Nada Azzahra, siswa baru di SMA Nusantara Mandiri, adalah gadis ceria yang mudah bergaul. Kepribadiannya yang ramah dan penuh semangat membuatnya cepat mendapatkan teman. Namun, kedatangannya di sekolah ini mempertemukannya dengan Bara Aryasatya, cowok tengil yang ternyata adalah "musuh bebuyutan"-nya semasa SMP.
Di masa SMP, Nada dan Bara bagaikan Tom & Jerry. Pertengkaran kecil hingga saling usil adalah bagian dari keseharian mereka. Kini, bertemu kembali di SMA, Bara tetap bersikap menyebalkan, hanya kepada Nada. Namun, yang tak pernah Nada sadari, di balik sikap tengilnya, Bara diam-diam menyimpan rasa cinta sejak lama.
Setiap hari ada saja momen lucu, penuh konflik, dan menguras emosi. Bara yang kikuk dalam mengungkapkan perasaannya terus membuat Nada salah sangka, mengira Bara membencinya.
Namun, seiring waktu, Nada mulai melihat sisi lain dari Bara. Apakah hubungan mereka akan tetap seperti Tom & Jerry, ataukah perasaan yang lama terpendam akan menyatukan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkejut
Bel istirahat baru saja berbunyi. Nada, bersama Gisel, Jessika, dan Rio, memutuskan menuju kantin seperti biasa. Mereka tertawa dan berbincang ringan sambil berjalan menuruni tangga menuju lantai dasar. Namun, di tengah perjalanan, Nada yang tidak memperhatikan langkahnya terpeleset.
“Ah!” Nada berteriak pelan, tubuhnya kehilangan keseimbangan.
Sebelum ia benar-benar jatuh, sebuah tangan dengan cepat menangkapnya. Bara, yang kebetulan berada tidak jauh dari sana, berhasil menahan tubuh Nada tepat waktu. Nada terkejut, mendapati dirinya kini berada dalam pelukan Bara.
Mata mereka bertemu sejenak. Napas Nada memburu, dan ia bisa merasakan jantungnya berpacu dengan kencang. Bara menatapnya dengan tatapan khawatir.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Bara lembut, masih memegang bahu Nada untuk memastikan dia tidak terjatuh lagi.
“Uh... aku nggak apa-apa,” jawab Nada dengan suara pelan, wajahnya mulai memerah.
Gisel dan Jessika segera mendekat. “Nada! Lo nggak apa-apa, kan?” tanya Jessika cemas.
Aldo yang tadi sedang berbincang dengan Rio di depan, Ekspresinya berubah kecewa. Dalam hatinya, ia merasa bersalah. “Kenapa gue nggak ada di sana buat dia?” gumamnya pelan. Ia dan Rio segera berlari mendekati mereka.
Bara membantu Nada berdiri dengan hati-hati. Tapi begitu Nada mencoba melangkah, ia mengaduh kesakitan. “Aduh… kakiku sakit,” ucapnya sambil memegangi pergelangan kaki.
Bara langsung berjongkok untuk memeriksa kakinya. “Kayaknya terkilir. Lo nggak bisa jalan gini,” katanya tegas.
Tanpa banyak bicara, Bara mengangkat Nada dalam gaya bridal style. Nada terkejut, tetapi tak mampu berkata apa-apa. Dadanya kembali berdebar hebat. Semua teman-temannya yang menyaksikan kejadian itu tampak kaget.
“Bara, gue bisa jalan sendiri!” protes Nada dengan suara lirih, meskipun dia tahu itu mustahil karena rasa sakit di kakinya.
“Lo bilang bisa, tapi malah kesakitan. Diam aja, gue bawa lo ke UKS,” jawab Bara tanpa melihat ke arahnya.
Rio dan Aldo telah sampai di bawah tangga, Rio juga terlihat panik. “Nada, hati-hati dong! Lo nggak kenapa-kenapa?”
“Lo beneran nggak apa-apa, Nad?” tanya Aldo dengan nada penuh perhatian. Meskipun kecewa, ia tetap khawatir.
Nada menoleh ke Aldo sambil tersenyum kecil. “Aku nggak apa-apa, kok. Cuma terkilir sedikit,” ucapnya mencoba menenangkan.
“Gue urus Nada dulu ke UKS,” ujar Bara sambil melirik Aldo sekilas. “Kalian ke kantin aja. Belikan kita makanan ringan nanti bawa ke UKS kalau kalian udah selesai.”
Aldo hanya mengangguk kecil, meski hatinya terasa berat.
Gisel dan Jessika saling berpandangan. “Y-ya udah, kita belanja makanan dulu deh,” ucap Gisel ragu. Mereka akhirnya menuruti ucapan Bara, meski terlihat jelas keinginan mereka untuk ikut ke UKS.
Rio menepuk bahu Aldo. “Bro, dia baik-baik aja kok. Nggak usah dipikirin terlalu berat,” katanya mencoba menghibur. Aldo hanya tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.
Bara menurunkan Nada perlahan ke kasur di ruang UKS. Ia mengambil bantal untuk menopang kaki Nada yang terkilir. Nada hanya bisa duduk diam, menatap Bara yang begitu telaten merawatnya. Perasaannya bercampur aduk, malu, terharu, sekaligus bingung dengan detak jantungnya yang tak mau tenang.
“Lain kali hati-hati, ya,” ujar Bara sambil menyelimuti kaki Nada dengan kain kompres dingin. “Lo bikin semua orang panik tadi.”
Nada tersenyum kecil. “Aku nggak sengaja, kok. Maaf bikin repot,” ucapnya pelan.
Bara menatapnya serius. “Lo nggak pernah bikin gue repot, Nad. Jangan ngomong kayak gitu lagi.”
Nada terdiam, merasa dadanya kembali berdegup kencang. Ia tak tahu harus membalas apa.
“Sekarang istirahat aja. Gue bakal tunggu di sini sampai mereka balik bawa makanan,” lanjut Bara. Nada hanya mengangguk pelan, berusaha mengalihkan pandangan dari tatapan Bara yang terasa begitu dalam.
Tak lama, pintu UKS terbuka. Gisel, Jessika, Rio, dan Aldo masuk dengan membawa kantong berisi makanan ringan dan minuman. Wajah mereka terlihat lega begitu melihat Nada duduk di kasur, tampak lebih baik.
“Nada! Gimana keadaan lo sekarang? Udah nggak sakit lagi, kan?” tanya Gisel penuh perhatian.
“Udah mendingan, kok,” jawab Nada dengan senyum tipis.
Jessika duduk di sisi Nada sambil menyerahkan jus buah. “Lo beneran bikin kita semua panik tadi. Gue kira bakal lebih parah. Untung aja Bara sigap.” Ia melirik ke arah Bara yang duduk di kursi dekat kasur, tampak santai sambil memainkan ponselnya.
“Eh, gue emang selalu sigap kalau soal Nada,” celetuk Bara sambil tersenyum penuh arti.
Nada mendengus pelan sambil memutar matanya, meskipun pipinya sedikit memerah. “Lebay banget,” gumamnya pelan.
Rio menyerahkan sekotak camilan ke Bara. “Ini buat lo. Lo juga butuh tenaga abis ngurusin Nada tadi,” katanya sambil tertawa kecil.
“Thanks, bro,” jawab Bara sambil menerima makanan itu.
Aldo berdiri di dekat pintu, wajahnya masih menyimpan kekhawatiran. “Lo yakin nggak apa-apa, Nad? Kalau masih sakit, jangan dipaksa jalan dulu,” ucapnya lembut.
Nada menoleh ke Aldo dan tersenyum menenangkan. “Aku beneran udah nggak apa-apa, kok. Kaki aku cuma terkilir sedikit tadi, sekarang udah mendingan.”
Setelah beberapa menit berbincang dan menghabiskan makanan mereka, Gisel dan Jessika membantu Nada berdiri. “Ayo, kita keluar. Bel masuk sebentar lagi bunyi,” kata Jessika sambil meraih lengan Nada.
Nada mencoba berjalan perlahan. Meskipun masih ada sedikit rasa nyeri, ia sudah bisa menapak dengan lebih stabil. Bara bangkit dari kursinya, siap membantu jika diperlukan, tetapi Gisel dan Jessika sudah memegangi Nada dari kedua sisi.
“Aku udah bisa jalan kok, nggak usah khawatir,” kata Nada, mencoba meyakinkan mereka semua.
Saat mereka berjalan keluar dari UKS, Bara berjalan di belakang Nada. Aldo berada di samping Rio, terlihat sedikit lebih pendiam dari biasanya.
Ketika mereka mencapai tangga menuju kelas, Bara mendekati Nada. “Kalau ada apa-apa, bilang ke gue ya. Jangan sok kuat,” katanya sambil menepuk pelan bahu Nada.
Nada hanya mengangguk pelan, tak ingin membalas terlalu banyak. Perasaannya masih bercampur aduk, terutama setelah semua perhatian yang diberikan Bara.
Gisel, Jessika, dan Rio mengalihkan pembicaraan ke topik lain, mencoba menghidupkan suasana seperti biasa. Namun, Nada merasa pikirannya terus terpusat pada seseorang, Bara. Ia bahkan tak sadar bahwa detak jantungnya kembali tak beraturan setiap kali Bara mendekatinya.
Ketika Ayden melihat Nada berjalan dengan langkah pelan, ditemani oleh Gisel dan Jessika yang memapahnya, serta Bara yang terus mengikuti di belakang, ia langsung merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Ekspresi wajah Nada terlihat berbeda, seperti menahan sesuatu.
“Eh, Nada gue kenapa?” Ayden mendekati mereka dengan langkah cepat, matanya langsung tertuju pada Bara. “Lo apain sepupu gue?”
Bara memutar mata sambil menyilangkan tangan di dada. “Santai, bro. Gue nggak ngapa-ngapain. Justru gue yang nolongin Nada.”
“Beneran, Ay. Gue tadi cuma kepleset di tangga,” Nada menjelaskan sambil tersenyum tipis. “Nggak apa-apa kok, cuma terkilir sedikit. Udah dikompres juga di UKS sama Bara.”
Ayden memandang Bara dengan tatapan skeptis, kemudian menoleh ke Nada. “Lo serius nggak apa-apa? Kalau perlu, kita panggil dokter aja.”
“Nggak usah lebay, Ay. Gue udah baik-baik aja,” Nada menjawab, menenangkan sepupunya.
Bel sekolah akhirnya berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Suasana yang semula penuh obrolan dan tawa perlahan memudar, digantikan dengan langkah-langkah terburu-buru siswa yang kembali ke kelas masing-masing.
Ketika bel pulang berbunyi, Bara langsung berdiri dari kursinya, bersiap untuk mengantar Nada pulang seperti yang dilakukannya pagi tadi. Namun, Ayden, yang merasa bertanggung jawab sebagai sepupu, punya ide lain.
“Eh, Nad. Pulang bareng gue aja, yuk. Gue bawa mobil,” Ayden menawarkan sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.
“Enggak, Ayden. Gue yang nganterin dia,” Bara langsung menyela dengan suara tegas.
“Lo siapa? Gue kan sepupunya!” Ayden menatap Bara dengan tatapan menantang.
“Iya, tapi tadi pagi gue yang nganterin dia. Udah tanggung jawab gue buat nganterin balik juga.” Bara menyilangkan tangan di dada, tidak mau kalah.
“Lah, rumah gue duluan, Bara. Rumah dia kan setelah rumah gue. Logikanya, gue lebih cocok nganterin dia!” Ayden membalas, menekankan argumennya.
Bara menggeleng dengan senyum tipis penuh kemenangan. “Tapi rumah gue juga ngelewatin rumah Nada. Jadi, tetap gue yang lebih baik nganterin.”
Percakapan mereka semakin memanas, menarik perhatian beberapa siswa yang masih berada di kelas. Rio dan Dimas yang sedang membereskan tas hanya tertawa kecil menyaksikan keduanya beradu argumen seperti anak kecil.
“Nih, gladiator dua orang lagi,” Dimas bercanda.
“Bisa-bisanya berantem cuma buat nganterin Nada,” Rio menimpali sambil geleng-geleng kepala.
Di sisi lain, Nada sudah keluar dari kelas bersama Jessica dan Gisel. Ketika melihat Ayden dan Bara masih berdebat sengit, Nada hanya menghela napas panjang.
“Eh, Jess, gue nebeng lo aja, ya,” Nada berkata santai sambil tersenyum.
“Hah? Serius, Nad?” Jessica terkejut, tapi senang karena Nada memilihnya.
“Iya, daripada nunggu mereka berdua selesai adu mulut,” Nada menjawab sambil melirik sekilas ke arah Ayden dan Bara yang masih berdebat.
Jessica mengangguk antusias. “Oke, yuk, kita langsung jalan.”
Nada, Jessica, dan Gisel pun berjalan keluar menuju parkiran, meninggalkan Ayden dan Bara yang masih sibuk membela argumen masing-masing.
Ketika akhirnya Bara menyadari Nada sudah tidak ada, ia langsung berhenti bicara dan melirik sekeliling. “Eh, Nada mana?”
Dimas menahan tawa sambil menunjuk ke luar. “Tuh, dia udah pergi bareng Jessica.”
“Apa?” Bara menggerutu pelan sambil mengacak rambutnya.
Ayden menghela napas panjang, tampak kecewa karena kesempatan untuk mengantar sepupunya hilang begitu saja. “Ya ampun, gara-gara lo, Bara. Kalau tadi gue aja yang nganter, nggak bakal begini.”
“Gue? Ini salah lo juga, tahu!” Bara membalas, tapi kali ini lebih pelan karena tidak ada gunanya lagi berdebat.
Rio dan Dimas tertawa keras melihat reaksi mereka berdua. “Udah, bro. Yang penting Nada aman sama Jessica,” Rio mencoba menghibur.
Bara hanya menggeleng frustrasi, sementara Ayden mendesah. Keduanya akhirnya keluar dari kelas, masing-masing membawa rasa kesal.
Sementara Jessica dan Gisel sedang dalam perjalanan pulang, suasaana di mobil terasa nyaman. Jessica mengendarai mobilnya dengan hati-hati, sementara Nada duduk di sampingnya.
"Eh, Nad," Jessica mulai membuka percakapan, "kalau Lo harus milih antara Bara dan Aldo, siapa yang Lo pilih?"
Nada yang sedang melamun mendengarnya langsung kaget. "Lo tau?" tanya Nada dengan nada terkejut.
"Ya iyalah, kita semua tau, Nad. Kalau mereka berdua itu ada perasaan sama Lo. Lo aja yang kurang peka, kok," jawab Jessica dengan nada santai, seolah itu hal yang sudah jelas.
Nada hanya terdiam sejenak. "Entahlah, gueeee," Nada tidak bisa melanjutkan kata-katanya, merasa bingung dan tak tahu harus bagaimana.
Jessica tersenyum kecil. "kok Lo malah bingung-bingung sendiri."
Nada menghela napas panjang. "Gue nggak tahu gimana harus milih," Nada berkata pelan, seakan kebingungannya semakin mengganggu pikirannya. "Gue nggak mau ada yang merasa tersakiti, Jessica."
Jessica menatap jalan depan dengan serius, mencoba memahami situasi teman baiknya itu. "Coba Lo pikirin aja, Nad. Siapa yang Lo rasa bisa bikin Lo nyaman, siapa yang Lo bisa percaya lebih. Kadang, perasaan itu nggak bisa dipaksain, Lo tahu kan?"
"Tapi gimana kalau salah pilih?" Nada akhirnya berkata, suaranya penuh ketakutan.
Jessica tersenyum dan menepuk tangan Nada dengan lembut. "Kalau Lo salah pilih, ya Lo perbaiki. Tapi kalau Lo diam aja, Lo nggak akan pernah tahu."
Nada merenung dalam, merasa sedikit lega meskipun perasaannya masih belum jelas. "Makasih, Jess. Lo selalu bisa bikin gue mikir lebih jernih."
"Sama-sama, Nad. Gue cuma pengen Lo bahagia, nggak peduli sama siapa. Lo berhak dapetin yang terbaik." Jessica mengedipkan mata dan tersenyum, seakan memberikan semangat untuk Nada.
Perjalanan menuju rumah Nada pun terus berlanjut. Jessica mengantarkan Nada sampai kedepan rumahnya.
"Lo bisa jalan? Apa perlu gue bantu?" tanya Jessica.
"Gak perlu, gue sudah bisa jalan normal!" jawab Nada. "Ya sudah, terimakasih atas tebengannya, Jes."
"Siap, gue jalan ya.. Bye Nad!" ucap Jessica pamit.
Nada hanya menganggukkan kepalanya, sedangkan mobil Jessica sudah melaju kembali.
Setelah sampai di rumah, Nada langsung berjalan masuk dengan langkah perlahan, merasa lelah. Tanpa berlama-lama, ia segera menuju kamarnya. Sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang berat di lantai rumahnya yang sunyi.
Sesampainya di kamar, Nada meletakkan tas sekolahnya di meja belajar. Ia ingin menenangkan pikirannya.
Dengan langkah lesu, Nada menuju kamar mandi. Ia membuka keran air, membiarkan air hangat mengalir, lalu membasuh wajahnya dengan tangan. Sensasi air yang jatuh terasa menenangkan.
"Mungkin aku perlu istirahat sejenak," gumamnya pada diri sendiri.
Setelah mandi, Nada mengenakan pakaian nyaman dan kembali ke kamarnya. Ia membuka jendela kamar dan membiarkan udara segar masuk, menyegarkan pikirannya yang masih penuh dengan pertanyaan. Kemudian, ia berbaring di atas tempat tidurnya, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Mata mulai terasa berat.
Ia menatap langit-langit kamarnya, Bara atau Aldo? Mana yang benar-benar ia pilih? Atau, apakah ia benar-benar perlu memilih?
Dalam keheningan itu, perlahan Nada mulai tertidur, meski hatinya masih terasa penuh dengan perasaan yang belum terjawab.