Mereka bertemu dalam tujuan masing-masing. Seperti kata temannya dalam hubungan itu tidak ada perasaan yang dipertaruhkan hanya ada profesionalitas semata.
Bersama selama tujuh bulan sebagai pasangan suami-istri palsu adalah hal yang mudah pikir mereka. Tapi apakah benar takdir akan membiarkannya begitu saja?
"Maksudku. Kita tidak mudah akur bukan? kita sering bertengkar dan tidak cocok."
"Bernarkah? tapi aku merasa sebaliknya."
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Siasat Licik Paman
Baswara baru tiba di ruangannya setelah dua hari itu menemani Kani yang sedang berduka. Dengan jas rapi dan dasi yang selalu terikat sempurna, ia tampak sibuk menandatangani beberapa dokumen yang bertumpuk di sudut meja. Aroma samar aroma kopi hitam yang masih mengepul di cangkir porselen di sampingnya.
Pagi di ruangan ini dimulai dengan suara lembut pendingin ruangan dan bunyi ketikan cepat di keyboard. Baswara menyesap kopi hitamnya yang masih hangat, matanya menyapu laporan keuangan dari CFO yang baru saja masuk ke emailnya.
"Sampai kapan angka ini tetap stagnan?" gumamnya, jari telunjuknya mengetuk ringan meja.
Ia menggeser berkas lain, laporan tentang okupansi kamar dari divisi operasional. Matanya tajam membaca data, mencari pola dari naik turunnya jumlah tamu bulan ini. Layar komputernya juga memperlihatkan daftar email dari berbagai pihak—dari investor, staf hotel, hingga tamu VIP yang mengajukan permintaan khusus.
Tanpa ragu, ia segera membalas beberapa email penting. Jari-jarinya bergerak cekatan di keyboard, menunjukkan betapa terbiasanya ia dengan tekanan pekerjaan.
Tiba-tiba, ketukan lembut terdengar di pintu. Jona, sekretaris pribadinya, masuk dengan ekspresi khawatir.
"Bos, ini laporan yang baru saja saya terima dari departemen keuangan. Ada transaksi mencurigakan yang jumlahnya besar," ucap Jona sambil menyerahkan beberapa berkas kepada Baswara.
"Transaksi apa? Aku tidak pernah menyetujui ini."
"Itu atas nama Anda. Tapi saya yakin ini tidak benar. Tandatangan juga terlihat aneh." Baswara membetulkan letak kacamatanya dan memperhatikan dengan seksama.
Kemudian seulas senyum muncul di sudut bibirnya, "Ini menarik. Siapa yang terakhir mengakses dokumen ini?".
"Pak Panji sering terlihat di area keuangan belakangan ini," jawab Jona yang ingat pernah melihat pria itu beberapa kali ada di sana.
"Paman? Kumpulkan semua bukti yang kau bisa. Aku ingin tahu siapa yang benar-benar ada di balik ini, siang nanti aku mau semuanya sudah kau dapatkan." Perintah Baswara dengan tegas. Ia benar-benar geram dengan hal itu dan bertekad untuk menangkap orang yang ingin menjatuhkannya.
Jona dengan cepat mulai membereskan masalah itu dan mulai mencari tau sumber masalah. Sekitar jam dua siang Jona tampak sibuk kesana kemari kini sudah kembali ke mejanya dan menyusun beberapa berkas. Pada akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa pria itu adalah dalangnya.
Baswara yang punya firasat buruk, akhirnya bisa sedikit lega karena mengetahuinya dengan cepat. Setelah melihat bukti yang diserahkan Jona tadi, ia pun lalu memanggil Panji ke ruangannya.
Tak lama Panji tiba di ruangan Baswara. Ia masuk dengan senyum penuh percaya diri.
"Terima kasih sudah datang, duduklah Paman," ucap Baswara santai sambil menggulung lengan kemejanya.
"Ada apa? Kau tampak cemas." Panji duduk dengan tenang namun penasaran juga.
"Aku hanya ingin mendiskusikan laporan keuangan ini. Ada transaksi besar yang mengatasnamakanku. Paman tahu sesuatu tentang ini?" tanya Baswara sambil menyodorkan beberapa berkas ke arah pamannya.
Panji tertegun sesaat, tetapi berusaha terlihat tenang, "Aku? Tentu tidak. Mungkin staf keuanganmu yang ceroboh."
"Aneh, karena rekaman CCTV menunjukkan seseorang yang mirip sekali denganmu terlihat memasuki ruang keuangan saat transaksi itu terjadi. Paman mungkin penasaran, ini lihatlah." Baswara menyodorkan sebuah tablet yang di layarnya menampilkan video yang dimaksud.
Panji pun tersenyum kecut, "Kau menuduhku? Aku ini pamanmu!" ucap Panji marah sambil menggebrak meja. Ia menatap Baswara garang.
"Aku tidak menuduh, Paman. Aku hanya menyampaikan fakta. Dewan direksi sudah aku informasikan, dan mereka akan mengaudit semua aktivitas yang mencurigakan," ucap Baswara tenang sambil menikmati kekalutan yang terpancar dari wajah pamannya.
Baswara memandangi pintu yang baru saja ditutup dengan keras oleh sang paman. Jujur saja, dia tidak begitu kaget dengab munculnya masalah ini karena dia tahu pria itu memang sejak dulu selalu melakukan hal licik bahkan ketika ayahnya masih hidup. Kini momen yang pas untuk memberinya pelajaran atas apa yang sudah dia lakukan.
Hari sudah semakin gelap pertanda waktu alam telah tiba, Baswara masih sibuk berkutat dengan dokumennya yang menumpuk. Sambil sesekali ia melirik jam dan akhirnya memutuskan untuk menghubungi seseorang.
"Aku dengar ada masalah yang terjadi di hotel?" tanya wanita di seberang sana.
"Apa yang kau khawatirkan sepertinya jadi kenyataan. Ngomong-ngomong bagaimana Kani?" tanyanya pada Dira yang sebelum pergi tadi pagi ia titipkan pesan untuk menjaga wanita itu.
"Dia bukan anak-anak Bas. Tadi siang dia makan di sini dan bermain sebentar dengan Lingga, lalu sorenya dia pamit pulang." Baswara memijit dahinya pelan dan mengakhiri panggilan itu.
Dilihatnya lagi ponsel itu dan menimbang apakah harus menghubungi Kani karena dia khawatir dan rindu mendengar suara wanita itu. Ponsel yang ia pandangi itu akhirnya masuk kembali ke dalam saku dan Baswara pun beranjak pergi meninggalkan berbagai dokumen yang berserakan belum selesai ia periksa.