Menunggu adalah cinta yang paling tulus, tapi apakah yang ditunggu juga mencintai dengan tulus? Sudah tiga tahun lamanya Anaya Feroza Mardani menunggu sang kekasih pulang dari Indonesia. Kabar kematian sang kekasih tak akan membuat Naya begitu saja percaya sebelum dirinya bertemu dengan jasad sang kekasih.
Penantian tiga tahun itu, membuat kedua orang tua Naya harus menjodohkan Naya dengan seorang Dokter tampan bernama Naufal Putra Abikara anak dari Abikara Grup, yang tak lain adalah musuhnya saat SMA dulu.
Apakah kekasih yang Naya tunggu akan datang? Dan apakah dia masih hidup atau sudah meninggal? Bagaimanakah hubungan Naya dengan Naufal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aniec.NM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 28 Manjanya
Dengan wajah sumringah Naya memasukan semua barang belanjaannya di jok belakang mobil. Bukan hanya senang sana karena belanja banyak, Naya juga senang bisa berjumpa dengan Airin.
🥀
Naufal menaruh semua belanjaan di atas meja makan, membantu Naya untuk menyusun sayuran ke tempat biasanya, dari mulai sayuran hingga perbumbuan. Setelah kepergian Oma Naya menghandle semua menu makan setiap hari, walaupun bibi yang masak tetapi Naya juga yang memilih lauknya dan yang berbenja. Sesekali dia juga membantu memasak, dan mengurus rumah karena pembantu di rumah ini pulang pergi tidak tinggal di rumah ini.
“Mas Naufal, besok kamu mau makan apa?” tanya Naya, dia sudah siap dengan buku dan pulpen di atas meja.
“Hmmm, apa aja deh samain aja sama kamu,” jawab Naufal, jawabannya yang 1000 kali dia jawab.
Naya membulatkan matanya malas, suaminya pasti akan menjawab itu, dia seperti susah mengambil keputusan. Naya pun mulai mencatat tumis kangkung dan telur balado.
“Kamu apa tanya Vero?” tanya Naufal.
“Nggak usah, besok dia makan sop ayam dia masih sakit belum sembuh,” jawab Naya.
“Nay, nggak usah tanya papa mau makan apa ya,” ucap Naufal.
“Loh, kenapa gitu?” tanya Naya, biasanya dia akan menanyakan Abikara ingin makan apa.
“Besok papa ada kerjaan di Korea Selatan selama satu bulan,” jawab Naufal, dia sudah tau papanya sungguh super sibuk.
Naya mengangguk paham, papa mertua nya itu memang tidak ada waktu bersama keluarga. Semenjak kematian Oma dia lebih sering ke luar mengerjakan pekerjaannya, pulang pun hanya dua kali setelah itu pergi lagi.
“Udah ya, kita tidur yuk!” ajak Naufal melangkah lebih dulu ke kamar.
Bukannya Naya ikut pergi kemar dia malah berdiam diri dengan wajah cemberut. Naufal yang menyadari itu peka akan hal itu, segera menghampiri Naya lalu Naufal memegang jari Naya, menautkan dengan kedua tangannya.
“Manja banget sih mau di gandeng,” ledek Naufal gemas.
Ekspresi Naya berubah menjadi ceria kembali, kemudian mereka menaiki tangga bersama sama.
**
Silaunya cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela jendela kamar Naya dan Naufal, sukses membangunkan wanita itu. Naya berusaha bangkit dari tempat tidur, dengan mata yang masih terpejam.
Naya mengucek-ngucek matanya, menetralisir matanya melihat Naufal yang masih tertidur nyenyak di sampingnya. Naya beranjak ke kamar mandi untuk bersiap, hari ini ia akan mengunjungi Butiknya.
"Ganteng banget sih suami aku, kenapa aku baru menyadari sekarang sih kalau selama ini kamu ganteng," ucap Naya, memiringkan posisinya sambil menatap Naufal yang masih tertidur pulas.
"Ya kamunya kenapa baru nyadar kalau aku ganteng," sahut Naufal, tiba-tiba terbangun.
Naya membulatkan matanya, langsung ke posisi duduk. "Berarti kamu udah bangun ya?" tanya Naya.
"Iya."
Naufal mendekatkan wajahnya pada Naya, Naya melihat pandangannya di sekitar kamar, kelemahannya adalah tatapan mata Naufal, detak jantungnya tak karuan. Saat Naufal ingin mendekatkan tubuhnya lagi, dengan sigap Naya langsung mendorong tubuh lelaki itu dan langsung beranjak lari keluar. Naufal tersenyum gemas melihat tingkah istrinya yang menahan salting itu.
Naya menuruni anak tangga, senyum Bibi menyapanya. Naya membantu Bibi untuk masak, terlihat jam masih menunjukkan pukul 06.00 pagi semua penghuni rumah masih sibuk di kamarnya, buktinya Naufal masih sibuk dengan mimpinya.
“Masya Allah Non Naya wajahnya seger banget, berseri-seri gitu,” puji Bibi.
“Masa sih Bi, perasaan aku belum make up lo baru mandi aja,” ujar Naya.
“Bibi tau nggak papa Abi berangkatnya jam berapa?” tanya Naya.
“Tadi saya kesini jam lima pagi, terus saya liat sih tuan Abi sudah berangkat, tapi …” ucapan Bibi di jeda sebentar.
“Tapi kenapa, Bi?” tanya Naya penasaran.
Bibi menengok kanan kiri sebelum dirinya berbicara memastikan hanya ada mereka berdua disana. Bibi mendekatkan dirinya ke Naya.
“Tua besar berangkat di jemput cewek, Non,” jawab Bibi dengan berbisik.
“Cewek?” Naya mengerutkan keningnya heran.
“Bibi tau ceweknya siapa?” tanya Naya lagi.
“Nggak tau Non, Bibi juga baru tau, tapi Bibi liat kayaknya mereka mesra banget gitu sampai tuan besarnya di peluk,” terang Bibi.
“Mungkin itu rekan kerjanya papa kali Bi.” Naya berusaha positif thinking, walaupun dalam pikiran dia juga penasaran.
Obrolan mereka berhenti saat Vero turun dari anak tangga dengan seragam sekolah yang dia kenakan, pandangan mereka teralihkan oleh Vero dengan santainya duduk di meja makan dengan roti yang dimakan sebagai penyanggah perut.
“Vero, kamu kok sekolah sih, kamu tuh belum sembuh total,” protes Naya.
“Aku udah sembuh kok, tenang aja,” jawab Vero.
“Lihat wajah kamu masih pucat gitu,” gerutu Naya, dia benar-benar merasa cemas.
Vero tersenyum berusaha menyakinkan kakak iparnya itu. “ Kak, aku nggak papa kok, lagian aku sekolah buat belajar kok nggak mampir atau main. Aku janji deh, aku langsung pulang terus istirahat.” Vero menjulurkan kelingkingnya.
“Oke deh, awas aja ya kalau nggak istirahat,” tekan Naya.
Bibi meletakan makan sarapan pagi ini di meja makan, ada tiga jenis makan di maja yang sangat menonjol sekali adalah sop ayam, apalagi sop ayam d itu diletakan di depan Vero.
“Hari ini kamu sarapannya sop ayam ya, kamu kan belum sembuh total,” ujar Naya mengambilkan sepiring nasi untuk Vero.
Vero merasakan kasih sayang mama dan omanya, walaupun itu di diri Naya kakak iparnya, tetapi perhatiannya itu yang membuat Vero sedih dan teringat mereka berdua.
“Segini cukup nggak, Ver?”
“Cukup kok, Kak. Makasih ya.”
Pandangan Naya berpusat pada Naufal yang baru sja bangun, menuruni anak tangga dengan kaos oblong yang masih di kenanakannya, terbukti dia belum mandi.
“Kamu kenapa nggak bangunin aku sih sayang,” protes Naufal.
“Sorry habisnya kamu tidurnya nyenyak banget, aku nggak tega banguninnya,” jawab Naya.
“Nggak bisa gitu dong sayang, kita kan tidur sama-sama berarti kalau turun pun harus sama-sama juga,” timpal Naufal.
Vero begitu kesal pagi-pagi mendengar bucin kakaknya, entahlah kulkas 1000 pintu kakaknya itu sudah mencair kini menjadi manja setelah menikah.
“Bisa nggak sih bucinnya nya jangan di depan saya, nggak apa ada orang lagi makan,” tungkas Vero.
“Iri bilang bos,” ledek Naufal.
“Siapa juga yang iri, sorry ye,” timpal Vero.
“Udah-udah jangan ribut, mending kita sarapan sekarang aja. Bi, ayok makan!” ajak Naya.
“Nggak usah Non, saya nanti aja makannya,” tolak Bibi tidak enak.
“Ihh, nggak papa Bi, barang aja,” paksa Naya menarik tangan Bibi untuk duduk di sebelahnya.
“Baik deh Non.”
**
Tatapan Naya berpusat pada laptop di depannya, pikirannya sedang kacau pengecekan keuangan Butik menjadi menurun. Naya tidak menduga selama dia libur keuangan Butiknya akan menurun, Naya harus memutar ide agar banyak pelanggan mengunjungi Butiknya. Naya memijat pelipisnya ia pusing. Dari pagi hingga siang, ia tidak enak badan, kepalanya selalu pusing padahal dia sudah minum obat dan minum air putih banyak tetapi tetap saja masih pusing.
Naya melihat di sekeliling ruang kerjanya terlihat begitu samar-samar, semakin gelap pandannya. Naya memegang kepalanya pusing, hingga dirinya tidak kuat menahan, barang-barang diatas meja berjatuhan dan Naya pun tergeletak pingsan di lantai. Karyawannya yang kebetulan ingin masuk ke ruangan Naya, segera menghampiri Naya yang tergeletak pingsan itu langsung bergegas mencari pertolongan dan membawa Naya ke klinik terdekat.