Alika Khumairoh gadis berjilbab nan tangguh yang berubah menjadi gadis diam seribu bahasa karena kecelakaan yang menimpa adiknya. Kesedihan yang mendalam ia rasakan ketika adik satu-satunya terbaring koma karena kecelakaan tersebut.
Dan ketika dia harus bertemu dengan Farel Adiputra Wijaya, manusia menyebalkan menurut Alika.
Farel sendiri adalah putra dari pemilik perusahaan Wijaya Group.
Kehidupan mereka yang berubah drastis karena sifat di antara keduanya yang bertolak belakang.
Sampai akhirnya mereka memulai untuk melakukan kerjasama di perusahaan ayah Farel agar mengetahui siapa dalang di balik runtuhnya perusahaan Wijaya Group.
Akankah mereka dapat memahami satu sama lain?
Dan bisakah keduanya mengungkap siapa yang berkhianat pada perusahaan Wijaya Group?
IG : miena_checil
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panik
Alika baru keluar dari ATM, mengambil semua pendapatannya dari hasil kerja kerasnya. Pak Herlambang telah menepati janjinya memberi Alika bonus setelah pekerjaan yang dia lakukan.
Dua bulan sudah Alika bekerja sebagai sekretaris Farel. Perbedaan karakter yang memang di miliki keduanya membuat Pak Herlambang dulu menimang-nimang tentang kerjasama yang di jalankan keduanya. Tetapi sekarang Pak Herlambang yakin akan kemampuan mereka berdua.
Dengan langkah pasti Alika keluar dari ATM yang terdapat di mall terbesar di Ibukota. Senyumnya mengiringi setiap langkahnya. Saat ini hatinya sangat bahagia.
Perlahan dia menarik nafas dalam setelah sampai di depan toko yang ingin dia tuju. Dengan senyumannya dia melangkah memasuki toko aksesoris di mall tersebut.
"Bisa saya bantu mbak?" tanya karyawati yang bekerja di toko aksesoris tersebut setelah melihat kedatangan Alika.
"Saya mau membeli jam tangan yang pernah saya jual disini mbak," jawab Alika.
"Jam tangan mana ya mbak?" tanya karyawati itu sedikit kebingungan.
"Jam tangan seperti ini," jawab Alika seraya mengeluarkan jam tangan milik Abizar dari dalam tas selempang nya.
"Oh jam tangan ini sudah di beli oleh seseorang beberapa bulan yang lalu mbak," jawab karyawati itu sambil memperhatikan jam tangan yang di bawa Alika.
Alika terkejut tak percaya setelah mendengar perkataan karyawati toko aksesoris tersebut. Seketika matanya berkaca-kaca. "Mbak jam tangan itu sangat berarti bagi saya, kenapa mbak menjualnya?" kata Alika diiringi isak tangisnya.
"Maaf mbak itu sudah prosedur toko kami, jika ada yang menginginkan barang disini maka kami akan menjualnya. Sekali lagi kami mohon maaf," kata karyawati itu merasa bersalah karena melihat Alika sedang menangis.
Alika mengusap air matanya. "Mbak gak salah kenapa harus minta maaf? Saya yang salah, maaf..." kata Alika lalu diapun melangkah keluar dari toko tersebut.
Dengan menaiki taksi Alika kembali ke kantornya. Jam istirahat makan siang sudah di lewatinya dengan datang ke toko aksesoris tersebut. Kalaupun masih ada waktu makan siang dia pasti akan memilih tidak akan makan siang jika dengan perasaan sedih seperti ini. Namun usahanya sia-sia saat tau jam tangan miliknya sudah tidak berada pada toko itu.
Setelah sampai di kantor Alika memasuki gedung tersebut dengan langkah gontai. Kali ini dia benar-benar merasa bersalah kepada kedua orangtuanya. Dia benar-benar tidak bisa menjaga satu-satunya peninggalan orangtuanya.
Menaiki lift dengan pikiran kosong. Alika berjongkok di lantai kembali menangis sesegukan karena teringat akan jam tangan tersebut.
Desi dan Nadia terkejut ketika pintu lift terbuka, dia menemukan Alika sedang menangis di dalam lift. "Alika lu kenapa?" tanya Desi yang menghampiri Alika dan membawanya keluar dari lift tersebut
"Aku...aku..." Alika berbicara dengan terbata-bata. Dan akhirnya Alika menceritakan tentang masalah jam tangannya di luar pintu lift.
Desi dan Nadia memang sahabat yang bisa di andalkan, ketika sahabatnya sedang terpuruk mereka bahkan memberikan bahunya sebagai sandaran. "Yang sabar Al..." ucap Nadia menenangkan Alika.
Alika menghela nafas, membuang semua rasa sesak di dadanya. "Aku ingin sendiri" kata Alika yang saat ini bisa menenangkan hatinya.
"Lu mau kemana?" tanya Desi khawatir.
"Iya kamu mau kemana? Sebentar lagi bukannya kamu dan Pak Farel mau rapat?" tanya Nadia yang juga ikut khawatir tentang keadaan Alika.
"Aku akan ke tempat favoritku sebentar, tenang saja aku masih di sekitar kantor kok," kata Alika sambil tersenyum agar Desi dan Nadia tidak khawatir melihat keadaannya. Lalu Alika kembali memasuki lift.
Desi dan Nadia yang terlihat khawatir membiarkan sahabatnya pergi. Memberi waktu agar Alika bisa menenangkan diri sejenak. Lalu mereka kembali ke meja kerja mereka masing-masing
*
Satu jam berlalu tapi Alika belum juga kembali di meja kerjanya, Desi dan Nadia terlihat khawatir dengan keadaan Alika. Berkali-kali mereka mencoba menghubungi ponsel Alika namun selalu tidak tersambung.
"Dimana Alika, kenapa meja kerjanya kosong?" tanya Farel pada timnya saat dia baru saja keluar dari ruang kerjanya.
"Saya tidak tau Pak, saya juga berkali-kali menelfon nya tapi tidak tersambung," jawab Desi yang masih terus saja mencoba menghubungi Alika.
"Memangnya dia kemana? ini kan jam kerja, kenapa keluar tanpa pemberitahuan. Mana sebentar lagi mau rapat?" tanya Farel lagi dengan nada sedikit kesal karena semua berkas ada di tangan Alika.
Para tim Farel sudah menatap satu sama lain melihat kekesalan di wajah Farel.
"Alika tadi hanya berpamitan sebentar mau ke tempat favoritnya. Tapi saya juga tidak tau dia kemana," jawab Desi takut-takut.
"Apa?" tanya Farel sambil mengerutkan dahi.
"Iya dia bilang akan ke tempat favoritnya sebentar, tempatnya juga hanya sekitaran kantor katanya Pak," kini Nadia yang berbicara.
Farel yang sepertinya tau dimana tempat itu langsung lari menuju lift. Dia menekan tombol lantai paling atas gedung Perusahaan Wijaya Group. Para tim Farel hanya melihat bingung dengan sikap Farel.
Ketika lift terbuka Farel langsung berlari ke atap gedung. Dia ingat sekali ketika Alika pernah berkata kalau atap gedung Perusahaan ini adalah tempat favoritnya.
Farel membeku di tempatnya ketika tau Alika sudah tidak sadarkan diri di sebelah bangku panjang yang biasa dia duduki. Farel langsung berlari sekencang mungkin mendekati Alika. Segera dia angkat kepala Alika menggunakan tangan kanannya, entah kenapa perasaannya seperti teriris melihat kondisi Alika saat ini.
"Alika...Alika bangun..." kata Farel sambil berulang-ulang menepuk pipi Alika supaya dia sadar. Namun sepertinya usahanya sia-sia, Alika tak merespon sama sekali pukulan lembut Farel di pipinya.
Farel sudah panik dengan apa yang di alami oleh Alika, segera dia bangkit dan menggendong Alika ke dalam pelukannya. Farel setengah berlari menuju lift dan langsung menekan tombol ke lantai bawah.
Di dalam lift dengan nafas terengah-engah Farel masih mencoba menyadarkan Alika dengan menepuk-nepuk pipi Alika. Masih tetap sama, tak ada respon sama sekali. Selagi lift menuju ke lantai bawah Farel mencoba menghubungi ponsel Dimas, ketika tersambung Farel langsung menyuruh Dimas untuk segera ke lantai bawah dengan membawa kunci mobilnya agar mengantarkannya ke rumah sakit.
Tanpa banyak bertanya Dimas mengiyakan permintaan Farel, menyambar kunci mobil di atas meja kerjanya yang tadi dia pakai untuk mengantar Sandra pulang. Farel juga berpesan pada Dimas agar para timnya membatalkan semua rapat yang akan di laksanakan siang ini karena terjadi sesuatu pada Alika.
Lift yang membawa Farel ke lantai bawah akhirnya terbuka, buru-buru Farel keluar dan masih menggendong Alika. Para karyawan di lobby kantor terkejut dengan pemandangan yang mereka lihat. Kepanikan Farel benar-benar terlihat di wajahnya.
Tak lama kemudian Dimas juga sudah keluar dari lift, dia terkejut ketika melihat Farel yang menggendong Alika tak sadarkan diri. Dan sepertinya Dimas tau apa yang harus di lakukan nya, dia lari ke pintu kantor memberikan Farel ruang untuk berjalan.
Lalu tanpa disuruh pun Dimas langsung mengambil mobil Farel yang tak jauh terparkir di tempat parkir. Membukakan pintu mobil belakang agar Farel bisa masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu menutup kembali pintu mobil tersebut dan dirinya pun masuk ke dalam mobil di kursi kemudi.
Dengan kecepatan sedang Dimas mulai menjalankan mobil Farel, sesekali dirinya melihat kaca spion tengah mobil untuk melihat Farel dan Alika yang duduk di bangku belakang.
"Bangun Alika...bangun..." kata Farel yang masih memeluk Alika sambil mencoba berulang kali membangunkan gadis berjilbab di dekapannya.
Dimas masih fokus menyetir, dia tak berani bertanya tentang keadaan Alika. Melihat Farel yang panik sudah membuatnya hilang konsentrasi jika dia bertanya tentang kondisi Alika.
"Cepetan bang!" perintah Farel pada Dimas.
"Iya," jawab Dimas singkat. Berusaha tetap tenang sambil dirinya fokus menyetir. Sambil sekali lagi dia melirik kaca spion mobil.
Kenapa Farel begitu panik melihat Alika pingsan? Apa dia benar-benar...? batin Dimas menggantungkan kalimatnya sendiri di dalam hati, tidak mau mengira-ngira lagi akan perasaan Farel.
Bersambung
secara ga langsung, ia mengungkapkan cinta buat Alika🤭
.