~Dibuat berdasarkan cerpen horor "Anna Van de Groot by Nath_e~
Anastasia ditugaskan untuk mengevaluasi kinerja hotel di kota Yogyakarta. siapa sangka hotel baru yang rencana bakal soft launching tiga bulan lagi memiliki sejarah kelam di masa lalu. Anastasia yang memiliki indra keenam harus menghadapi teror demi teror yang merujuk ada hantu noni Belanda bernama Anna Van de Groot.
mampukah Anastasia mengatasi dendam Anna dan membuat hotel kembali nyaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nath_e, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mijn naam is Anna
Anastasia melangkah ke dalam lift dengan napas tertahan. Tangannya dengan ragu menekan tombol tiga. Pintu lift mulai tertutup, menyegel kesunyian yang menyesakkan. Suasana di dalam lift terasa dingin, seperti ada sesuatu yang mengintai dari sudut-sudut gelap.
Saat angka di panel berubah menjadi 3, Anastasia mendengar suara berbisik samar, “Jangan pergi ke sana…”
Suara itu tidak berasal dari dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Sebelum ia bisa bereaksi, pintu lift kembali terbuka. Adam berdiri di sana, wajahnya pucat dan terlihat gelisah.
“Jangan bertindak nekat sendirian, An!” katanya, suara Adam terdengar seperti peringatan.
“Kamu kenapa nyusulin aku?” Anastasia mengernyit, berusaha menutupi rasa terkejut.
Adam menatapnya dengan ekspresi ketakutan. “Aku? Sebagai calon suamimu, kamu pikir aku bakal biarin kamu kesana sendirian? Lantai tiga, An ... Kamu gila?!”
Anastasia menelan ludah, tetapi ia tetap melangkah keluar dari lift. “Yes Adam, aku memang gila tapi demi hotel ini dan demi memastikan yang terjadi, aku Aku harus melakukannya.”
Anastasia tetap melangkah pergi meski Adam mencoba menghalanginya. Mendadak lampu di koridor lantai tiga berkedip-kedip. Udara di sekeliling mereka berubah dingin membekukan, seperti ada sesuatu yang menyaksikan mereka dari kegelapan.
Bisikan lirih memenuhi udara, “‘Waar is mijn geliefde ..,” (dimana kekasihku?)
Anastasia terhenti di tempat, pandangannya terpaku pada bayangan samar seorang gadis bergaun putih yang berdiri di ujung lorong—senyum miring di wajahnya tidak menunjukkan apa-apa selain kehampaan yang mengerikan.
Adam kembali menghentikan langkah Anastasia tepat di depan lift. Tangannya terulur, mencoba menahan bahu gadis itu. Wajah Adam terlihat tegang, seperti tahu sesuatu yang tidak ingin diungkapkan.
“Anastasia, jangan lanjutkan. Tolong dengarkan aku kali ini,” pintanya dengan nada setengah berbisik, seakan takut ada yang mendengar.
Anastasia mendengus pelan, melepaskan tangan Adam dari bahunya. Tatapannya tajam. “Aku harus memastikan sendiri, Adam. Lima gadis itu tidak mungkin berhalusinasi bersamaan. Kalau benar ada yang salah di kamar itu, aku harus tahu!”
Adam menggigit bibir, ragu untuk berkata lebih. “Ini bukan soal keberanianmu. Ini tentang apa yang kau hadapi di sini, Anastasia. Yang kamu hadapi itu sosok gaib!”
“Tetap di sini kalau kamu takut,” jawab Anastasia dingin. Ia melangkah maju, menyusuri koridor lantai tiga yang terasa begitu mencekam. Udara dingin menusuk tulang, lampu redup berkedip seperti akan padam kapan saja. Sementara sosok wanita Belanda itu telah menghilang entah kemana.
Langkah Anastasia terhenti saat sebuah suara berat memanggil dari ujung koridor.
“Sedang apa kamu disini?”
Anastasia dan Adam menoleh bersamaan. Pak Broto, susah berdiri disana dengan seorang lelaki berpakaian Jawa—berkain batik, blangkon menghiasi kepalanya. Sosok itu memegang tongkat kecil yang terlihat lebih seperti pusaka daripada alat bantu.
“Pak Broto?” Anastasia mengernyit. “Bapak ngapain disini?”
Pak Broto tersenyum tipis, namun matanya menunjukkan kewaspadaan. “Kamu perlu bantuan Ana, dan aku sudah bawakan dia.”
Adam menyahut cepat, “Kalau begitu kita pergi saja! Tidak perlu mencari masalah. Kan sudah ada pak Broto dan … asistennya,”
Pria berpakaian Jawa itu menggeleng pelan. “Belum tentu mereka mencari masalah, Nak. Kadang masalah yang datang mencari mereka.” Suaranya berat, penuh makna.
Pak Broto melanjutkan, “Anastasia, kalau kau ingin tetap memeriksa, biar kami menemanimu.”
Melihat itu Adam hanya menghela nafas menahan kesal, ia tak lagi bisa berbuat apa-apa. Anastasia tetap dengan pendiriannya dan terus melangkah meskipun jantungnya berdebar lebih kencang. Ia menuju kamar 307, diikuti oleh Pak Broto dan pria berpakaian Jawa itu. Sesuatu menunggu di balik pintu-pintu kamar itu, dan ia yakin malam ini tidak akan berakhir dengan damai.
Anastasia berjalan perlahan menyusuri koridor lantai tiga. Suasana semakin mencekam. Udara terasa semakin dingin, dan ada aroma anyir samar yang membuat bulu kuduknya meremang. Di belakangnya, Pak Broto dan lelaki Jawa berpakaian adat itu mengikuti. Lelaki bernama Ki Slamet itu membawa sebuah dupa yang terus menyala, asapnya melingkar perlahan ke udara.
Ki Slamet melangkah pelan, gerakan tangannya membawa dupa itu dalam pola tertentu, seperti melukis simbol-simbol tak terlihat di udara. Mulutnya terus berkomat-kamit, berbisik dalam nada yang terdengar seperti mantra Jawa kuno.
Anastasia menoleh ke arahnya dengan tatapan penasaran. “Apa yang sedang dia lakukan, pak?” tanyanya pelan pada pak Broto.
Ki Slamet hanya menoleh sekilas, senyumnya tipis, namun matanya tetap fokus. “Mantra pengusir hantu, Nduk. Biar dia tahu batasnya.”
Anastasia ingin bertanya lebih jauh, tetapi suara berdehem Pak Broto memotong. “Nduk, fokus ke kamar 310. Kita harus pastikan tidak ada yang aneh di sana. Biar aku dan Slamet urus kamar di seberang.”
Anastasia mengangguk meski rasa takut menguasainya. Ia berdiri di depan pintu kamar 310, tangannya gemetar saat memegang gagang pintu. Pak Broto dan Slamet berbelok menuju kamar 307 di seberang.
Pak Broto menoleh sebentar sebelum masuk, suaranya rendah namun tegas. “Hati-hati, Nduk. Kalau ada apa-apa, panggil kami.”
Slamet mengayunkan dupanya sekali lagi, asap tebal menyebar memenuhi lorong. Saat mereka membuka pintu kamar 307, suara engsel pintu yang berderit terasa seperti jeritan dalam keheningan.
Anastasia menarik napas panjang, menatap pintu 310 yang kini terasa seperti gerbang ke dunia lain. Ia tahu tak ada jalan mundur. Dengan berbekal keberanian yang tersisa, ia memutar gagang pintu dan melangkah masuk.
Seketika, hawa dingin menusuk tulang. Ruangan itu terasa seperti berhenti di waktu tertentu, penuh dengan aroma mawar busuk yang membuat perutnya mual. Dan di tengah keheningan, sebuah suara lirih terdengar.
“Kenapa kau datang ... ke sini?”
Anastasia tercekat, ia memutar tubuhnya menghadap Adam yang berdiri tepat di belakang. “Dam, aku butuh ruang. So lebih baik kamu tunggu diluar aja ya?”
Setengah memaksa, Anastasia mendorong Adam untuk keluar kamar. Ia tak peduli dengan protes Adam yang terus berargumen dan memaksa menemani.
“Please, Dam! Kasih aku waktu, oke?!” Ucapnya sebelum menutup pintu kamar.
Adam tak berkutik, pintu terkunci dari dalam dan Anastasia tidak merespon sama sekali. Anastasia menarik nafas dalam-dalam, berusaha menyalakan lampu kamar tapi saklar seolah mati.
“Baiklah, aku disini! Apa yang terjadi sebenarnya?”
Kamar berubah hening, sunyi, tak ada jawaban. “Halo, aku sudah disini jadi ceritakan masalah kalian? Kenapa kalian menakuti para gadis itu!”
Anastasia tak sabar menunggu hingga akhirnya sesuatu menimpa kaki Anastasia. “Apa ini?”
Dengan bantuan senter dari ponselnya, Anastasia melihat dengan jelas apa yang tergeletak tak jauh darinya. Ia terperanjat.
“Boneka?”
Saat ia menyentuh boneka itu, pecahan memori masa lalu pun terbentuk. Menarik Anastasia masuk ke dalam rekaman yang tak mungkin bisa terulang lagi. Anastasia tak bisa menolak, ia kembali ke masa lalu.
Canda tawa para gadis, ejekan pada boneka yang serupa, tangis seseorang yang terjebak dalam kamar, darah, teriakan hingga tangisan. Semuanya silih berganti dengan cepat layaknya rol film yang tak pernah putus. Hingga akhirnya berhenti pada satu titik hitam.
“Anna … Mijn naam is Anna ..,”
Anastasia tercekat, “Anna?”
Keduanya saling menatap dalam cermin. Anastasia melihatnya dengan jelas. Sosok wanita Belanda yang sama dengan kecantikan paripurna.
“Bloody Anna … bloody Anna … bloody Anna … bukan salah ik, en wij datang memenuhi undangan …,”
Sosok Anna dalam cermin perlahan berubah. Darah segar keluar dari sela mata dan hidung. Senyum yang semula manis semakin melebar seolah merobek wajahnya dengan lebar. Serak tulang patah terdengar, leher Anna bergeser ekstrim memperlihatkan luka terbuka yang mengerikan. Anastasia terjebak kengerian yang luar biasa. Ia mundur perlahan dengan kaki gemetar tapi langkahnya terhenti.
Sesuatu menghentikan kakinya. Sentuhan tangan kecil menyentuh betisnya. Anastasia terkejut, ia menoleh perlahan ke bawah dan menemukan boneka yang menjadi olokan para gadis berdiri menatapnya.
“Ayo bermain denganku …,”
Bersambung …,