Sejak kecil Rea seorang anak tunggal terlalu bergantung pada Jayden. Laki-laki sok jagoan yang selalu ingin melindunginya. Meskipun sok jagoan dan kadang menyebalkan, tapi Jayden adalah orang yang tidak pernah meninggalkan Rea dalam keadaan apapun. Jayden selalu ada di kehidupan Rea. Hingga saat Altan Bagaskara tidak datang di hari pernikahannya dengan Rea, Jayden dengan jiwa heroiknya tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi pengganti mempelai pria. Lalu, mampukah mereka berdua mempertahankan biduk rumah tangga, di saat orang-orang dari masa lalu hadir dan mengusik pernikahan mereka?
Selamat Membaca ya!
Semoga suka. 🤩🤩🤩
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Budi Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep 34
Lelaki itu benar-benar tidak rela. Belum pernah dia merasa begitu kehilangan seperti saat Rea memiliki laki-laki lain. Rasanya seperti saat Papanya pergi meninggalkan keluarganya dan memilih perempuan lain. Begitulah, Jayden masih mengingat rasa sakit itu. Dan sekarang, dia harus merasakannya lagi saat ditinggal pergi oleh Rea.
Jayden meremas rambutnya sendiri dengan frustasi. Ingin sekali dia menghajar Altan dan memaksa pria itu untuk melepaskan Rea. Tapi, mana mungkin dia melakukan hal itu. Rea sangat mencintainya, dia sendiri yang sudah memilih Altan untuk menjadi calon suaminya.
Sesaat kemudian, pintu kamarnya terbuka. Jayden sudah berharap kalau itu adalah Clareance yang kembali menemuinya. Nyatanya bukan.
Amaya muncul dengan raut wajah cemas. Wanita itu menghela napas panjang dan berjalan mendekati putranya.
"Mama nggak habis pikir sama perbuatan kamu, Jayden. Bisa-bisanya kamu melakukan hal itu pada Clareance. Minggu depan dia akan menikah. Kenapa kamu tega mengacaukan perasaannya?"
Lelaki itu tak menjawab, kepalanya penuh. Tak bisa berpikir jernih.
"Lebih baik kamu nggak usah datang ke pernikahan Clareance. Mama nggak mau kamu merusak acara sakral itu. Mama benar-benar kecewa sama kamu, Jayden. Seharusnya kamu bisa menahan diri."
###
Zika sedang membuat susu khusus untuk ibu hamil, saat ia mendengar pintu apartemen Altan terbuka.
Dia sudah tersenyum lebar hendak menyambut kekasihnya datang. Namun, senyum itu mendadak lenyap saat melihat siapa yang baru saja masuk ke dalam apartemen Altan.
Hampir saja gelas yang ia pegang jatuh ke lantai karna tangannya yang mendadak gemetar.
"Rupanya Altan tidak berbohong. Kamu benar-benar ada di sini," Gumam Yuta. Wanita itu memang terkejut, tapi sepertinya Zika lebih terkejut lagi.
Zika berdehem. Kepalanya menoleh kiri kanan karna merasa gelisah. Tak tahu harus berbuat apa.
"Setidaknya, pakailah pakaian yang pantas saat berada di tempat laki-laki yang belum resmi menjadi suamimu," sinis Yuta, memperhatikan pakaian Zika yang kekurangan bahan.
Gadis itu hanya memakai terusan berbahan satin tanpa lengan, yang panjangnya jauh di atas lutut. Dan terlihat sangat menerawang. Pakaian seperti itu hanya pantas digunakan untuk para istri yang ingin menggoda suaminya.
"Ah, maaf," lirih Zika, segera beranjak meninggalkan ruang tamu dan berjalan cepat menuju kamar untuk mengganti baju.
Tak lama kemudian, gadis itu muncul lagi. Ragu-ragu ia mendekat, hingga Yuta menyuruhnya untuk duduk di sofa ruang tamu.
"Kamu tahu kan siapa saya?"
Zika mengangguk pelan. "Ibu Yuta, istrinya pak Pedro. Ibunya Altan," sahutnya.
"Baguslah kalau kamu tahu," lirih Yuta bersamaan dengan hembusan napasnya yang sedikit berat. "Saya sudah tahu tentang hubungan kamu dengan Altan. Dia sendiri yang cerita. Juga soal kehamilan kamu."
Gadis itu tertunduk dalam diam. Mendengarkan setiap ucapan Yuta tanpa menyahut.
"Kamu tahu kan, kalau minggu depan Altan akan menikahi Clareance?"
Zika mengangguk. "Iya, saya tahu."
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?"
"Saya sudah berniat pergi dari sini. Kalau perlu, saya akan menghilang bersama bayi ini. Tapi ... Altan melarang saya, dia menahan saya di sini. Dia meminta saya untuk menunggu. Entah menunggu apa," sahutnya dengan senyum getir. Setetes air mata jatuh membasahi pipi.
Gadis itu sengaja bersikap memelas agar Yuta turut iba padanya. Hati seorang ibu mana tak akan tersentuh saat berhadapan dengan permasalahan anak mereka.
"Jadi, bukan kamu yang memaksa untuk tetap tinggal di sini?"
"Saya sedang hamil, Tante. Bagaimana perasaan Tante kalau jadi saya? Seharusnya Altan tidak menahan saya waktu itu. Waktu saya berniat mengakhiri hidup. Lebih baik seperti itu kan? Karna tidak ada gunanya lagi saya hidup tapi harus menanggung beban ini sendirian. Saya membutuhkannya, saya butuh Altan sebagai ayah dari bayi ini. Karna itulah saya bertahan di sini, Tante."
Yuta menarik napas dalam. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri.
"Apa Tante tahu, bahwa Pak Pedro sangat membenci saya. Sampai-sampai saya diusir dari apartemen. Nyawa saya terancam hanya karna saya mencintai Altan Bagaskara. Kami saling mencintai sejak dulu, apa itu salah? Andai saja kalian tahu, Altan sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini, Tante. Tolong mengertilah perasaannya."
"Seharusnya kamu tahu dari awal, resiko apa yang akan kamu terima saat mencintai putra dari Pedro Bagaskara."
"Sudah terlambat untuk menyesal, Tante. Saya hanya berharap Tante memahami posisi saya."
Yuta mengangguk pelan. Rasanya sulit sekali untuk mengatakan hal ini. Tapi, dia juga tidak mau putranya menjadi seorang pengecut yang tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang telah ia perbuat. Altan harus menanggungnya sendiri. Setidaknya, dia harus merawat Zika dan calon bayinya dengan baik. Karna itu kewajiban seorang ayah.
Sejenak, Yuta merogoh tas di sampingnya. Ia mengambil sebuah kunci, secarik kertas bertuliskan alamat sebuah rumah, dan juga buku tabungan yang jumlahnya tak sedikit. Lalu, ia menyerahkan ketiga benda itu pada Zika.
"Pergilah bersama Altan. Kalian berdua harus merawat dan membereskan bayi itu dengan baik. Jangan pernah kembali ke sini. Aku akan menganggap kalian berdua sudah mati." Yuta menggigit bibir, berkali-kali ia mengerjap hanya untuk menahan desakan air mata yang hampir tumpah.
Sementara Zika hanya diam menatap ketiga benda itu dengan raut wajah tak percaya.
###
"Non Clareance, ada masalah?" Tanya supir pribadi yang biasa mengantar jemput gadis itu.
Mendengar pertanyaan si supir, Rea langsung memalingkan wajahnya. Menutupi matanya yang basah oleh air mata. Ia tahu kalau supir itu khawatir, karna semenjak Rea keluar dari rumah ibu Jayden, gadis itu tak bisa berhenti menangis.
"Non Rea perlu sesuatu?" Tanya supir itu lagi, sesekali menatap spion tengah untuk memastikan keadaan majikannya.
"Jalan saja, Pak. Saya nggak apa-apa," sahutnya dengan suara sedikit serak.
"Baik, Non."
"Oh, ya. Jangan bilang sama siapa pun kalau saya habis pulang dari rumah Jayden."
"Termasuk Nyonya Mami?"
"Siapa pun, termasuk mami. Terlebih ... Altan. Dia nggak boleh tahu."
"Baik, Non," sahutnya patuh.
Setelah itu, keduanya terdiam. Supir pribadi Rea tak lagi membuka suara atau menanyakan apa pun padanya. Hingga mereka sampai di rumah.
Sebelum keluar dari mobil, Rea sempat merapikan riasannya, agar tak terlihat kalau dia baru saja. Menangis sepanjang perjalanan. Dia tak mau Altan melihat matanya bengkak dan kemerahan.
Begitu Rea masuk ke dalam rumah, dia langsung di sambut oleh Altan yang duduk di sofa ruang tamu. Lelaki itu sedang bicara dengan Selena, mereka berdua terlihat sedang menertawakan sesuatu, entah apa. Tapi, Rea bisa melihat rona bahagia di wajah maminya. Dan hal itu membuatnya semakin merasa bersalah. Dia merasa kalau perbuatannya dengan Jayden bisa saja merusak rencana indah yang telah ia bangun bersama Altan, dan juga harapan orang tuanya agar dia bisa hidup bahagia bersama suaminya kelak.
"Rea, kemana saja, sih? Altan sudah nungguin dari tadi, loh," dumal Selena yang dibalas senyuman oleh Clareance.
"Macet, Mam," sahut Rea beralasan. Gadis itu berjalan menghampiri Altan dan memeluk lelaki itu erat. "Maaf, ya," lirihnya dengan kedipan sebelah mata.
"It's okay, honey. Tadi Mami nemenin aku ngobrol," ujar Altan sambil mengusap lembut kepala Clareance.
"Ya, sudah. Mami kebelakang dulu, ya. Kalian ngobrol berdua."
Sepeninggal Selena, mereka berdua saling tatap dalam diam. Jujur saja Rea merasa bersalah pada lelaki di hadapannya ini. Tapi, dia tak mungkin mengutarakan apa yang sebenarnya terjadi, antara dirinya dan Jayden tadi.
"Al, aku minta maaf, ya," ucap Rea tiba-tiba, membuat Altan mengernyit heran.
"Minta maaf soal apa?"
"Eum ...." Gadis itu menggerakkan kedua bahunya. "Entahlah aku merasa banyak salah sama kamu. Selama ini, aku sering marah-marah dan berprasangka buruk padamu. Padahal, aku juga nggak sebaik yang kamu pikir."
Aku sudah mengkhianatimu, Al. Aku berciuman dengan pria lain di belakangmu, sambung Rea dalam hati.
Altan tersenyum kecil. Sebelah tangannya terulur mengusap lembut punggung tangan Rea yang ada di dalam genggamannya. "Kamu ngomong apa sih? Hm?"
"Pokoknya aku janji, aku akan menjadi istri yang baik buat kamu. Aku nggak akan bikin kamu kecewa dan sakit hati. Jadi, kamu juga harus janji."
"Janji apa?"
"Jangan tinggalin aku."
Seketika Altan terdiam. Raut wajahnya berubah muram. Mana bisa dia berjanji untuk tidak pergi meninggalkan Clareance, sementara ada Zika yang juga menunggu kepastian darinya.
"Al, kamu nggak akan ninggalin aku kan? Kamu nggak akan pergi seperti pria-pria lain yang kukenal dulu?"
Altan hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Tak ada yang bisa ia lakukan selain merengkuh gadis itu ke dalam pelukan. Berharap Rea bisa berhenti merengek memintanya untuk berjanji pada sesuatu yang tak bisa ia tepati.
Dalam hati pria itu mengutuki dirinya sendiri, karna sudah berani mempermainkan perasaan perempuan tak berdosa seperti Clareance.
Harus dengan apa dia menebus semua kesalahannya pada gadis itu? Seorang gadis yang berharap mendapatkan cinta tulus dari seorang pria brengsek seperti dirinya.
\*
\*
\*
***❤️\>Bersambung<❤️***