Perjodohan yang terjadi antara Kalila dan Arlen membuat persahabatan mereka renggang. Arlen melemparkan surat perjanjian kesepakatan pernikahan yang hanya akan berjalan selama satu tahun saja, dan selama itu pula Arlen akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya.
Namun bagaimana jika kesalahpahaman yang selama ini diyakini akhirnya menemukan titik terangnya, apakah penyesalan Arlen mendapatkan maaf dari Kalila? Atau kah, Kalila memilih untuk tetap menyelesaikan perjanjian kesepakatan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Hati Yang Terluka
"Bagaimana perkembangan kalian?" tanya Rafa, pagi itu setelah ia membantu Kalila mengantarkan pesanan roti ke sebuah acara.
"Memangnya harus berkembang seperti apa?" Kalila bertanya balik.
"Ya siapa tau, Arlen mulai sadar."
"Kamu pikir Arlen sedang mabuk?"
"Wah, dia lebih kacau dari mabuk sih. Kurasa dia buta."
"Biarkan saja. Selama dia ga mengusikku."
"Memangnya kamu ga terusik dengan hubungan mereka?"
"Pada dasarnya aku lah orang ketiga diantara mereka, jadi seharusnya pertanyaan itu diberikan kepada Miranda. Bukan aku."
"Ya, tapi statusnya sekarang adalah kamu istrinya, bukan Miranda. Lagi pula sejak awal Miska pun ga suka dengan Miranda."
"Kenapa Miska ga suka?"
"Entahlah, kamu tau sendiri, firasatnya si Miska kadang tepat. Dia selalu punya perasaan kalo Miranda ga setulus itu ke Arlen."
Kalila menghela napasnya panjang. "Ga perlu menilai hubungan orang lain, kita ga menjalani apa yang mereka jalani, kan."
Rafa mengangguk, tapi juga mengedikkan bahunya.
"Lalu, apa kamu ga terluka?"
"Terluka?" Kalila mengernyitkan dahinya.
"Hatimu. Kamu menikah dengannya, statusmu sah, tapi Arlen malah menilaimu seperti itu, si bodoh itu malah memberikanmu kontrak pernikahan."
Kalila terkekeh, bukan karena sesuatu yang lucu, tapi karena dia menutupi rasa sedihnya.
"Apa Tante Erina tau kalo Arlen masih berhubungan dengan Miranda?"
Kalila menggeleng. "Jangan sampai Mama Erina dan Bunda tau. Kumohon, kamu dan Miska jangan membocorkan masalah ini."
Rafa mendesah berat. Dia menggeleng kemudian menjalankan lagi mobilnya setelah berhenti beberapa menit di perempatan lampu merah lalu lintas.
"Seharusnya kamu yang bocorkan kelakuan Arlen pada mamanya."
"Aku ga sampai hati. Dia akan kehilangan semua pekerjaannya kalau sampai Mama Erina tau."
"Kalau Miska tau, dia pasti akan sangat mendukung kamu untuk mengadukan Arlen pada Mamanya."
Kalila tersenyum masam.
"Lalu, kamu akan tetap bertahan meski dia seperti itu padamu?"
"Jika memang itu yang harus ku jalani, ga apa-apa, asalkan adikku terjamin."
Mobil akhirnya berhenti di depan kedai. Tapi Rafa menghentikan gerakan Kalila keluar dari dalam mobil dengan sebuah pertanyaannya.
"Kalau bisa menjamin adikmu, apa kamu bersedia berpisah dari Arlen?"
"Maksudmu?"
"Dari pada menjalani pernikahan yang malah menyakiti hatimu, bagaimana jika kamu menikah saja dengan-"
"Mbak!" Asri tiba-tiba sudah mengetuk kaca jendela dari sisi yang ditempati Kalila. Gadis itu memotong kalimat Rafa yang hampir selesai.
"Astaga, Sri, kamu bikin aku kaget." Kalila refleks langsung keluar dari dalam mobil, meninggalkan Rafa yang hanya bisa tersenyum pasrah.
* * *
Hari ini pikirannya cukup teralihkan dengan kesibukan kedai yang cukup ramai. Rasanya beban di atas pundaknya terangkat sedikit dengan menjalani kesibukannya. Dia juga mendapatkan pesanan untuk dua acara esok hari. Itu artinya, malam ini dia akan kembali membuat pesanan di dapur apartemen dan berangkat lebih pagi.
Sesampainya di apartemen, Kalila menemukan pesan tambahan pada secarik kertas yang pagi tadi dia tinggalkan untuk Arlen.
Kalila mendesah berat, menatap nanar sepiring sandwich dingin yang ditinggalkan Arlen begitu saja.
Padahal, Kalila tidak ada niat apa-apa selain murni khawatir gerd yang dimiliki Arlen kambuh. Karena dia yakin, hubungan yang kini mereka jalani juga membuat Arlen pastinya stres.
Ponselnya berdering tiba-tiba, nama Bunda Seruni muncul pada layar datar itu.
"Ya Bunda?" Kalila menormalkan nada suaranya, hingga tidak terdengar nada lelah apa lagi nada sedih dalam suaranya.
"Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Bunda tepat mengenai hati Kalila.
Tidak. Kalila menjawabnya dalam hati. Ia ingin berteriak, dia ingin menyudahi semua ini, tapi yang keluar dari bibirnya adalah...
"Baik kok, Bun. Memang ada apa? Bunda kenapa? Kirei baik-baik saja, kan?"
"Ga tau nih, kok Bunda merasa ga tenang, kepikiran kamu terus."
Kalila tersenyum sendu. Dia duduk di atas sofa di dalam ruangan yang masih dia biarkan temaram. "Lila baik-baik saja, Bun. Ini juga lagi siapkan makan malam untuk Arlen." Kalila berbohong demi menenangkan Bundanya, meski hatinya terasa begitu getir membaca pesan yang ditorehkan Arlen.
"Oh syukurlah. Bunda yakin kalian pernikahan kalian pasti bahagia, Arlen pasti sangat menyayangimu, kan?"
"Iya Bunda." jawab Kalila dengan setetes air mata yang mengalir pada pipinya.
"Syukurlah, ini mungkin hanya perasaan Bunda saja, ya. Mungkin juga karena Bunda merasa gugup menjelang tiga hari lagi Kirei harus menjalani hari besar dia yang kita nantikan."
Kalila mengangguk. Menahan suara isaknya.
"Kirei akan baik-baik saja. Bunda jangan khawatir ya."
"Baiklah, titip salam Bunda untuk Nak Arlen, ya."
"Ya, Bunda."
"Oh iya, nanti saat Kirei mulai masuk, kamu bisa datang, kan, Nak?"
"Aku pasti datang, Bu."
Setelah panggilan telepon selesai. Kalila membenamkan wajahnya pada bantal sofa, mengeluarkan rasa sesak dadanya yang tiba-tiba memenuhi seluruh tubuhnya.
Apa kamu ga terluka? Sejujurnya pertanyaan Rafa terus terniang.
Apakah aku ga terluka? Perempuan mana yang tidak terluka ketika ketulusannya hanya dianggap kepalsuan, tapi karena kebodohannya, dia tetap peduli pada seseorang yang membencinya, karena pada kenyataannya, dirinya lah yang menjadi duri dalam kisah ini.
*
Kalila baru saja selesai menyajikan lauk pauk di atas meja makan ketika Arlen datang. Wajah pria itu kini nyaris tidak pernah terlihat ada senyuman. Padahal dulu, wajah Arlen selalu tersenyum ketika bersama Kalila.
"Apa kamu akan masak porsi sebanyak itu terus?" tanya Arlen dengan nada dinginnya.
"Ya."
"Apa kamu sedang berusaha menarik simpatikku lagi dengan terus membuatkanku makanan? Kali ini aku ga akan tertipu dengan kepalsuanmu."
Kalila menghela napas.
"Aku ga berusaha untuk menarik simpati darimu atau pun berusaha menipumu. Aku hanya memasak, kamu mau makan makanan yang aku masak atau ga, terserah." Sahut Kalila.
Tapi tiba-tiba tangan Arlen terulur dan mencekal kedua pipi Kalila dengan cukup kuat. Matanya tajam seperti sebilah mata pisau yang baru diasah dan ditancapkan tepat di hati Kalila.
"Apa kamu sedang berusaha menggodaku dengan masakanmu?"
"Apa kamu tergoda hanya karena makanan yang kumasak?" tantang Kalila.
"Jangan mengujiku, Kalila!"
"Aku ga akan tergoda oleh penipu rendah sepertimu."
"Bagus. Kalau begitu lepaskan tanganmu dari wajah si penipu rendah ini. Jangan kamu kotori tangan sucimu."
Rahang Arlen terlihat mengeras, kemudian dia melepaskan pipi Kalila dengan kasar.
"Berhenti bersikap seolah-olah kamu peduli dengan kesehatanku."
"Sudah kukatakan, kalau kamu sakit, aku yang akan repot karena harus merawatmu. Kalau aku ga merawatmu, Mama Erina akan mempertanyakan hubungan ini. Kalau Mama Erina tau yang sebenarnya dan menarik semua posisimu, apakah Miranda masih mau bertahan denganmu? Aku ga mau disalahkan jika Miranda berpaling darimu."
"Sialan kamu Lila! Jangan kamu berkomentar buruk tentang Miranda, dia ga sepertimu! Dia jujur dengan hati dan perasaannya. Bukan penipu sepertimu!"
"Bagus! Kalau begitu, tolong kamu jaga kesehatanmu sendiri, jangan sampai sakit yang membuatku harus repot." ujar Kalila kemudian berpaling dengan menyajikan makan malam ke dalam piringnya sendiri. Mengabaikan Arlen yang meninggalkan dirinya dengan masuk ke dalam kamar dan membanting pintu kamarnya.
Bersabar Kalila...bersabar...
.
.
.
Bersambung
terima kasih ya yang udah baca, udah like karya aku, semoga kisah kali ini bisa menghibur teman-teman semuanya ❤️❤️❤️
Saranghae 🫰🏻🫰🏻🫰🏻