— Lanna Xevellyn, gadis berusia 17 tahun itu harus mengalami kecelakaan maut yang membuat nyawanya melayang ketika menolong seorang anak kecil di jalanan.
Tetapi apakah memang Lanna benar-benar sudah tewas atau ternyata gadis itu masih hidup? Atau bagaimana tentang dirinya yang ternyata menjalani kehidupan keduanya untuk menggantikan peran orang lain yang sudah mati?
Ya, itulah yang di rasakan oleh Lanna. Gadis itu terbangun di dalam tubuh milik orang lain di semesta lain. Di mulai dari tubuh barunya itu, Lanna menjalani babak baru kehidupan keduanya dengan alur kehidupan berbeda yang tidak pernah terpikirkan sekalipun olehnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NAYTHAN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 02 :
Lanna mempercepat langkahnya menuju ke sebuah toko roti tempatnya bekerja. Toko roti itu buka jam 9.30 pagi sedangkan dirinya harus berangkat sekitar jam 07.00 pagi agar tidak terlambat sekaligus membereskan tempat itu terlebih dahulu serta menyiapkan segalanya sebelum benar-benar siap membuka toko, menjual berbagai jenis roti. Lanna berdiam diri di salah satu halte bus yang sudah di padati oleh orang-orang yang juga sedang menunggu sama sepertinya dan butuh waktu setengah jam untuk bisa sampai ke sana. Tidak lama kemudian bus yang di tunggunya datang. Lanna sudah duduk di kursi penumpang yang di pilihnya tetapi karena melihat seorang nenek tua berdiri memakai tongkat alhasil Lanna mengalah dengan memberikan kursinya untuk sang nenek.
Seperti biasa, Lanna dengan earphone kabelnya yang tidak dapat di pisahkan menemaninya selama perjalanan sekaligus untuk mengawali aktivitasnya pagi ini dan berharap semoga hari ini pun juga keberuntungan menghampirinya. Semoga.
Hari pun berlalu dan malam juga sudah tiba. Toko roti itu tutup jam 21.30 malam. Sebelum pulang Lanna berpamitan terlebih dahulu kepada sang pemilik toko. Sedikit informasi, sang pemilik toko roti menjadikan rukonya sebagai tempat tinggal juga, beliau tinggal di lantai atasnya. Seperti biasa, Lanna menunggu kedatangan bus selanjutnya di halte yang lumayan sepi. Mungkin hanya beberapa orang saja termasuk dirinya. Lagi, Lanna tidak lupa menautkan earphone kabel pada telinga dan sesaat kemudian bus pun datang.
Baru saja Lanna mendaratkan bokongnya di kursi penumpang paling belakang namun ternyata langsung di suguhkan pemandangan sejoli tiba-tiba saja berciuman tepat di sebelahnya. Lanna tidak iri, hanya saja agak terkejut. Sepertinya mereka seumuran dengan Lanna.
Sesampainya, Lanna membuka gerbang besi rumahnya yang tidak terkunci. Berukuran pendek hanya setengah badan nya saja dan ketika kau masuk langsung di sambut rumput hijau juga taman kecil-kecilan dengan pot-pot berisi tanaman bunga juga satu pohon rindang. Semuanya itu di rawat dengan baik oleh Lanna, Seorang diri. Pemandangan rumah yang terlihat asri, sejuk nan nyaman namun tidak untuk bagian dalamnya. Untuk sekarang, bagi Lanna.
"Elena tidak ada di rumah sepertinya," kata Lanna menyalakan lampu ruangan tamu, kepalanya celingak-celinguk melihat area sekitar.
Suasana rumah yang begitu sepi tetapi itu hanya sebentar saja. Tidak lama pendengarannya menangkap suara-suara samar perempuan yang sedang—Lanna tidak tahu. Dia selalu berusaha membuat pikiran jernihnya itu agar tidak jadi kotor. Tapi suara itu terdengar melalui lantai atas dimana kamarnya berada dan juga Malia. Lanna lantas menengok ke arah rak sepatu di dekat sudut pintu, pantas saja. Dia baru sadar ada sepatu asing berukuran besar yang Lanna yakini itu bukanlah sepatu yang di pakai Malia. Mana mungkin, Malia memiliki kaki yang berukuran lebih kecil bahkan lebih kecil daripadanya.
"Siapa lagi yang dia bawa malam ini?" Gumam Lanna.
Lanna melangkahkan kakinya menuju anak tangga. Semakin dia melangkahkan kakinya semakin jelas suara yang sangat di kenalinya itu bergabung dengan suara seorang lelaki yang asing. Benar, Malia. Suara-suara yang membuatnya merasa malu sendiri sekaligus merinding ketika mendengarnya pada awalnya, tetapi pada akhirnya Lanna pun terbiasa. Kamar Lanna dan Malia letaknya berhadapan-hadapan, benar-benar persis. Lanna sudah sampai ke depan pintu kamarnya hendak menarik kenop pintu.
"Aah... A, ah... Mmphh... "
Itu dia. Suara-suara khas orang yang sedang bercinta terdengar begitu jelas. Lanna memutar bola matanya malas tidak peduli, dia tetap masuk ke dalam kamarnya yang sudah siap menyambut rasa lelahnya dan menutupnya, tidak lupa mengunci kamarnya juga. Malia itu, dia gemar sekali membawa lelaki asing ke rumah di kala Elena sedang tidak ada di rumah. Entahlah apa yang mereka lakukan di kamar tetapi bagi siapapun yang mendengarnya saja pasti sudah paham apa yang mereka lakukan. Adalah sebuah alasan kenapa Lanna memanggil Malia dengan panggilan jalang muda, seperti saat ini contohnya. Dan Elena sebagai ibu dari anak itu tidak pernah mengetahui kelakuan anaknya yang suka menjajakan kehormatannya sembarangan.
Bagaimana? Elena florine, ibu kandung anak itu saja begitu. Seringkali Elena pulang dalam keadaan mabuk di antar oleh pria-pria asing yang sering bergonta-ganti. Bahkan pernah pulang hanya menggunakan selimut saja tanpa sehelai pakaian yang melekat di tubuhnya. Lanna mempertanyakan kemana pakaian yang tadinya melekat itu? Tapi Lanna langsung cukup tahu saja. Seperti kata pepatah : Buah jatuh tidak jauh dari pohon nya. Seperti itulah mereka.
Lagi, kalau waktu memang bisa di putar ulang kembali Lanna lebih baik membiarkan ayahnya terus menduda. Dan kalau memang ayahnya pergi lebih dulu seperti sekarang? Lanna tidak masalah. Lebih baik dia seorang diri di rumah ini daripada harus hidup satu atap, satu napas, satu lingkungan dengan sampah-sampah itu.
"Lelahnya..." Lanna meregangkan otot-otot lehernya yang terasa pegal. Berjalan mendekati meja belajarnya, mendaratkan bokongnya di kursi belajar.
Lanna diam sejenak, tatapannya agak kosong. Bukan kosong karena kemasukan tetapi seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
"Tapi apa?" Lanna berpikir keras.
Sedetik kemudian Lanna memekik. Dia teringat dengan obatnya yang tertinggal di toko roti tadi saat akan pulang. Lanna berdecak kesal merutuki kecerobohannya. Melihat ke jam dinding, waktu sudah menunjukkan hampir jam 11 malam tetapi Lanna masih merasa memiliki waktu untuk mengambilnya ke sana. Tidak, Lanna tidak bisa tanpa obat itu. Dia terlalu payah untuk menahan rasa sakit di lehernya yang aneh itu.
Lanna menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Bahkan melewati Malia dengan lelaki asing yang entah siapa Lanna pun tidak mengenalnya. Sehabis dari kamar, mereka berdua melanjutkan permainannya di sofa ruang tamu.
"Siapa?" Tanya lelaki itu.
"Ah, Sudahlah. Ayo lanjut lagi sayang," jawab Malia.
Mereka lalu melanjutkan permainannya yang terhenti sejenak.
...----------------...
"Halo? Maaf mengganggu waktumu sebentar. Tapi aku lupa sesuatu, aku meninggalkan obat ku di sana," Lanna berlari menuju halte bus yang sudah kosong tidak ada siapapun di sana.
"Sudah ku duga. Mau ku antar? Aku akan ke tempatmu jika perlu," sahut sang pemilik toko.
"Tidak, tidak terimakasih. Aku sedang menuju ke sana," Lanna menutup panggilan teleponnya sepihak.
Gabruk!
"Aw!" Lanna memekik.
Dia meringis memegangi kedua lututnya yang di penuhi luka berdarah bahkan sampai melubangi celana jeans di area itu pula. Lagi, karena kecerobohannya menekankan pikirannya hanya pada obat, obat dan obat saja. Selalu melihat ke depan tanpa tahu apa yang berada di bawahnya itu. Ya, Lanna baru saja tersandung sebongkah batu berukuran sedang.
"Astaga! Sejak kapan batu itu di sana?" Lanna berusaha menyingkirkan batu yang berada di hadapannya itu menggunakan ujung sepatunya.
Belum selesai sampai di situ saja. Tiba-tiba rasa sakit di lehernya menyerangnya lagi tapi kali ini lebih hebat dari daripada sebelumnya membuatnya mengerang kesakitan. Di trotoar ini tidak ada orang selain dirinya sendiri tidak seperti biasanya. Hanya banyak kendaraan yang berlalu lalang dengan cepat. Mau berteriak meminta tolong pun rasanya sulit karena rasa sakit di lehernya mulai menjalar ke kepalanya.
Sa-sakit, batinnya.
"To-tolong aku!"
Di tengah-tengah kesakitannya itu Lanna dapat mendengar suara anak kecil berteriak meminta tolong sambil menangis. Mata Lanna melihat ke sekeliling dan dia mendapati di ujung jalan sana, sekitar 20 langkah kaki darinya seorang anak laki-laki sedang berdiri di tengah-tengah jalan raya, zebra cross yang di penuhi kendaraan berlalu lalang.
"Apa yang dia lakukan di sana?" Lanna terkejut.
Lanna mempertanyakan kemana ibunya dan kenapa ada anak kecil di tengah jalan raya yang ramai tanpa di pedulikan oleh siapapun itu? Lanna juga tidak mengerti kenapa lampu merah tidak kunjung menyala.
"Tolong aku! Tolong!" Teriak anak kecil itu lagi, ketakutan.
"Hei, tetap di sana! Kakak akan datang!" Teriak Lanna bermaksud membalas teriakan anak kecil itu.
Lanna bergerak. Bangkit berdiri dengan susah payah sembari merasakan kedua lututnya yang perih, leher serta kepalanya yang semakin hebat rasa sakitnya. Menutupi seluruh wajahnya, Setelah di rasa kuat untuk berdiri Lanna segera berlari menghampiri anak kecil itu berada. Kepala Lanna mendongak ke atas melihat lampu merah yang anehnya tidak kunjung menyala juga.
"Kakak, tolong aku! Aku takut!" Teriak anak kecil itu hendak berjalan ke arahnya.
"Jangan! Jangan bergerak! Kakak akan menjemputmu di sana!"
Tetapi anak kecil itu tidak mengindahkannya. Dari arah yang berlawanan, dari kejauhan Lanna melihat sebuah mobil sedan berwarna hitam melaju dengan kecepatan tinggi ke arah di mana anak kecil itu berdiri. Lanna berlari ke arah anak kecil itu tanpa mempedulikan mobil sedan hitam yang dalam hitungan menit sedikit lagi akan menabraknya. Menarik tangan anak itu dan mendorongnya ke bahu jalan. Anak kecil itu tersungkur ke aspal jalanan yang keras lalu menggelinding.
Anak kecil itu memang selamat dan Lanna merasa bersyukur dengan hal tersebut. Walaupun kemungkinan besar anak itu mengalami luka di bagian tertentu tubuhnya karena membentur aspal tetapi yang paling penting adalah anak itu masih hidup. Seperti saat ini, anak itu meraung-raung di bahu jalan, merangkak menatap Lanna dengan tangisannya yang keras. Lanna balas menatap anak itu lalu menggeleng pelan. Cairan kristal berwarna bening jatuh melalui ujung matanya. Bersamaan dengan itu, rasa sakit di lehernya pun semakin hebat, kepalanya juga sangat sakit. Sangat sakit.
Pertahanan tubuh Lanna melemah kemudian runtuh. Dia terjatuh duduk ke aspal memegangi kepalanya serta lehernya yang terasa sakit. Semuanya sudah terlambat. Lanna menoleh ke arah di mana cahaya mobil itu sudah lebih mendekat padanya. Memejamkan matanya, Lanna pasrah dan mengucapkan kata-kata terakhir di dalam hatinya.
Jika memang ini adalah akhir dari segalanya, akhir dari takdir hidupku yang menyakitkan, tidak mengapa. Setidaknya sebelum kematianku dan dengan cara seperti inilah aku di jemput, tidak mengapa. Setidaknya aku mengakhirinya setelah melakukan kebaikan dengan menolong manusia lainnya. Ayah, ibu... Akhirnya kita akan bersama lagi.
Dan—
Brak!
Wiu...wiu... Wiu...
Suara sirine ambulans terdengar memekikkan telinga di sepanjang jalan raya kota malam itu. Bersama polisi yang menjaga area tempat perkara kejadian agar tidak di masuki oleh sembarangan orang.
" Selamat pagi, pemirsa. Kembali bersama saya di berita pagi ini. Kami akan mengabarkan sebuah insiden kecelakaan lalu lintas yang terjadi di jalan raya utama kota tadi malam... "
"Sebuah mobil sedan berwarna hitam di kendarai dengan kecepatan tinggi menabrak seorang gadis remaja berusia 17 tahun... "
Lanna Xevellyn, gadis itu—tewas di tempat.
...****************...