Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Secarik Kisah di Masa Lalu
Rancangan gaun kali ini membuat Clara benar-benar menangis. Bagaimana tidak? Masalah yang ia pikir telah berlalu ternyata kembali menghantuinya. Sosok mantan suaminya datang kembali, menggores luka lama di hatinya.
Jahitan demi jahitan ia ukir, ia rancang sehingga menghasilkan gaun yang cantik. Ia segera memasukan hasil rancangannya ke dalam patung setelah menyelesaikan detik-detik terakhirnya. Pada saat itu juga, pikirannya berkecamuk, membuatnya harus menelan obat penenang yang ada di hadapannya.
"Clara, kamu masih minum obat itu?" tanya Eliza. Sebenarnya, ia khawatir kesehatan putri sulungnya itu akan semakin memburuk.
"Iya, Bu," jawab Clara tanpa mengelak. "Sesekali saja, kalau lagi banyak pikiran!"
Senyum Eliza terukir, meskipun ia sangat merasa kasihan pada kehidupan putrinya. Bagaimana jika mereka bisa mengulang takdir, mungkin Eliza akan memohon yang terbaik untuk kedua putrinya.
"Ibu jadi penasaran, kenapa ia meminta aset rumah dan butik milikmu?" tanya Eliza. Clara menghela napas pelan.
"Mungkin hidupnya sudah miskin. Terus ia membawa Carletta untuk dijadikan jaminan agar permohonannya kubulkan. Ternyata, untuk membujukku saja susah sekali. Aku hanya ingat satu hal, bahwa aku benar-benar merindukan Carletta!" Clara lantas duduk di samping Eliza. Ia sedikit menangis karena kerinduannya. Ia ingat dulu, mantan suaminya begitu manis, tetapi sekarang kenyataannya berbalik.
Sorot mata Eliza yang teduh menenangkan. Ia lantas mengusap kepala putrinya. "Sudahlah, biarkan saja. Nanti ada masanya ia benar-benar jatuh dan mengembalikan Clara."
Sejenak, Eliza merasakan dejavu, seolah-olah kembali ke masa lampau. Angannya bercerita, mengapa semuanya terasa begitu nyata.
"Ngomong-ngomong soal Matthew—"
"Kayaknya itu bukan Matthew, deh," pikir Clara. "Soalnya kulitnya agak gelap!"
Eliza kembali berpikir. "Eum, ia menyerahkan semua hartanya demi mantan suami mu?" tanya Eliza lagi. Clara menggeleng.
"Kayaknya tidak, dan tidak kurasa itu semua tidak mungkin. Ia tidak mungkin mau menyerahkan kekayaannya kepada orang yang bukan siapa-siapa baginya, atau bahkan orang yang tidak ia kenal!"
"Semuanya manis, sangat manis." bisik Eliza. "Tidak perlu menangis, Tuhan telah menyiapkan segalanya yang terbaik!"
"Tapi perasaanku berkecamuk, saat ia datang lagi dan memperlihatkan Carletta yang tengah tersenyum. Senyumnya amat mengiris hati. Membuat aku benar-benar merindukannya!"
"Eum, berapa tahun aku tidak bertemu anak itu?" Clara terus mengingatnya.
"Entah apa yang telah aku perbuat, hingga kamu harus menanggungnya sendirian begini?" Eliza berpikir, mungkin ini adalah alasannya. Tetapi, mendiang suaminya adalah laki-laki yang sangat baik.
"Aku melihat secercah kebahagiaan baru. Mungkin ini akan jauh lebih baik, tetapi aku mau menunggu nanti!" kata Clara.
Kemudian, ia bergegas mengambil potongan kain dan satu gaun. Meteran yang masih melingkar di lehernya.
"Kali ini, aku yang akan berjuang!" kata Clara. "Aku akan melindungi dan terus membuat kebahagiaan untuk orang yang kusayangi. Aku bahkan tidak peduli dengan apa pun komentar orang lain. Hari ini, aku ingin bergegas pergi. Tunggu aku kembali!"
"Entah apa yang dilakukan anak itu!"
Clara membawa barang-barang keperluan kerjanya, membawanya ke butik sendirian dengan berjalan kaki. Sampai akhirnya ia menangis lagi. Ingin ia berteriak, lelah kepada Tuhan. Ia merasa, tidak ada yang bisa ia tunjukkan kepada semua orang. Tetapi, ia ingat lagi, mungkin bila kita bersikeras untuk memperlihatkan apa yang kita punya, hati kita malah semakin teriris.
O0O
@angelsforboyscircle.
Renata: "Kalian sudah tahu mengenai Justin, gila ternyata. Tadi aku nemuin dia bermain kasar sama Abigail!"
Renata menulis di grup pertemanan sekolah miliknya. Mereka berbincang dengan para teman kelas yang notabene adalah para penggemar Justin garis keras. Termasuk juga Anya, tetapi ia sempat bersikap seolah tidak percaya.
Anya: "Masa iya? Tidak mungkinlah!" balasnya tidak percaya.
Renata: "Seriusan, aku tidak bohong!"
Kemudian, Renata memberikan rekaman yang menampilkan Justin memperlakukan Abigail dengan kasar. Ia mengelap wajah Abigail, memukulnya, dan membuang bukunya ke tepi danau. Bahkan dalam rekaman itu, Abigail terlihat menangis.
Mata Anya melotot saat ia melihat rekaman yang sangat jelas. Ia ingin berteriak, tetapi ia teringat bahwa ia dilarang berisik di kamarnya sendiri. Ia juga ingat bahwa kemarin ia membela Justin yang berpura-pura menjadi korban.
"Aku harus telepon Yeon!" Anya mengalihkan perhatian dari grup pertemanan mereka untuk menghubungi Yeon melalui panggilan suara. Di rumahnya, Renata menggerutu kesal kepada Anya karena tiba-tiba ia mengalihkan panggilannya.
"Halo, Yeon!"
O0O
Abigail menggenggam erat kedua tangannya. Ia merasakan nyeri di ulu hatinya karena Justin sebelumnya telah membentaknya. Ia juga harus menyusuri danau, hampir tenggelam, untuk mengambil bukunya yang sangat ia sayangi.
Buku itu telah basah. Buku ini bukan hanya sekedar buku; ia menyimpan banyak kenangan antara Abigail, mendiang ayahnya, dan mendiang Matthew. Dua laki-laki yang menjadi cahaya dalam hidupnya, hari ini dan selamanya.
"Ayah, maafkan Abi!" Abigail mengusap air mata yang membasahi foto mendiang ayahnya dan tentu saja Eliza, ibunya.
Ia memeluk buku itu erat. Ia tidak akan membiarkan siapa pun merusak apa yang ia miliki. Kemudian, ia berenang ke tepi danau. Rambutnya benar-benar basah. Ia ingin menangis, tetapi ia mencoba menahannya. Sejenak, Abigail berpikir apakah ini perasaan cinta Justin yang tidak ingin membiarkannya jatuh ke pelukan siapa pun. Ya, Justin benar-benar jatuh cinta padanya.
Taga-linis memanggilnya saat Abigail telah menyentuh permukaan danau. "Kenapa kamu berenang di sini?" tanyanya.
Abigail menggeleng. "Tidak, Pak. Saya hanya ingin mengambil buku saya yang hampir tenggelam. Buku ini buku kesayanganku. Jadi, demi apa pun saya ingin menjaga buku ini lebih dari diriku sendiri." jawab Abigail.
"Tadi, aku melihat kamu bertengkar dengan kekasihmu?" Saat telah menyentuh permukaan tanah, Abigail berbincang sebentar dengan pria itu.
Abigail mengelak. "Tidak ada pertengkaran. Ia hanya terlalu mencintaiku. Ia tidak ingin kecantikanku dilihat oleh orang lain. Ia juga tidak ingin ada orang lain dalam hidupku."
"Buku ini adalah buku pemberian mendiang kekasihku yang telah lama meninggal dunia karena sakit. Kekasihku yang baru, ia marah karena buku ini belum kubuang, dan masih menjadi buku kesayanganku!"
"Hm, tetapi wajahmu lebam-lebam begitu?" tanyanya lagi. "Bajumu basah juga. Jaketmu ada di pinggir danau tadi kan? Tidak basah?"
Abigail menggeleng. "Tidak, terima kasih, Pak."
Ia tersenyum, meskipun penampilannya menyedihkan. "Kalau begitu, saya pamit pulang, Pak. Terima kasih!"
Beberapa menit kemudian, ia benar-benar menghilang, meninggalkan danau itu dengan penampilan menyedihkannya.
Taga-linis \= petugas kebersihan dalam bahasa Tagalog.