Di sekolah, Dikta jatuh hati pada gadis pengagum rahasia yang sering mengirimkan surat cinta di bawah kolong mejanya. Gadis itu memiliki julukan Nona Ikan Guppy yang menjadi candunya Dikta setiap hari.
Akan tetapi, dunia Dikta menjadi semrawut dikarenakan pintu dimensi lain yang berada di perpustakaan rumahnya terbuka! Pintu itu membawanya kepada sosok gadis lain agar melupakan Nona Ikan Guppy.
Apakah Dikta akan bertahan dengan dunianya atau tergoda untuk memilih dimensi lain sebagai rumah barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellowchipsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengakulah, Nona Ikan Guppy!
...٩꒰。•‿•。꒱۶...
...𝙏𝙐𝘼𝙉 𝙆𝙐𝘿𝘼 𝙇𝘼𝙐𝙏 & 𝙉𝙊𝙉𝘼 𝙄𝙆𝘼𝙉 𝙂𝙐𝙋𝙋𝙔...
...© Yellowchipsz...
...—Berterus-teranglah engkau, agar aku lebih bermakna.—...
...٩꒰๑ '∇'๑꒱۶...
Lingga menggaruk kening dan berpendapat, "Kalau Saila masih kesulitan mengaku, cuma ada dua hal. Pertama, dia masih malu-malu sama lo, Ta. Kedua, dia punya alasan tertentu yang mana ragu berhubungan lebih sama lo buat kedepannya."
Badan Dikta menciut saat mendengar opini Lingga yang ke dua. "Ragu, ya?" lirih Dikta yang menyimpan permen kentang goreng itu ke dalam sakunya dengan hati memar seketika.
"Heh!" kekeh Puri tak terima, "Kayak yang kita tahu, hubungan Saila dan Arjuna itu bukan hal sepele. Coba kalian pikir, mamanya Saila sampai marahin Saila tadi gara-gara Saila nolak ketemu Arjuna! Fix, jangan-jangan ... mereka udah nikah muda diam-diam walau nggak serumah!"
"Cukup, Puri!!!" hancur Dikta mendengarnya.
Puri menunduk dengan sesal usai tak sengaja membuat Dikta patah.
"Sudah-sudah!" henti Lingga pada perdebatan itu. "Eh, Saila otewe ke sini!"
Semuanya langsung bertingkah seperti biasa saja saat Saila sudah masuk ke jok belakang di dekat Dikta.
"Maaf lama," kata Saila merasa tidak enak.
"It's okay. Santai," sahut Lingga yang mulai menyetir.
Suasana sunyi tanpa konversasi. Hanya alunan musik klasik dari radio mobil yang menghangatkan suasana di bawah rintik yang belum berhenti.
Saila menoleh ke arah Dikta yang terlihat murung di dekat jendela mobil. "Dikta ...," panggil Saila halus.
Dikta menoleh dengan lemah, lalu berusaha tersenyum meski berat.
"Dikta kenapa?" tanya Saila sedikit mendekat.
Dikta mendadak tidak kuat menatap Saila lama-lama hingga ia memalingkan pandangan dari gadis itu. Telunjuk Dikta malah melukis gambar kuda laut pada jendela mobil yang berembun.
"Hippocampus," ucap Saila tersenyum. Barusan dia menyebut nama ilmiah dari kuda laut.
Hati Dikta bergetar. Namun, rasa ciutnya sudah menahan kepala Dikta untuk tak menoleh.
Saila pun mengeluarkan botol minum bergambar ikan guppy dari tasnya, lalu segera menenggak air dari sana cukup banyak. Botol minum Saila itu amat besar disertai petunjuk Cubic Centimentre (Cc) untuk mengukur tinggi cairan.
Dikta diam-diam memperhatikan Saila yang sedang sibuk menghitung jumlah sesuatu di dalam pikiran. Kira-kira, apa yang sedang dihitung oleh gadis tersebut sampai seserius itu? Dikta ingin bertanya, tapi hatinya masih rapuh gara-gara omongan Puri tentang Saila yang mungkin menikah muda dengan Arjuna.
"Ta ...," panggil Lingga melihat dari cermin depan. "Lo jangan diem-diem gitu. Makin ngeri gue!"
Dikta menyindir dengan lelah, "Lebih ngeri lagi lihat lo. Tadinya hampir mati, tapi malah nyetir dengan santai sekarang."
Puri menghela napas cemas atas semua kondisi ganjil yang menerpa mereka hari ini. Namun, fokusnya saat ini terganggu karena mendapatkan tas baru dari Saila.
"Eh, Guppy!" tegur Puri menghadap ke belakang.
"Apa?" balas Saila memonyongkan bibir. Dia segera menyimpan botol minumnya ke dalam tas.
"Kenapa lo beliin tas buat gue dan Lingga? Lo pikir kami nggak mampu beli apa?!" sebal Puri memukul-mukul tas baru berwarna biru pemberian Saila.
"Hadiah pertemanan!" jawab Saila dengan muka semringah.
Mendengar kata hadiah pertemanan, Lingga merespons, "Yakin mau temenan sama gue? Kita kalau di kelas jadi saingan, lho."
"Tahu, nih!" celetuk Puri menambahi. Dia menatap sinis ke arah Saila dan menyembur, "Argh, Guppy jahat! Kenapa 'sih lo harus banget jadi saingan kami di kelas?! Lo tuh harusnya saingan aja terus sama Arjuna!"
Saila memahami kecemasan Lingga dan Puri, "Oh, kalian nganggep aku saingan? Nggak apa, di kelas kita bersaing secara sehat, tapi berteman apa salahnya?"
Lingga mencoba untuk menerima keadaan dan berkata, "Okay! Tas sebagai hadiah pertemanan diterima!"
"Nggak!" tolak Puri ketus.
Dikta menengahi, "Tas kalian udah kayak celana burik, koyak sana koyak sini! Apa masih mau dipakai buat sekolah besok? Udah baik Saila yang beli'in, mengurangi kepusingan kalian buat nyari tas baru."
"Heuh," sebal Puri yang tak ingin berdebat banyak dengan Dikta. "Iya-iya. Gue telen ‘nih tas sekalian!"
"Lingga," panggil Saila yang ingin bertanya sesuatu. Dia sudah memendamnya dimulai dari kegilaan mereka membawa Lingga ke rumah sakit.
"Kenapa, Saila?" balas Lingga melirik kaca depan, memantau ekspresi Saila yang haus akan sesuatu.
Saila mulai bertanya, "Sebenarnya, aku penasaran dan ingin memastikan pendengaranku nggak salah. Bisa kamu sebut lagi nama-nama anggota geng Humas di buku abangnya Dikta?"
"Hah?" sontak Lingga menoleh ke belakang pada Saila, juga menatap Dikta yang mendelik kaget.
Puri mengeluh, "Kenapa ngebahas buku gila itu lagi, sih?!"
Lingga melihat Dikta menganggukkan kepala. Segera Lingga menyebutkan nama-nama anggota geng Humas, "Dikta, Lavina, Lanara, Zayan, Badroel, Ross."
"Ah, Badroel!" takjub Saila yang berhasil membuat seisi mobil gelagapan.
"Kenapa dengan Badroel?" tanya Dikta mendadak sulit bernapas di dekat Saila.
"Badroel sama kayak nama abangku!" seru Saila dengan mata membulat senang.
"HAH?!" kaget Dikta dan Lingga berbarengan, sampai Puri menganga tak kuasa.
Saila mengangguk dan berkata dengan tenang, "Kayaknya, kebetulan aja 'ya banyak nama yang sama."
"S-siapa nama lengkap abang lo?" tanya Lingga agak gemetar, "Badroel, kepanjangannya apa?"
"Badroel Guppy," jawab Saila imut.
Terlihat Dikta dan Lingga bernapas lega karena nama belakang Badroel abangnya Saila berbeda dengan Badroel di buku Bukan Malaikat Hujan.
"Kirain Badroel Sabar, Huahahahah!" tawa Lingga menyambar pada Dikta yang tak bisa menahan gelak.
"SABAR, HUAHAHAH!" ledak Dikta mentertawai nama salah satu tokoh penting di dalam buku Bukan Malaikat Hujan itu.
"HAHAH!" Puri malah ikut tertawa hanya karena tersambar kegelian dua cowok gila itu.
"Anu ...," kata Saila menggaruk pipi, "nama tengah abangku ya ... Sabar. Badroel Sabar Guppy!"
"ANJIR!!!" syok Lingga yang lengah mengontrol stir hingga mobil hampir menabrak trotoar.
"Mampus!" ejek Puri pada Dikta dan Lingga yang mendadak berhenti terbahak.
"Dikta menoleh takut ke arah Saila, "S-serius??? Nama Abangmu ada Sabar-nya?"
"He'em," angguk Saila jujur. "Sebenarnya, abangku selalu menyingkat nama Sabar dengan hurus S aja. Dia dulu memang sering diledek temannya, tapi itu nama berharga dari mendiang Papaku."
Makin terbuka keadaan keluarga Saila yang tak punya sosok papa di dekatnya, tapi punya seorang abang.
Lingga sudah salah beropini, "Gue pikir lo tunggal kayak gue, Saila. Abang lo emang di mana? Jadi penasaran gue."
"Abangku 'tuh sibuk banget. Dia baru menempuh kuliah kedokteran semester lima di luar kota, tapi nanti pas liburan bakal balik sini. Aku akan kenalin dia ke kalian kapan-kapan," kata Saila merencanakan itu.
Diam-diam kalbu si Tuan Kuda Laut kelesah kian merumit, perkara nama abangnya Saila.
...٩꒰๑ '∇'๑꒱۶...
Lingga sudah membawa mereka ke sebuah komplek perumahan yang luas dan bersih. Gerimis kecil-kecil awet menerpa kaca mobil. Tak lama dari itu, mobil berhenti di depan sebuah gerbang putih besar yang mengurung rumah megah di dalam sana.
"Saila, bener 'kan ini rumah lo?" tanya Lingga memastikan alamat yang dikatakan Saila padanya. "Woah, lebih gede dari rumah gue!" lanjutnya terkekeh.
"Iya, ini rumahku," angguk Saila. "Kalian mau mampir dulu?" tawarnya.
"Nggak!" sungut Puri, "Lingga juga harus istirahat setelah ini!"
Saila tak bisa memaksa. "Makasih, Lingga udah nganter aku pulang."
"Makasih juga tas barunya buat gue dan Puri," balas Lingga tersenyum kecil, lalu amatannya tertuju ke arah Dikta yang terlihat sedih. "Woy! Kenape lagi lo, Ta?!"
Dikta terlihat murung berpisah dengan Saila yang akan turun dari mobil. Dia amat menyesal sudah tidak bercengkerama banyak dengan Saila mendekati jam perpisahan ini.
Dikta membatin sedih, Apa benar ada tembok kokoh yang sulit kutembus untuk menggapai Saila?
"Dikta, kenapa sedih?" tanya Saila mencoba menyentuhkan kedua tangan mungilnya pada paras Dikta yang hangat. Kemudian, dia menarik setiap ujung bibir Dikta menggunakan jemari kecilnya agar cowok tan itu tersenyum kembali.
"Hoi!" sentak Puri panas melihat kelakuan Saila tersebut.
"Besok jadi?" tanya Dikta tentang mengantar Saila pulang menggunakan motornya.
Saila tersenyum manis dan menjawab, "Mama tadi udah lihat Dikta, pasti Dikta besok dibolehin antar aku pulang."
Melihat gerimis tajam, hati Dikta terenyuh. Bagaimana bisa Dikta mengantar Saila menggunakan motor jika hujan lebat tiba-tiba turun? Rasanya Dikta makin ciut melihat rumah megah Saila yang sepuluh kali lipat lebih besar dari rumahnya. Ditambah keluarga Saila adalah pemilik SMA dan Rumah Sakit Permata Laut. Nyali Dikta langsung diuji besar kala ini.
"Dikta," panggil Saila sedih melihat Dikta tidak bersemangat.
"Saila, apa besok kita masih bisa kayak gini?" tanya Dikta khawatir berlebih.
"Huehehe," kekeh Lingga meledek tatapan nanar Dikta terhadap Saila.
Puri cemberut dan berharap Saila segera turun tanpa banyak drama.
"Dikta jangan sedih," hibur Saila. "Kita 'kan udah jadi wakil dan ketua kelas, pasti besok akan lebih menyenangkan!"
Dikta mulai bisa tersenyum lagi seolah mendapatkan cahaya harapan dari netra Saila yang kelihatan merindu besar.
Satpam sudah membukakan pagar untuk Saila, ditambah kehadiran wanita paruh baya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga. Wanita itu membawa payung bening dan segera menjemput Saila yang turun dari mobil Lingga.
"Makasih, kalian!" seru Saila melambaikan tangan, "Dadaaah!"
"Daaah!" balas Dikta dan Lingga berbarengan. Hanya Puri yang melengos untuk Saila.
Puri membuka pintu mobil, "Gue keluar sebentar! Ada yang mau gue omongin ke Saila!"
"Pur-ikan! Mau ngomongin apa?" tanya Dikta yang ingin ikut.
"Tentang siklus datang bulan!" sentak Puri yang berhasil membuat Dikta tak berani ikut campur.
Lingga menggeleng ketika Puri sudah keluar dari mobil, "Alasan cewek nggak mau diganggu."
Puri berlari mengejar Saila yang berjalan dengan asisten rumahnya. "Guppy, gue mau bicara bentar sama lo!"
Saila pasrah ketika tangannya ditarik Puri. "Mau bicara tentang apa?" tanya Saila menikmati gerimis kecil yang jatuh ke wajahnya.
"Jujur sama gue. Sampai kapan lo nggak ngaku dari Dikta?!" tekan Puri dengan tatapan memicing.
Saila malah membuang muka dengan delikan bola mata yang tak pandai disembunyikan.
"Lihat gue!" paksa Puri memegangi muka Saila agar melihat padanya. "Kenapa diem? Apa pertanyaan gue terlalu sulit? Atau terlalu membongkar hati lo? Senang 'ya menyiksa Dikta selama ini?"
"Aku mau siap-siap les piano," elak Saila tak memberi jawaban.
"Lihat gaya lo!" sebal Puri tak kuasa. "Gue nggak bisa ngelepas Dikta buat cewek yang niatnya cuma mainin!"
Saila menatap nanar pada Puri dan membalas, "Kamu nggak bisa menghakimi tanpa mengenalku lebih jauh, Puri."
"Apa pun itu, jangan permainkan perasaan Dikta!" ancam Puri tak terima, "Gue yang akan bertindak kalau hati Dikta luka!"
"Maksud kamu apa, sih?" kesal Saila dihakimi.
Puri membongkar intinya, "Mengakulah, Nona Ikan Guppy!"
Bersambung ... 👑