NovelToon NovelToon
Ark Of Destiny

Ark Of Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Mengubah Takdir / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Antromorphis

"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."


Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.


"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"

More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Syal

Rebecca terdiam, hatinya bergetar saat melihat Elizabeth di sana. "Jangan bilang kalau Kak Hamzah ingin keluar bersama Elizabeth," gumamnya pelan, seolah berharap kata-katanya bisa mengubah kenyataan. Suara hatinya berbisik, menambah beban di dadanya. “Ku pikir Kak Hamzah ingin keluar sendiri. Kalau tahu begini, lebih baik aku tidak usah ikut,” lanjutnya, suara penuh penyesalan. Ia merasakan ketidaknyamanan yang menyelimuti dirinya, seperti kabut tebal yang menutupi jalan yang seharusnya terang.

Di sisi lain, Hamzah memecah keheningan. “Rebecca, kenapa lama sekali ya?” tanyanya dengan nada yang penuh perhatian, namun Rebecca merasa seolah pertanyaan itu hanya menambah rasa cemas di dalam dirinya. “Tunggu di sini dulu ya, Elizabeth. Biar aku ke atas dulu untuk memanggil Rebecca,” ucap Hamzah, mencoba menjaga suasana tetap tenang.

“Tidak usah Zah, kita tunggu lima menit lagi. Kalau dia dalam lima menit ini tidak segera datang, kita tinggal dia,” timpal Elizabeth dengan nada tegas. Ada ketidakpuasan yang tersirat dalam suaranya.

“Ya jangan gitu dong, kasihan dia. Nanti kalau kita pergi terus dia datang bagaimana?” Hamzah berusaha membela Rebecca, meski hatinya juga merasakan keraguan.

Rebecca yang mengintip dari balik tembok merasakan sakit yang tajam melihat kedekatan mereka. "Kenapa? Kenapa aku merasa sakit hati melihat mereka berdua? Ada apa dengan ku? Apakah aku jatuh cinta dengan Kak Hamzah? Tapi bagaimana mungkin? Kita baru bertemu sekali," gumamnya dalam hati, air matanya mulai meleleh tanpa bisa ditahan.

“Mmm, kalau begitu aku akan menelfon nya,” ucap Elizabeth tiba-tiba.

“Ide bagus itu,” sahut Hamzah dengan semangat.

Elizabeth membuka ponselnya dan mencari kontak Rebecca. “Aku telpon ya,” ucapnya sambil tersenyum, seolah tidak menyadari betapa Rebecca sedang berjuang melawan perasaannya sendiri.

Rebecca terlihat melamun. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering keras. Rebecca terkejut dan berusaha mengacak-acak tasnya untuk mencari ponsel tersebut. Hamzah yang mendengar suara itu menoleh ke arah belakang. Dalam sekejap, Rebecca melangkah mundur dengan cepat agar tidak ketahuan.

Hamzah berdiri dan berjalan menghampiri tempat suara itu berasal. Rebecca panik, berusaha menemukan ponselnya sebelum Hamzah melihatnya. Saat akhirnya ponselnya ditemukan, ia mendapati Hamzah sudah berdiri di depannya.

“Rebecca?” panggil Hamzah dengan nada penuh perhatian.

Kaget mendengar namanya dipanggil, ponsel Rebecca terjatuh dari tangannya. “Praakk,” suara dari ponsel itu menggema di antara mereka.

Hamzah segera mengambil ponsel tersebut yang terjatuh di antara kakinya. “Maaf ya, gara-gara aku mengagetkanmu, ponselmu terjatuh,” ucap Hamzah dengan rasa bersalah yang jelas terlihat di wajahnya.

Rebecca hanya diam seribu bahasa, hatinya berdebar kencang. Hamzah memeriksa ponsel itu dan berkata lega, “Alhamdulillah tidak rusak, bahkan tidak lecet sedikitpun. Ini pasti karena hardcase-nya.”

Ia mengulurkan ponsel itu kepada Rebecca dengan senyuman tulus. “Ini ponsel kamu, sekali lagi aku minta maaf ya,” lanjutnya.

Rebecca hanya mengangguk pelan. “Kak Hamzah tidak salah, aku saja yang kurang benar memegangnya.”

“Kamu sudah siap? Kalau iya, ayo kita berangkat sekarang,” ajak Hamzah dengan semangat yang tak tertahan.

Rebecca bingung antara ingin pergi atau tetap tinggal. “Mmm…” suaranya hilang dalam keraguan. Hamzah tampak tidak curiga sedikit pun bahwa Rebecca telah menguping percakapan mereka sebelumnya. “Bagaimana? Jadi ikut? Kalau iya, ayo kita berangkat sekarang,” tanyanya lagi dengan antusiasme yang membuat jantung Rebecca berdegup lebih cepat.

Elizabeth yang penasaran menghampiri mereka dan berkata sambil tersenyum sinis, “Mmm… aku–” kalimatnya terputus saat melihat Rebecca berdiri di belakang Hamzah. “Ternyata kamu,” ucap Elizabeth dengan nada mencemooh namun sekaligus penuh rasa ingin tahu. Dalam momen itu, ketegangan terasa begitu nyata di udara antara mereka bertiga—sebuah pertemuan yang akan mengubah segalanya bagi setiap orang yang terlibat dalam kisah ini.

...****************...

Malam itu, suasana di depan Flat House terasa canggung. Lampu-lampunya redup, dan bayangan siluet keluar-keluar dari pelangi lampu neon di luar jendela. Suara-suara remeh dari televisi yang masih menyala di pojok kamar tidur membuat suasana semakin aneh. Tiba-tiba, suara Elizabeth terdengar dari belakang, membuat Hamzah menoleh dengan cepat.

"Eh, Elizabeth," ujar Hamzah dengan nada yang agak ragu-ragu, seperti sedang mencari jawaban atas pertanyaan yang dialaminya. Elizabeth dan Rebecca saling menatap, dan Hamzah berdiri di tengah-tengah mereka. Suasana menjadi makin tegang, seperti air yang mendesis sebelum pecah. "Kok pada diam?" tanyanya polos, namun isyaratnya jelas—mengarahkan perhatian mereka ke situasi yang tidak biasa. "Ayo kita segera berangkat, keburu malam lho," lanjut Hamzah, suaranya berusaha santai tetapi terdengar sedikit panik.

"Duluan Kak," sahut Rebecca dengan nada yang dingin, seperti es yang membeku di udara hangat.

"Maksudnya?" tanya Hamzah bingung, mata kirinya berkedip-kedip saat dia mencoba memahami maksud Rebecca.

"Aku tidak jadi ikut," lanjut Rebecca, suaranya stabil tetapi isyaratnya jelas—dia tidak mau pergi bersama mereka. "Sudah kak, aku tidak jadi ikut. Aku baru ingat jika tadi Al ingin mengajak ku keluar juga," lanjut Rebecca mencari alasan yang rasional, tetapi hatinya ternyata tidak sepenuhnya puas dengan keputusannya.

"Serius kamu?" Sahut Hamzah, suaranya sedikit naik, menandakan betapa besarnya kecewanya.

"Iya," jawab Rebecca pendek, matanya menunduk ke lantai, seperti sedang menyesali keputusannya.

Dari belakang, Elizabeth hanya diam. "Bagaimana Elizabeth?" tanya Hamzah, suaranya berusaha menghibur, tetapi telihat sedikit kebingungan.

"Ya ayo kita berangkat sekarang Zah, Rebecca sudah bilang kalau ia tidak jadi ikut," jawab Elizabeth tegas, suaranya menandakan bahwa dia tidak peduli dengan reaksi Rebecca.

Hamzah terlihat berfikir, "Mmm." Dia mencoba mempertimbangkan opsi yang ada, tetapi akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa Rebecca.

"Ayo Zah, katanya nanti keburu malam. Ayo kita berangkat sekarang," lanjut Elizabeth, suaranya mantap, menandakan bahwa dia tidak akan mundur.

"Iya deh iya."

Hamzah lalu kembali menatap Rebecca. "Rebecca," ucap Hamzah, suaranya lembut, menandakan bahwa dia masih peduli dengan keputusan Rebecca.

Rebecca yang sebelumnya tertunduk, ia kemudian mengangkat kepalanya. "Iya kak?"

"Baiklah," lanjut Hamzah, suaranya lega, menandakan bahwa dia telah menerima keputusan Rebecca. Dan kemudian, Hamzah melanjutkan kembali ucapannya, "Aku minta maaf ya, mungkin lain waktu ya. Dan aku juga minta maaf soal ponsel mu tadi," sambung Hamzah, suaranya lembut, menandakan bahwa dia masih peduli dengan perasaan Rebecca.

"Iya kak, tidak apa-apa. Kak Hamzah tidak salah kok," jawab Rebecca, suaranya lega, menandakan bahwa dia telah menerima permohonan maaf Hamzah.

Hamzah tersenyum. “Kalau begitu, aku pergi dulu, daaa,” ucap Hamzah yang kemudian berjalan meninggalkan Rebecca. Tanpa mengucap sepatah kata pun, Elizabeth langsung berjalan mengikuti Hamzah, meninggalkan Rebecca yang masih berdiri sendirian di ruang tamu yang canggung itu.

...****************...

Hamzah dan Elizabeth melangkah beriringan di tengah malam yang tenang, suasana kota Oxford menyelimuti mereka dengan keindahan yang menakjubkan. Lampu-lampu berkelap-kelip menghiasi jalanan, memantulkan kilauan di mata mereka. Elizabeth merasakan desakan di hatinya untuk menggenggam tangan Hamzah, namun niat itu terhenti di ambang pikirannya. Hamzah, meski tampak tenang, menyimpan beban di dalam hati—perasaannya terhadap Ririn, yang selalu menghalangi langkahnya untuk lebih dekat dengan Elizabeth.

“Sebenarnya kita mau kemana, Elizabeth?” tanya Hamzah, membuka obrolan dengan nada santai, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan yang mengganggu.

“Aku ingin mengajakmu ke pusat kota, Zah, tapi sebelum itu, panggil saja aku Liz, aku sering dipanggil dengan sebutan itu, tapi yha kalau kamu tidak keberatan,” jawab Elizabeth dengan semangat, senyumnya merekah seolah menyebarkan cahaya dalam kegelapan malam.

“Eh, mmm, okay Liz.” Hamzah tertawa kecil. Hamzah kemudian menambahkan, “Wah, pasti seru yha nanti,” mencoba menyelipkan keceriaan meskipun hatinya masih berat.

“Pastinya dong Zah! Aku yakin kamu tidak akan menyesal keluar malam ini,” sahut Elizabeth dengan nada manis yang membuat jantung Hamzah bergetar. Dia bisa merasakan ketulusan dalam suara Elizabeth, namun dia juga tahu batasan yang harus dijaga.

Mereka melanjutkan langkah, menyusuri jalanan Oxford yang bersejarah. Setiap bangunan tua berdiri kokoh seolah menceritakan kisah-kisah masa lalu. Suara tawa dan obrolan dari pejalan kaki lain menambah kehangatan suasana malam itu. Hamzah terpesona oleh keindahan sekitar, hingga ia tidak sadar bahwa mereka telah tiba di pusat kota.

“Indah sekali ya Liz,” ucap Hamzah sambil memandangi lampu-lampu yang berkelap-kelip.

“Iya Zah, tentu saja! Kamu tidak akan menyesal deh keluar malam ini.” Elizabeth menatapnya dengan mata berbinar, seolah ingin berbagi semua keindahan yang ada di depan mereka.

Hamzah tersenyum lebar. Dalam hatinya, ada rasa syukur bisa bersama Elizabeth malam ini. Namun saat itu juga, Elizabeth menunjuk sebuah toko pakaian yang menarik perhatiannya. “Ayo kita kesana!”

Tanpa sadar, Elizabeth melangkah mendekat dan menarik tangan Hamzah. Namun begitu Hamzah merasakan sentuhan lembut itu, ia segera melepaskan tangannya seolah tersengat listrik.

“Eh maaf...” Elizabeth berkata pelan, wajahnya memerah karena rasa malu.

Suasana menjadi canggung sejenak. Hamzah merasa perlu untuk menghilangkan ketegangan itu. “Sudah tidak usah dipikirkan lagi, lebih baik kita segera kesana,” ucapnya sambil melirik toko dengan harapan bisa mengalihkan perhatian mereka.

Elizabeth mengangguk pelan. “Iya Zah...” Suaranya lembut, namun ada keraguan yang tersimpan dalam nada tersebut.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju toko itu dengan langkah yang lebih hati-hati. Dalam hati masing-masing, ada harapan dan ketakutan yang saling bertabrakan—harapan akan sebuah kedekatan yang lebih dalam dan ketakutan akan perasaan yang mungkin tidak terbalas. Malam ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang tidak pasti; sebuah petualangan di antara dua hati yang saling mencari tempatnya masing-masing.

Mereka melangkah menuju toko dengan langkah yang penuh harapan. Elizabeth, dengan aura percaya dirinya, memimpin jalan, sementara Hamzah, yang sedikit canggung, mengikuti dari belakang. Toko pakaian yang mereka tuju terlihat sangat mewah; dari luar, orang-orang berpenampilan anggun keluar masuk, seolah mereka adalah bagian dari dunia yang berbeda.

Hamzah merasa sedikit minder saat melihat suasana glamor di sekelilingnya. Namun, ia menepis perasaan itu jauh-jauh. “Aku hanya menemani Elizabeth,” pikirnya, berusaha menenangkan diri. Begitu mereka memasuki toko, mata Elizabeth langsung tertuju pada sebuah syal yang terpajang di bagian depan. Syal itu terbuat dari bahan berkualitas tinggi, dan jendela kaca transparan membuatnya tampak semakin menarik bagi siapa saja yang lewat.

“Lihatlah syal ini, Zah,” ucap Elizabeth sambil meraba lembut kain hitam polos tersebut. Jari-jarinya menelusuri jaitan yang rapi, seolah ia sedang menyelami keindahan dan keanggunannya.

Hamzah mendekat dan mengangguk pelan. “Coba kamu pegang Zah,” pinta Elizabeth dengan senyuman yang ceria. Ia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya terhadap kain itu.

Dengan perlahan, Hamzah memejamkan mata dan meraba syal tersebut. “Hhmm... iya Liz, kain ini benar-benar lembut. Ini terbuat dari kain terbaik. Pasti akan nyaman saat dikenakan,” ucapnya dengan nada yakin, seolah ia adalah seorang ahli tekstil.

Elizabeth tersenyum lebar. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya sambil menunggu pendapat Hamzah.

“Bagus Liz, aku suka dengan bahan dan warnanya,” jawab Hamzah tulus. “Kalau kamu ingin membeli sesuatu di sini, aku rekomendasikan syal ini.”

Keceriaan Elizabeth semakin terpancar saat ia mengambil syal tersebut dan berjalan menuju kasir. Hamzah mengikuti di belakangnya, merasakan kebahagiaan sederhana dari momen itu.

“Kamu jadi membelinya Liz?” tanya Hamzah saat mereka berdiri di depan kasir.

“Iya Zah, kamu suka ini kan?” balas Elizabeth dengan semangat.

“Iya Liz, kainnya bagus. Jadi, tepat kalau kamu ingin membelinya,” timpal Hamzah sambil mengamati proses pembayaran.

Setelah syal itu diterima oleh karyawan toko, mereka mencari tempat duduk di ruang tunggu. “Mmm, setelah ini kita mau ke mana Liz?” tanya Hamzah dengan rasa ingin tahu.

“Kita akan mencari... mmm–tidak tahu, hehehe,” jawab Elizabeth sambil tertawa kecil.

“Yasudah, yang penting jalan dulu,” sahut Hamzah penuh semangat.

Beberapa saat kemudian, pelayan datang menghampiri mereka dan memberitahu bahwa syal sudah siap untuk dibayar. Elizabeth mengangguk paham dan segera berdiri untuk menuju kasir lagi, diikuti Hamzah yang merasa senang bisa menemani teman baru nya.

Di depan meja kasir, terlihat sebuah kotak hitam dengan tulisan latin berwarna emas di atasnya. “Totalnya berapa?” tanya Elizabeth dengan nada antusias.

“Totalnya £136 poundsterling,” jawab petugas kasir dengan nada datar.

Hamzah terkejut mendengar harga tersebut. “Harganya £136 poundsterling? Untuk sebuah syal? Jika di rupiahkan itu menjadi tiga juta lebih! Hanya untuk sebuah syal?” gumam Hamzah kaget, matanya melebar seolah tak percaya dengan angka tersebut.

Elizabeth hanya mengangguk sambil mengeluarkan sebuah black card dari dompetnya. Setelah pembayaran selesai dan barang sudah berada di tangannya, mereka melangkah keluar dari toko dengan perasaan campur aduk—antara terpesona oleh kemewahan yang baru saja mereka alami dan rasa bahagia karena bisa berbagi momen tersebut bersama-sama.

Di luar toko, udara segar menyambut mereka. “Apa selanjutnya?” tanya Hamzah sambil melirik ke arah Elizabeth yang tampak bersemangat untuk menjelajahi lebih banyak hal baru dalam hari yang masih panjang ini.

Setelah berkeliling di pusat kota yang ramai, Elizabeth menghentikan langkahnya dan menunjuk sebuah bangku kayu yang terletak tidak jauh dari toko. "Kita duduk di situ dulu, Zah," ucapnya dengan nada ceria, matanya berbinar penuh semangat.

"Iya, Liz," jawab Hamzah, mengangguk sambil mengikuti langkah Elizabeth menuju bangku tersebut. Mereka berdua duduk, dan seketika itu juga, Elizabeth membuka syal yang baru saja ia beli.

Sementara Hamzah terpesona oleh keindahan suasana kota yang berwarna-warni, ia tidak menyadari bahwa Elizabeth sedang mempersiapkan sesuatu yang istimewa. Dengan gerakan lembut, Elizabeth mengalungkan syal itu di leher Hamzah. Tindakan mendadak itu membuat Hamzah terkejut, dan ia menatap Elizabeth dengan mata melebar. "Eh, ini kenapa, Liz?" tanyanya sambil memegang syal yang kini menghiasi lehernya.

Elizabeth tersenyum lebar, senyumnya menghangatkan suasana. "Cocok sekali," katanya dengan percaya diri.

"Maksudnya, Liz?" Hamzah masih bingung, mencoba memahami maksud di balik hadiah mendadak itu.

"Syal ini untukmu, Zah," lanjut Elizabeth dengan nada serius namun tetap ceria.

"Hah? Tidak, tidak, Liz. Jangan seperti itu. Aku tidak mau menerimanya," jawab Hamzah cepat, merasa tidak enak hati.

"Tapi kenapa Zah? Syal itu sangat cocok untukmu," sahut Elizabeth dengan sedikit nada memohon.

"Aku tidak bisa menerimanya, Liz," timpal Hamzah lagi sambil melepaskan syal dari lehernya dan meletakkannya di pangkuan.

Elizabeth menatap Hamzah dengan raut wajah sedih. "Alasan kamu menolak apa, Zah?" tanyanya lembut.

"Ya ini kamu yang membelinya dan juga harganya sangat mahal. Maka dari itu aku tidak bisa menerimanya, Liz," jawab Hamzah jujur, merasa berat untuk menerima sesuatu yang ia anggap terlalu berharga.

Elizabeth menghela napas pelan sebelum menjawab. "Hamzah... ini untukmu. Anggap saja ini sebagai tanda pertemanan kita. Untuk masalah harga, itu tidak penting. Pertemanan kita jauh lebih mahal," sahutnya dengan tulus.

Hamzah terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Elizabeth yang penuh makna. "Ya tapi kan—" ucapnya terputus saat melihat tekad di wajah Elizabeth.

"Sudah, terima ya Zah pemberian dariku. Jika kamu menolak ini, aku akan sangat sedih," paksanya dengan nada manja.

Akhirnya, setelah berjuang melawan rasa sungkan dalam dirinya, Hamzah mengangguk pelan. "Baiklah, aku terima syal ini Liz. Terima kasih banyak ya Liz. Aku sungguh minta maaf ya Liz, kita baru kenal dan aku sudah banyak merepotkanmu," ucap Hamzah tulus.

Elizabeth tersenyum bahagia mendengar kata-kata Hamzah. "Nah, gitu dong Zah! Kalau begitu kan aku senang jadinya," timpalnya ceria.

Hamzah pun tersenyum kembali dan mengenakan syal tersebut dengan hati-hati. Saat ia menyesuaikan syal di lehernya, pandangannya tertuju ke depan. Dalam keramaian kota yang dinamis itu, tiba-tiba ia melihat sosok yang familiar.

"Doni?" gumamnya pelan.

Namun sebelum ia bisa memastikan lebih jauh, Doni sudah hilang ditelan kerumunan orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan kota. Perasaan campur aduk menyelimuti Hamzah; antara rasa ingin tahu dan curiga yang tiba-tiba muncul kembali dalam benaknya.

...****************...

1
Hana Inumaki
anjayy plot twist banget. kirain mbah dul cuma mbah² biasa, eh malah sultan dianya zzzz
Hana Inumaki
sabar ya om robi. nanti mabar sm aku 🤣🤣
Hana Inumaki
keren sajaknya. mungkin klo dibuatin lagu bakalan lebih indah wkwk
Antromorphis: Makasih banyak yha
total 1 replies
Hana Inumaki
alurnya sangat bagus. tapi masih ada beberapa kata yang kurang sesuai dengan PUEBI. kalo ada waktu di revisi ya kk
Hana Inumaki: udah sih beberapa. btw maaf aku bukan editormu jir
Antromorphis: Engga di benerin sekalian? Btw makasih ya untuk koreksinya🤩
total 2 replies
Antromorphis
Hamzah gugup itu, salting brutal🤣
Hana Inumaki
bukannya segera masuk malah curi² pandang. gimana sii Hamzah?😭
Hana Inumaki
keren banget penyusunan katanya. penulis senior emang gaada obat 👏👏
xloveycious
Tata bahasanya bagus banget.. mantep kak
eterfall studio
keburu telatt
eterfall studio
menarik
Perla_Rose384
Aku tahu pasti thor punya banyak ide kreatif lagi!
Antromorphis: Hehehe, stay tune yha kk, masih banyak misteri di depan sana yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
yongobongo11:11
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
Antromorphis: Hehehe, terimakasih banyak kk, nantikan Bab selanjutnya yha, masih banyak misteri yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
Heulwen
Ngerti banget, bro!
Hana Inumaki: maaf mungkin cuman aku. tapi paragrafnya ada yang kepanjangan. jadi agak pusing mataku.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!