget ngomong gitu. Gue suka, Kay.”
Kayana memutar bola matanya, tapi tidak menahan senyum tipis yang muncul di wajahnya. “Jangan kebanyakan ngomong. Lo bisa ketahuan kalau bikin ribut.”
Mereka berdua duduk di bangku kayu kecil yang ada di belakang rumah. Kayana membuka tote bag itu dan menemukan beberapa kotak makanan sederhana. Ada nasi goreng, roti, dan dua botol air mineral.
“Gue nggak tahu lo lagi pengen makan apa, jadi gue beli ini aja,” kata Alastar sambil menggaruk kepala.
Kayana mengangkat salah satu kotak makanan. “Ini udah cukup. Makasih.”
Keheningan sempat meliputi mereka. Kayana mulai makan perlahan, sementara Alastar hanya duduk di sampingnya, memandangi langit malam.
“Gue denger semuanya tadi,” ujar Alastar tiba-tiba, memecah keheningan.
Kayana berhenti mengunyah, menoleh ke arahnya. Wajah Alastar serius, berbeda dari biasanya.
“Gue tahu lo nggak suka cerita soal masalah lo, tapi gue ada di sini kalau lo butuh. Lo nggak perlu tahan semuanya sendiri.”
Kayana menghela napas panjang, menaruh garpu di atas kotak makanan. “Gue nggak tahan, Star. Kadang gue ngerasa kayak orang asing di rumah gue sendiri. Papa selalu sibuk, Mama bahkan nggak ada, dan gue cuma—” ia berhenti, menahan tenggorokannya yang tercekat.
Alastar menoleh, menatapnya penuh empati. “Lo nggak sendirian, Kay. Gue ada buat lo. Selalu.”
Tatapan mereka bertemu sejenak. Kayana ingin membalas dengan sesuatu, tapi kata-kata itu terasa menguap sebelum sampai ke bibirnya. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan, menunjukkan bahwa ia mengerti maksud Alastar.
“Lo juga hati-hati, Star. Papa gue nggak segan bikin masalah kalau sampai tahu lo sering ke sini,” ucap Kayana, mencoba mengalihkan perhatian.
Alastar menyeringai lagi. “Gue nggak takut. Gue lebih takut kalau lo nggak makan atau kalau lo sendirian terus di kamar, mikirin semua omong kosong yang bikin lo sedih.”
Kayana tidak bisa menahan senyumnya kali ini. “Gue bener-bener nggak ngerti sama lo, Star.”
“Lo nggak perlu ngerti. Lo cuma perlu tahu kalau gue bakal selalu ada di sini buat lo.”
Obrolan mereka terhenti ketika lampu dari lantai atas rumah tiba-tiba menyala. Kayana langsung berdiri, wajahnya berubah cemas.
“Lo harus pergi sekarang,” bisiknya buru-buru.
“Tapi lo belum selesai makan.”
“Gue bisa lanjutin di kamar. Sekarang pergi sebelum Papa gue keluar!”
Alastar akhirnya menurut, tapi tidak sebelum menyentuh kepala Kayana pelan. “Jaga diri, Kay. Kalau lo butuh sesuatu, kabarin gue.”
Kayana mengangguk, lalu menyaksikan Alastar melompat pagar belakang dengan cekatan. Begitu ia yakin cowok itu sudah benar-benar pergi, Kayana kembali masuk ke rumah, membawa tote bag dengan hati-hati.
Di kamarnya, ia duduk di kasur, menatap makanan yang tersisa. Tidak ada suara lain selain detak jantungnya yang masih terasa cepat. Namun, di balik semua kekacauan yang terjadi malam itu, ada rasa hangat kecil yang muncul di hatinya sebuah keyakinan bahwa ada seseorang yang peduli padanya, apa pun yang terjadi.
Dan itu cukup untuk membuatnya bertahan satu hari lagi.