Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kaget
Selly menggeliatkan tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya menggigil. Matanya terasa berat untuk dibuka sebab ia masih dalam pengaruh alkohol meskipun sudah berkurang kadarnya.
Kepalanya terasa pusing, dan ia memaksa membuka matanya yang berat. Ia melihat dengan samar suara orang-orang berguman, dan saat ia memaksa membuka matanya, ia melihat orang-orang asing sedang berkumpul satu sama lain.
"Hah, dimana aku?" Selly membenarkan posisinya. Ia bangkit dari tidurnya dan duduk dengan sempoyongan. Ia mengederkan pandangannya menyapu ruangan dengan memaksa matanya untuk melihat dengan jelas.
"Siaaal, kenapa aku bisa disini? Apakah malam tadi ada patroli dan aku terciduk," gerutu Selly dengan kesal. Ia memijat keningnya yang terasa sakit dan mendenyut.
Sekian menit kemudian, jatah sarapan datang dan para tahanan lainnya mendapatkan jatah yang sama. "Breengsek, jadi aku tidak bermimpi menginap ditempat sialan ini" makinya lagi.
Ia menarik wadah sarapannya, dan ada nasi goreng dengan irisan telur dadar yang akan mengisi perutnya pagi ini.
Ia menyuapkannya dengan malas, akan tetapi perutnya sudah keroncongan, sebab malam tadi ia lupa untuk makan malam.
Setelah selesai sarapan. seorang petugas datang menghampiri sel tempat ia menginap malam ini.
"Saudari Selly, harap ke ruangan penyidikan," ucap petugas polisi, sembari membuka pintu sel.
Wanita itu tercengang, ia beranjak bangkit dengan sempoyongan. Pakaiannya yang setengah terbuka, membuatnya semakin merasakan dinginnya udara pagi ini.
Setibanya diruang penyidikan, ia cecar dengan berbagai pertanyaan. Ia terjerat pasal berlapis dengan adanya kepemilikan narkoba disaku celananya dan juga kasus penganiayaan yang dilakukannya terhadap seorang bocah perempuan berusia tiga tahun.
"Hah, tidak, saya tidak ada memiliki narkoba dan juga menganiaya anak itu," Selly berkilah. Ia tak ingin mendekam didalam jeruji besi, apalagi dengan pasal berlapis yang tentunya akan memberatkan hukumannya.
"Maaf, Bu Selly. Semua bukti sudah jelas dan ibu kami tetapkan sebagai tersangka, dan kasus ibu akan kami limpahkan ke pengadilan, silahkan ibu persiapkan diri untuk membela dan memberikan keterangan dipengadilan nantinya," jawab petugas itu dengan tegas.
Selly tercengang dengan apa yang dikatakan oleh petugas itu. Ia tidak mungkin mendekam dalam jeruji besi yang menghalangi setiap geraknya. Belum sempat ia protes dengan apa yang dijelaskan petugas penyidik, ia sudah kembali digelandang ke dalam sel tahanan.
"Tidak, tidak..! Aku tidak mau masuk ke dalam, lepaskan aku," Selly meronta dari cengkraman polisi itu dan meminta dilepaskan, namun usahanya sia-sia dan ia harus kembali masuk ke dalam.
Petugas itu mengunci kembali pintu dan ini membuat wanita berambut panjang itu histeris.
"Lepasin, lepasin aku!" teriak Selly kencang. Ia tidak dapat menerima semua ini.
"Woooi, bisa diam, gak!" hardik penghuni sel lainnya yang merasa bising dengan teriakan Selly.
Seketika nyalinya menciut dan ia merosot kelantai sembari memegangi pintu jeruji besi. Api dendam membakar dadanya. "Awas saja, Kau Naii, tunggu pembalasanku," guman Selly dengan geram, ia menggeretakkan gerahamnya.
Sementara itu. Naii tampak mengusap peluh yang tampak keluar dari pori-pori wajahnya menggunakan tisu.
Ia menyiapkan pesanannya untuk pagi ini, dan akan melanjutkannya untuk pesanan ke duanya. Ia tidak membuka kios siang ini, sebab tak ingin memporsir tenaganya terlalu banyak, sebab ia juga butuh istirahat.
Setelah pesanannya diambil oleh sopir langganannya, ia kembali membuat adonan pesanan wanita semalam.
Meskipun ia harus bangun pukul tiga pagi untuk menyiapkan semua pesanan, ia tak ingin mengeluh, sebab harapan kedua anaknya ada dipundaknya. Ia harus memiliki pundak yang kokoh untuk membuat kedua anaknya tidak merasakan penderitaan yang kini sedang ia alami, dan membuat cerah masa depan keduanya.
Sesekali ia melongok ke arah kamar. Ruangan sempit itu menjadi tempat mereka berteduh dan berbagi terkadang harus berbagi tempat dengan berbagai tepung, bahan baku dan makanan pesanan.
Semuanya Naii jalani dengan sangat penuh syukur, sebab ia masih dapat untuk mengenyangkan perut Aliyah dan tentunya membayar uang bulanan untuk Ahnaf yang saat ini sedang mengejar impiannya.
Naii meyakini, jika semua yang ia dapatkan hari ini adalah kasih sayang dari Rabb-Nya yang terus melimpahkan keberkahan untuknya.
"Jangan pernah cabut rasa syukur, ikhlas dan sabar dalam hidupku, ya Rabb. Berkahi setiap umur dan kehidupanku," gumannya lirih, sembari menyiapkan pesanannya.
Lepas dari ikatan pernikahan dengan Hardi menyadarkan ia jika kini ia lebih bahagia dengan kehidupannya sekarang. Ia tak pernah menyesali dirinya yang kini berstatus janda, toh, menjadi janda bukanlah hal yang memalukan.
Ia hampir menyelesaikan pekerjaannya. Hingga sebuah panggilan masuk berdering diponselnya. Ia menghentikan sejenak pekerjaannya, lalu mengelap tangannya yang penuh noda minyak.
Ia melihat satu panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Ia menggeser tombol hijau, dan menempelkan benda pipih itu ditelinganya.
"Hallo, Assalammualaikum," ucapnya lirih.
"Waalaikum salam," jawab seseorang dari seberang sana.
Deeeegh...
Hatinya bergetar hebat saat mendengar suara dari seberang sana. Ia masih mengenali suara tersebut, meskipun sudah tujuh tahun lamanya ia tak lagi mendengar suara tersebut, sejak ia memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengikuti suami yang menjadi pilihan hidupnya, merantau hingga ke propinsi lain yang tentunya sangat jauh dari sosok yang dirindukannya.
Ia tak pernah lagi menghubungi keduanya setelah semua yang ia alami diperantauan dengan berbagai siksaan, kepedihan dan juga kemiskinan yang ia terima. Ia sangat malu untuk menghubungi mereka, bahkan mengadukan masalahnya. Selama ini ia bertahan hanya demi sebuah harapan agar sang suami berubah dan ia tidak ingin kedua anaknya kehilangan sosok ayah dalam hidup mereka.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, tidak ada yang berubah dari sosok suami yang telah ia pilih sebagai pendamping hidupnya. Ia mengira Hardi adalah rumah untuk tempat berteduh, ternyata ia salah, sebab suami pilihan hatinya tak lebih dari sebuah kandang ba-bi.
Naii menarik nafasnya dengan berat. "I-ibu," ucapnya lirih. Tanpa ia sadari bulir bening jatuh dari sudut matanya.
"Naii,.ini kamu-kan?" tanya suara diseberang sana dengan nada khawatir dan penuh kerinduan.
"Iya, Bu." jawabnya dengan menahan sedu sedannya.
"Naii, kamu dimana sekarang? Pulanglah, Nak. Ibu rindu sama kamu. Bapak juga sakit-sakitan dan rindu kamu," ucap wanita paruh baya dari seberang telefon.
"B-Bu..." ucapnya terbata.
"Iya,.Sayang. Pulanglah. Ibu sudah menerima Hardi sebagai suamimu," ucap wanita paruh baya itu dengan tersedu. Ia merasa bersalah aras apa yang dilakukan terhadap puteri satu-satunya itu. Keputusannya yang menolak pria itu menjadi menantunya, membuat puterinya harus pergi jauh dari kehidupannya.
Namun, sang ibu tidak tahu apa yang sekarang terjadi pada kehidupannya. Ia sudah tak lagi bersama dengan pria tersebut.