GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18. Olimpiade Bahasa Inggris
"Aku nggak mau. Aku mau tidur disini malam ini!" tegas Kaesang, matanya menatap tajam ke arah sang papa. Sorot matanya menunjukkan ketidaksukaan, bahkan sedikit kebencian.
Zora hendak menyela, namun Indra dengan cepat menggelengkan kepala ke arahnya, seolah melarang Zora untuk ikut campur.
Indra kemudian kembali menatap Kaesang. Keduanya saling beradu pandang, wajah mereka sama-sama dipenuhi amarah, rahang mereka mengeras.
"Mau kamu apa sih, Kae? kamu lagi ada masalah, iya?! Kenapa tiba-tiba marah-marah gini dan pergi dari rumah?
Kamu ada masalah apa, biar papa bantu kamu selesaiin masalahmu itu," Indra berusaha bersikap tenang, meskipun sebenarnya ia ingin sekali menegur Kaesang karena sikapnya yang kurang aj4r. Ia memilih untuk menahan emosinya dan mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
"Iya, Kae, kamu ada masalah apa, nak? cerita sama mama, jangan di pendem sendiri." sahut Zora lembut. Dia menangkap gelagat aneh pada Kaesang, seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Kaesang menoleh ke arah kedua orang tuanya, pandangannya beralih dari Zora ke Indra. Tatapan tajamnya sedikit melembut, dan dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.
Kaesang menoleh kearah Zora, menatapnya lekat. "Berapa lama lagi Lingga disini?" tanyanya, raut wajahnya datar. Nada bicaranya terdengar dingin.
Zora dan Indra saling pandang, dahi mereka berkerut seraya menoleh ke arah Kaesang. "Sekitar seminggu lagi, Kae," jawab Zora. "Dia kan disini selama liburan. Sebenarnya sih, dia pengen tinggal sebulan penuh sampai liburannya selesai, tapi—" Zora terhenti, ucapannya dipotong oleh Kaesang.
"Suruh dia balik ke London!" cetus Kaesang.
Indra dan Zora tercengang. Perkataan Kaesang benar-benar tak terduga. Nada suaranya yang serius, tatapan matanya yang tajam—jauh berbeda dari biasanya—membuat mereka terdiam sejenak, saling berpandangan tanpa sepatah kata pun.
"Kae," Zora menoleh, matanya berkaca-kaca. Kaesang tak bergeming, tatapannya tertuju pada sang papa.
"Aku tetap mau tidur di sini kalau di rumah masih ada Lingga." ucap Kaesang, suaranya datar, ditujukan pada Indra.
Indra menghela napas, menggeleng pelan. "Kamu kenapa sih Kae? jangan kayak gini lah, dia itu adik kamu. Ayo pulang," bujuknya, tangannya meraih tangan Kaesang. Namun, Kaesang menepisnya dengan cepat, tatapannya tajam menusuk ke arah papanya.
"Aku nggak mau, Pa. Selama Lingga masih di rumah aku tetap mau tidur disini. Sekarang kalian pulang aja, aku ngantuk, mau tidur." Kaesang menutup pintu apartemennya, meninggalkan kedua orang tuanya yang masih berdiri di depan pintu.
Air mata Zora perlahan menetes. Tubuhnya bergetar, hatinya dipenuhi kesedihan. Melihat sikap Kaesang pada Lingga, adiknya, membuatnya bertanya-tanya. Apa yang membuat Kaesang begitu tidak suka pada Lingga? Dia dan Indra sama sekali tidak tahu. Kaesang tidak pernah menceritakannya.
"Sayang, kita pulang aja yuk. Biarin Kaesang istirahat. Besok dia pasti pulang ke rumah kok, yuk, Lingga pasti udah nungguin kita di rumah," ujar Indra lembut, tangannya meraih pundak Zora. Ia mengajaknya meninggalkan apartemen Kaesang dan kembali ke rumah.
Sementara itu di dalam apartemennya, Kaesang masih terpaku di balik pintu, telinganya menangkap setiap kata orang tuanya dan langkah kaki mereka yang menjauh. Perlahan, ia meninggalkan ruang itu, melangkah menuju kamarnya. Rasa lelah menguasai dirinya, dan ia hanya ingin segera terlelap, berharap esok hari akan membawa hal-hal baik untuknya.
*************
Matahari pagi menyapa Kaesang dengan hangat di hari berikutnya. Sekolah berjalan lancar, dan kini ia melangkah menuju parkiran, pikirannya melayang pada rencana besar yang terbersit di benaknya.
Ia bertekad untuk mengungkapkan perasaannya kepada Tyas, melupakan rencana awal untuk PDKT yang terkesan terlalu lama. Rasa takut menghantuinya, khawatir Tyas sudah lebih dulu dilirik oleh orang lain.
"Tapi gimana caranya ya? gue kan nggak pernah nembak cewek sebelumnya. Dulu pernah tapi nggak jadi. Apa sekarang gue bisa buat nemb4k Bu Tyas? apa dia bakal nerima cinta gue?" Kaesang terus merasa ragu dengan keputusannya. Hingga akhirnya Rudi datang dan mengejutkan Kaesang. Dia datang dari belakang. Suara langkahnya tidak terdengar.
Dor!
"Lo lagi mikirin cara buat nemb4k Bu Tyas kan? hayooo," tanya Rudi, tangannya sudah melingkar di bahu Kaesang. Suaranya nyaring, tepat di telinga Kaesang, bikin dia kaget bukan main. Sontak Kaesang mendorong Rudi, menoleh dengan jantung yang masih berdebar kencang. Rudi benar-benar menjengkelkan.
"Sekali lagi Lo ngagetin gue, gue seret Lo ke hutan Amazon, biar dimakan sama hewan-hewan buas di sana!" seru Kaesang, matanya menyipit tajam ke arah Rudi. Kesal, dia benar-benar kesal.
Rudi yang melihatnya hanya cengar-cengir, tak peduli dengan ancaman Kaesang. Senyum lebar mengembang di wajahnya, senang karena Kaesang mau berteman dengannya, disaat tak seorangpun mau berteman dengannya karena penampilannya.
"Hehe, sorry ya Kae. gue cuma iseng aja. Eh, tapi seriusan nih lo mau nemb4k Bu Tyas?" tanya Rudi, suaranya pelan tapi serius. Senyum di wajahnya perlahan menghilang, digantikan oleh ekspresi yang lebih serius.
Tapi, tetap aja, wajahnya yang lucu itu malah jadi tambah lucu pas lagi serius gini. Hahaha, Kaesang ngakak dalam hati. Rudi emang kocak abis!
Kaesang menggaruk kepalanya, sedikit ragu. "Gimana ya, gue sebenarnya pengen deketin dia dulu," katanya, "tapi takutnya kalau kelamaan, Bu Tyas keburu diambil orang. Lucu juga sih, dia kan baru kerja di sini, masa gue langsung nemb4k?"
Kaesang menoleh ke arah Rudi, yang tampak sedang berpikir. Rudi berbisik pelan di telinga Kaesang, "Ajak Bu Tyas jalan-jalan dulu, buat dia senang. Setelah itu, baru Lo bisa ungkapin perasaan Lo." Rudi kemudian mundur sedikit, menatap Kaesang sambil tersenyum.
Seolah mendapat pencerahan, Kaesang langsung beranjak pergi, meninggalkan Rudi di tempatnya. Rudi hanya menggeleng-geleng kepala, senyuman tipis terukir di bibirnya yang kering.
"Susah ya kalau orang udah jatuh cinta. Gue yang belum pernah ngalamin aja pusing ngelihatnya. Kira-kira Kaesang beneran suka sama Bu Tyas nggak ya?
Terus diterima nggak ya dia nanti? Ahh, semoga diterima deh. Kalau nggak, bisa uring-uringan Kaesang nanti. Ahh," Rudi menghela napas panjang, menggeleng-gelengkan kepala, lalu berjalan menuju parkiran.
Kaesang berjalan menuju ruang guru dengan hati yang berdebar-debar. Dia sudah memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Tyas, gurunya. Rencana Rudi untuk mengajak Tyas jalan-jalan terdengar bagus baginya, tapi bukan itu yang ada di benaknya sekarang. Dia ada cara tersendiri untuk mengungkapkan perasaannya itu dan itu jauh lebih masuk akal.
Sesampainya di ruang guru, Kaesang melihat Tyas sedang sibuk menata buku-buku di meja kerjanya. Wajahnya terlihat begitu cantik, membuat Kaesang semakin yakin dengan keputusannya. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu melangkah mendekati Tyas.
"Bu Tyas, maaf mengganggu. Bolehkah saya bicara dengan Anda sebentar?" ucap Kaesang dengan suara yang agak gemetar. Bu Tyas menoleh, senyum ramah terukir di wajahnya.
"Tentu saja, Kae. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bu Tyas dengan lembut. Kaesang menelan ludah, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya mengungkapkan perasaannya.
"Bu Tyas, saya ingin mendiskusikan soal persiapan olimpiade bahasa inggris minggu depan dengan anda di apartemen saya ...
Kalau Anda nggak sibuk, saya akan senang jika Anda bisa ikut, dan membahasnya bersama, tapi kalo nggak bisa, nggak masalah. Kita bisa mencari waktu lain." ucap Kaesang berbohong. Tyas terkesiap, tapi senyumnya makin lebar.
Bu Tyas terdiam sejenak, matanya menangkap raut gugup di wajah Kaesang. Tapi, senyum hangat tetap terukir di bibirnya. "Tentu saja, Kae. Saya akan senang bisa membantu kamu dalam persiapan olimpiade bahasa Inggris. Jadi kapan kita bisa ke apartemenmu?" tanya Tyas ramah, senyum manis menghiasi wajahnya.
"Sekarang, Bu," ujar Kaesang dengan suara yang sedikit gemetar, matanya memperlihatkan kegugupan yang jelas. Tiba-tiba, raut wajahnya mencerminkan gelisah yang luar biasa. Jantungnya berdetak semakin cepat, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadanya.
Tyas terkekeh pelan, "Sekarang? Wah, kamu buru-buru banget, Kae. Nggak apa-apa, saya siap kapan aja kok. Tapi, Saya mau pulang dulu buat ambil beberapa buku dan map yang berisikan tentang olimpiade itu ...
Kamu mau ikut saya pulang dulu atau langsung ke apartemen kamu, nanti kamu bisa share lokasi apartemen kamu ke saya?" Senyumnya semakin lebar, matanya berbinar-binar seolah menggoda Kaesang.
Tanpa pikir panjang, Kaesang langsung menyahut, "Saya ikut Ibu aja. Ayo, Bu, kita berangkat sekarang!" Senyumnya merekah, memancarkan semangat yang tak terduga. Seolah-olah Kaesang yang dingin dan pendiam tadi telah lenyap.
Bersambung ...