NovelToon NovelToon
Ark Of Destiny

Ark Of Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Mengubah Takdir / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:990
Nilai: 5
Nama Author: Antromorphis

"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."


Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.


"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"

More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kosong Empat

“Mau kemana Zah?” tanya Robi dengan nada penasaran, matanya berkilau penuh rasa ingin tahu. Suasana di ruangan itu terasa hangat, namun ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka.

“Sebentar, aku ada telepon, Rob,” jawab Zahra, sedikit terbata-bata. Ia meraih ponselnya, wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk antara cemas dan bersemangat.

Hamzah melirik ke arah sudut ruangan yang sepi. “Mmm, di situ sepi,” gumamnya seraya melangkah menuju sudut tersebut. Suara keramaian di latar belakang seolah memudar saat ia mengangkat telepon dari Ririn.

“Halo, assalamu’alaikum dik,” suara Hamzah lembut, berusaha menenangkan.

Namun, alih-alih mendengar suara ceria dari Ririn, ia terkejut mendengar isak tangis yang menyayat hati. “Dik, kamu kenapa dik?” tanyanya dengan nada khawatir.

Hamzah terdiam sejenak, hatinya bergetar mendengar kesedihan di ujung sana. “Dik, kamu kenapa menangis?” Ia bisa merasakan kepanikan mulai merayap dalam dirinya.

“Halo dik, kenapa kamu menangis? Cerita sama mas dik?” Hamzah berusaha mengajak Ririn berbicara, namun tidak ada jawaban yang datang. Hanya suara isakan yang semakin membuatnya gelisah.

“Di–,” ucap Hamzah terpotong oleh suara beep panggilan yang terputus. “Tuuut ...” Suara itu meninggalkan rasa hampa di hatinya. Ia menatap ponselnya dengan bingung. “Kenapa Ririn mengakhiri panggilan sebelum dia menjawab pertanyaanku?” gumam Hamzah dalam kebingungan.

Kembali ke tempat duduknya, Hamzah merenung. “Mengapa ia menangis? Kenapa tiba-tiba perasaanku tidak enak?” pikirnya dalam lamunan yang mendalam.

“Hamzah!” teriak Robi, memecah keheningan yang menyelimuti.

“Ehh–emm–iya, Rob? Ada apa Rob?” jawab Hamzah terbata-bata, terkejut dari lamunannya.

“Kamu kenapa melamun? Ada apa? Siapa yang telepon?” tanya Robi dengan nada penuh perhatian.

“Mmm–itu–mmm,” Hamzah mencari-cari alasan yang tepat untuk menjelaskan tanpa harus mengungkapkan kepanikannya.

“Itu apa?” timpal Robi semakin penasaran.

“Itu–mmm–ah sudahlah, lupakan Rob,” ucap Hamzah akhirnya, mencoba menepis rasa cemas yang menggelayuti hatinya.

“Ada apa Zah? Jangan membohongi aku ya, aku tahu pasti ada sesuatu,” desak Robi dengan nada serius.

“Rob, tidak ada apa-apa. Sudah, tenang saja.” Suara Hamzah terdengar lebih tegas meskipun hatinya bergejolak.

“Oke,” sahut Robi pendek, meski raut wajahnya masih menunjukkan keraguan.

Suasana hening sesaat hingga Daisy memecah kebisuan itu. “Eh, aku dapat pesan dari Bibi aku.”

Mereka bertiga seketika menatap Daisy dengan penuh harap. Hamzah yang terlihat begitu penasaran langsung bertanya, “Pesan apa Daisy? Apakah konfirmasi dari apartemen?”

“Sebentar,” ucap Daisy seraya membuka chat di ponselnya dengan cepat. “Bibi ku berkata, ‘Daisy, ini persiapan apartemen sudah siap. Dua kamar sudah bisa untuk digunakan.’” Wajah Daisy bersinar saat membacakan pesan tersebut.

“Alhamdulillah, terima kasih banyak ya,” sahut Hamzah dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Kebahagiaan itu seolah mengusir bayang-bayang gelisah yang menyelimutinya sebelumnya.

“Baiklah, kalau begitu pertemuan hari ini kita cukupkan dulu. Kita sambung lain waktu. Oh iya, sebelum kita pergi, bolehkah aku meminta nomor telepon kalian?” tanya Elizabeth tiba-tiba dengan nada ramah.

“Tentu saja,” sahut Robi semangat, merasa suasana mulai ceria kembali meskipun di dalam hati Hamzah masih tersimpan pertanyaan tentang Ririn dan tangisnya yang misterius. Robi menghela napas, merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka. Dengan nada santai, ia menyebutkan nomor teleponnya. “Ini nomor saya,” ujarnya sambil menatap Elizabeth yang tampak antusias mencatat.

Elizabeth, dengan cepat dan penuh semangat, mencatat angka-angka itu di ponselnya. Setelah selesai, ia melirik Hamzah yang berdiri di sampingnya. “Kamu juga, Zah,” ucapnya dengan senyum lebar.

Hamzah membalas dengan senyuman hangat. “Baiklah, ini nomorku,” katanya sambil menyebutkan nomor teleponnya. Elizabeth segera mencatatnya, wajahnya bersinar bahagia.

“Terima kasih ya,” ucap Elizabeth, suaranya penuh kegembiraan.

“Oke, sekarang kalian tunggu di sini,” lanjutnya, merasa seolah ia telah melakukan sesuatu yang istimewa.

“Kamu mau ke mana?” tanya Hamzah tiba-tiba, rasa ingin tahunya tak tertahan.

“Aku mau ke kasir dulu,” jawab Elizabeth sambil melangkah ke arah kasir.

“Aku ikut,” sahut Hamzah tanpa ragu.

“Untuk apa Zah?” timpal Elizabeth, sedikit terkejut dengan keputusan Hamzah.

“Untuk membayar pesananku,” jawab Hamzah dengan nada serius.

“Sudah, biar semua aku yang bayar,” tegas Elizabeth, suaranya menunjukkan ketegasan.

“Tidak bisa begitu dong, aku juga har—” Hamzah terpotong oleh Elizabeth yang memotong pembicaraannya.

“Ssstt, sudah, biar aku saja,” potong Elizabeth memaksa, matanya berbinar penuh tekad.

“Tidak apa-apa Zah, Elizabeth memang seperti itu,” sahut Daisy sambil tersenyum memahami sifat sahabatnya yang keras kepala.

“Kali ini saja ya,” lanjut Hamzah dengan nada mengalah, meski masih ada keraguan di wajahnya. Elizabeth tersenyum puas dan mulai berjalan menuju kasir.

“Daisy?” Hamzah memanggil Daisy yang masih berdiri di sampingnya.

“Iya?” jawab Daisy dengan lembut.

“Apakah letak apartemenmu jauh dari sini?” tanya Hamzah ingin tahu.

“Enggak kok. Mungkin sekitar lima ratus meter dari sini,” jawab Daisy sambil menunjuk ke arah jalanan di luar kafe.

“Baiklah,” kata Hamzah sambil mengangguk, merasa lega mendengar jawaban itu.

Tak lama kemudian, Elizabeth kembali menghampiri mereka. “Yuk, kita pergi sekarang,” ucapnya seraya meraih tasnya dengan penuh semangat. Keduanya mengikuti langkah Elizabeth keluar dari kafe, merasakan udara segar dan harapan baru yang menanti di depan mereka.

Mereka berlima melangkah keluar dari kafe yang hangat, aroma kopi dan kue masih tercium samar di udara. Elizabeth, Daisy, dan Elena berjalan di depan, dengan langkah penuh semangat, sementara Hamzah dan Robi mengikuti di belakang, menikmati suasana yang tenang. Jalanan Kota Oxford tampak bersih dan rapi, tanpa sehelai sampah pun yang mengganggu pandangan.

Kota ini bukanlah metropolis yang ramai seperti London; ia lebih mirip dengan sebuah lukisan indah yang terjaga keasliannya. Hamzah mengamati sekelilingnya, merasakan ketenangan yang sulit ditemukan di tempat lain. “Memang benar, kota ini seperti negeri dongeng,” gumamnya, suaranya hampir tenggelam dalam desiran angin sore. Setiap kali ia berpapasan dengan penduduk setempat, mereka selalu menyapa dengan ramah, seolah-olah mereka adalah bagian dari sebuah komunitas besar yang saling mengenal.

Elizabeth menoleh ke belakang, senyum manis menghiasi wajahnya. “Sebelum sampai di apartemen, apakah kalian ingin membeli sesuatu?” tanyanya dengan nada ceria.

Hamzah menggelengkan kepala. “Tidak ada, Elizabeth,” jawabnya singkat namun tegas.

“Kalau kamu, Rob?” Elizabeth melanjutkan pertanyaannya kepada Robi yang berjalan tenang di samping Hamzah.

“Saya juga tidak,” sahut Robi sambil menatap jalanan.

Elizabeth tersenyum lebar. “Baiklah kalau begitu, sebentar lagi kita akan sampai,” ujarnya dengan penuh harapan.

Setelah beberapa saat berjalan, mereka berhenti di depan sebuah rumah flat yang cukup besar. Bangunan itu terbuat dari batu bata yang tersusun rapi, mencerminkan ciri khas arsitektur Inggris. Berbeda dengan Indonesia yang sering kali dihiasi cat warna-warni, rumah flat ini terlihat sederhana namun elegan. Pagar kayu mengelilingi bangunan tersebut, ditambah tanaman hijau yang menjalar di atasnya memberi kesan asri. Di depan pintu masuk terdapat papan bertuliskan “NOA Residence” dengan angka dua ratus terpampang jelas di bawahnya. “Kita sudah sampai! Inilah apartemen kalian,” ucap Daisy dengan semangat menggebu-gebu.

“Yuk kita masuk sekarang,” lanjutnya sambil melangkah lebih cepat menuju pintu.

Daisy memimpin jalan, diikuti oleh teman-temannya. Halaman rumah flat ini tidak terlalu luas; mereka harus melewati jalan setapak sempit untuk mencapai pintu utama. Semakin dekat mereka mendekati bangunan tersebut, suara hiruk-pikuk para penghuni mulai terdengar jelas. NOA Residence adalah tempat tinggal yang padat penduduk, berbagai karakter dari berbagai wilayah terlihat berlalu-lalang keluar masuk rumah.

Hamzah merasakan atmosfer kehidupan yang dinamis dan beragam ini. Ia merasa seolah-olah baru saja memasuki babak baru dalam hidupnya—sebuah petualangan yang penuh harapan dan kemungkinan. Dengan langkah mantap, mereka melangkah ke dalam dunia baru yang menanti untuk dijelajahi.

Di saat Hamzah akan memasuki rumah, suasana di sekelilingnya terasa hangat. Langit senja memancarkan cahaya lembut, menciptakan nuansa yang damai. Namun, langkahnya terhenti ketika dua sosok menghampirinya. Dari wajah mereka, terlihat jelas bahwa mereka adalah orang Asia.

“Halo?” ucap salah satu dari mereka dengan nada ramah, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

“Halo,” jawab Hamzah, menyambut dengan senyuman tulus yang menghangatkan suasana. Ia merasa seolah-olah baru saja bertemu teman lama.

Dengan percaya diri, ia mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, nama saya Yulia,” katanya, suaranya lembut namun tegas.

Hamzah membalas jabatan tangan Yulia, merasakan kehangatan yang sama. “Perkenalkan, nama saya Hamzah,” timpalnya seraya melepas jabatan itu dengan rasa hormat.

“Dari mana asalmu kalau boleh tahu?” tanya Hamzah, ingin mengenal lebih dekat. “Kamu dari Indonesia?” lanjutnya, menambah rasa akrab di antara mereka.

“Iya, aku dan temanku Yunita dari Jawa Tengah,” jawab Yulia dengan bangga, seraya memperkenalkan Yunita yang tersenyum di sampingnya.

“Waah, kebetulan! Aku dan temanku Robi juga dari Jawa Tengah,” timpal Hamzah dengan semangat yang menggebu, memperkenalkan Robi yang berdiri di belakangnya.

“Baiklah kalau begitu,” Yulia menjawab sambil tersenyum lebar. “Semoga betah ya. Kita mau lanjut perjalanan dulu. Sampai bertemu kembali, Hamzah.”

“Iya terimakasih, hati-hati di jalan ya,” timpal Hamzah dengan tulus. Yulia tersenyum lagi sebelum bersama Yunita melanjutkan langkah mereka.

“Yuk Zah, kita juga lanjutkan urusan kita,” sahut Daisy dari depan, memecah keheningan yang menyenangkan itu.

Hamzah mengangguk. “Iya,” jawabnya singkat namun penuh makna. Mereka kembali berjalan, dan dalam sekejap mata, mereka telah sampai di ruang resepsionis. Ruangan tersebut tampak berantakan; barang-barang berserakan di sana-sini seolah mencerminkan kekacauan yang sedang terjadi.

Tiba-tiba seorang wanita menghampiri mereka berlima dengan senyuman hangat di wajahnya. “Halo Daisy.”

“Halo Bi,” jawab Daisy ceria.

“Elizabeth, Elena,” sambung Bibi Daisy dengan nada akrab.

“Iya Bi,” jawab Elizabeth dan Elena serentak, mengisi ruangan dengan keceriaan.

“Mmm, dan mereka ini?” lanjut Bibi sambil melirik ke arah Hamzah dan Robi dengan rasa ingin tahu yang tinggi.

“Oh iya, ini teman Daisy yang ingin menyewa kamar Bi,” jawab Daisy menjelaskan sambil menunjuk ke arah Hamzah dan Robi.

Hamzah merasa sedikit gugup namun tetap berusaha tampil percaya diri. Ia mendekat dan mengulurkan tangan kepada Bibi Daisy. “Nama saya Hamzah.” Suaranya mantap meski ada sedikit kegugupan di dalam hatinya.

Robi mengikuti langkah Hamzah dari belakang dan memperkenalkan diri dengan cara yang sama. “Nama saya Robi.”

Bibi tersenyum lebar saat menerima perkenalan mereka. “Nama saya Alice,” ucapnya ramah, menambah kehangatan dalam interaksi tersebut.

“Oh iya, sebelumnya Bibi minta maaf jika suasana ruangan ini kurang nyaman,” lanjut Bibi Alice dengan nada penuh pengertian.

“Iya Bi, tidak apa-apa bi,” jawab Daisy sambil melirik sekeliling ruangan yang berantakan itu.

“Tapi ngomong-ngomong, ini apa Bi?” sambung Daisy penasaran.

“Jadi tadi ada beberapa kamar yang ditinggal berbulan-bulan tanpa konfirmasi kepada Bibi. Akhirnya Bibi memutuskan untuk mengeluarkan seluruh barang-barangnya untuk dipindah ke gudang. Tapi berhubung kamar-kamarnya terletak di lantai paling atas, akhirnya ruangan ini Bibi pakai sebagai tempat transit sementara,” jelas Bibi Alice dengan nada menyesal namun tetap tenang.

“Oh iya, lebih baik kalian segera pergi menuju kamar untuk beristirahat. Kalian pasti lelah setelah perjalanan ini,” lanjut Bibi Alice ramah, menawarkan solusi bagi mereka yang tampak lelah setelah perjalanan panjang.

“Hehehe, iya Bi,” jawab Hamzah sambil tersenyum lebar, merasakan kehangatan dari sambutan tersebut dan berharap hari-harinya ke depan akan dipenuhi dengan momen-momen baru yang tak terlupakan.

Bibi Alice mengambil dua buah kunci dari laci meja resepsionis dengan gerakan yang anggun, seolah-olah setiap langkahnya sudah dipersiapkan dengan cermat. Kunci-kunci tersebut memiliki gantungan kayu yang halus, terukir dengan nomor yang tampak sederhana namun menyimpan makna penting. Hamzah dan Robi, yang menunggu dengan penuh harap, menerima kunci tersebut dengan tangan bergetar, seolah-olah mereka baru saja menerima tiket menuju petualangan baru.

“Nomor empat,” gumam Hamzah, matanya tertuju pada angka yang terukir di gantungan kunci. Suara lembutnya menggema dalam keheningan ruang resepsionis, menandakan rasa ingin tahunya yang mendalam.

“Oh iya, untuk kamar kalian, sesuai dengan nomor yang tertulis di gantungan ya,” ucap Bibi Alice sambil tersenyum, matanya berbinar penuh kehangatan. Senyumnya seolah memberikan jaminan bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja.

“Iya Bi, terimakasih banyak,” timpal Hamzah, suaranya sedikit bergetar karena kegembiraan. Ada rasa syukur yang mendalam dalam kata-katanya.

Bibi Alice mengangguk, senyumnya semakin lebar. “Sama-sama. Yasudah, Bibi lanjut dulu ya.” Dengan langkah ringan, dia melangkah pergi dari ruang resepsionis, meninggalkan aroma hangat dari kehadirannya.

Elizabeth, yang berdiri di samping Hamzah, memecah keheningan. “Zah, mending kamu segera beristirahat,” katanya dengan nada lembut, mencerminkan kepeduliannya.

“Iya Elizabeth,” sahut Hamzah cepat, tetapi ada keraguan dalam suaranya. Dia merasa canggung di hadapan Elizabeth, seolah-olah kata-kata itu tidak cukup untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam hatinya.

“Mau aku temenin?” tawar Elizabeth, matanya penuh harapan.

“Ehh–emmm–tidak usah, aku bisa sendiri kok. Lebih baik kamu segera pulang ke rumah kamu,” jawab Hamzah dengan sedikit ragu. Kata-katanya terucap cepat seperti peluru, mencerminkan ketidakpastian dan keinginan untuk tidak merepotkan.

“Baiklah kalau begitu. Kalau nanti ada apa-apa, kabarin aku ya,” lanjut Elizabeth dengan nada lembut namun tegas. Ada ketulusan dalam suaranya yang membuat Hamzah merasa lebih tenang.

“Iya, sebelumnya terimakasih banyak ya,” timpal Hamzah lagi, kali ini lebih tulus dan mantap.

Daisy yang berdiri di dekat mereka tidak bisa menahan diri untuk menggoda Elizabeth. “Eheemm,” suaranya penuh canda.

“Apaan sih? Sudah, aku mau pulang dulu,” sahut Elizabeth sambil menahan malu. Wajahnya memerah seolah-olah semua mata tertuju padanya.

“Hahaha,” tawa Daisy mengisi ruang resepsionis dengan keceriaan.

“Aku pulang dulu ya, daaaa...” ucap Elizabeth seraya melangkah pergi meninggalkan ruang resepsionis dengan langkah ringan namun penuh rasa ingin tahu tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Iya, hati-hati Elizabeth,” sahut mereka bersamaan, suara mereka mengalun harmonis dalam kebersamaan yang hangat.

Setelah Elizabeth pergi, suasana kembali tenang. Menyisakan Hamzah, Robi dan satu karyawan lain di ruang resepsionis. “Rob, kamu dapat kamar nomor berapa?” tanya Hamzah sambil mencoba mengalihkan pikirannya dari perasaan campur aduk yang baru saja dialaminya.

“Aku dapat di kamar nomor dua belas Zah, kamu berapa?” jawab Robi dengan nada ceria.

“Wah, ku kira nomor lima. Aku dapat nomor empat Rob,” ungkap Hamzah dengan senyum lebar di wajahnya. Ada rasa bangga tersimpan di balik kata-katanya.

“Yasudah tidak apa-apa, yang penting kita sudah mendapatkan tempat tinggal,” lanjut Hamzah optimis.

“Iya Zah. Yasudah, yuk kita segera ke kamar.” Mereka berdua berjalan bersama menaiki tangga dengan langkah penuh semangat dan harapan baru.

Setelah beberapa saat berjalan dan berbincang-bincang ringan tentang rencana mereka ke depan, mereka akhirnya berpisah di depan pintu kamar masing-masing. Hamzah berdiri di depan pintunya dan menatap nomor kamar itu dengan penuh rasa ingin tahu dan harapan baru.

“Empat,” gumam Hamzah membaca nomor di depannya. Di balik pintu itu tersimpan cerita baru yang siap untuk ditulis—sebuah babak baru dalam hidupnya yang penuh misteri dan kemungkinan tak terduga.

...****************...

1
eterfall studio
keburu telatt
eterfall studio
menarik
Perla_Rose384
Aku tahu pasti thor punya banyak ide kreatif lagi!
Antromorphis: Hehehe, stay tune yha kk, masih banyak misteri di depan sana yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
yongobongo11:11
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
Antromorphis: Hehehe, terimakasih banyak kk, nantikan Bab selanjutnya yha, masih banyak misteri yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
Heulwen
Ngerti banget, bro!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!