NovelToon NovelToon
Misi Berdarah Di Akademi

Misi Berdarah Di Akademi

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Identitas Tersembunyi
Popularitas:694
Nilai: 5
Nama Author: Garl4doR

Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.

Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.

Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.

Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Suasana lapangan akademi ramai seperti biasa. Siswa-siswa berkumpul dalam kelompok, sibuk bercakap atau sekadar menikmati waktu senggang di tengah jadwal yang padat. Namun, pemandangan itu berubah begitu sekelompok siswa berseragam khusus memasuki area tersebut.

Mereka adalah anggota eksekutif—siswa yang terpilih karena kemampuan mereka yang berada jauh di atas rata-rata. Sosok-sosok ini dikenal bukan hanya karena prestasi mereka, tetapi juga karena kepatuhan ketat pada aturan akademi. Melihat mereka lewat, siswa-siswa lain otomatis memberi ruang, seolah kehadiran mereka membawa aura superior yang tak terbantahkan.

Di antara mereka, seorang gadis berjalan paling depan, langkahnya anggun dan penuh percaya diri. Namanya Zaela, siswa eksekutif yang paling terkenal. Gadis berambut panjang dengan tatapan tajam itu dikenal karena kecerdasannya yang luar biasa dan kemampuan langkanya—memanipulasi berlian. Tidak ada yang tahu sejauh mana batas kekuatannya, tetapi semua sepakat: Zaela adalah yang paling hebat di antara para eksekutif.

Alvaro, yang duduk di bawah pohon bersama Gale, menatap kedatangan mereka dengan ekspresi datar, sementara Gale hanya bersiul pelan.

“Selalu pamer kekuatan di tempat umum,” gumam Gale sambil menyandarkan kepalanya ke batang pohon. “Lihat saja itu, semua orang seperti bertekuk lutut di hadapan mereka.”

Alvaro menyipitkan mata, pandangannya tertuju pada Zaela yang kini berbicara singkat dengan salah satu siswa lain. “Bukan cuma pamer. Mereka memang dipandang hebat oleh siswa lain. Dan Zaela... dia lebih dari sekadar ‘hebat’.”

Gale mendengus kecil. “Sempurna dari segala sisi—dan sayangnya, dia tahu itu.”

Salah satu anggota eksekutif menoleh ke arah mereka berdua, seolah menyadari kehadiran Alvaro dan Gale. Beberapa siswa lain ikut menatap, merasakan ketegangan tipis yang tiba-tiba muncul. Pertemuan antara tim Fluttergeist dan siswa eksekutif memang jarang terjadi, tetapi jika dua kelompok ini bertemu, selalu ada aura kompetitif yang tak bisa dihindari.

Zaela, yang menyadari tatapan Alvaro, hanya melirik sekilas sebelum berbalik dan pergi, rambutnya melambai pelan seiring langkahnya. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, namun kesan kuat itu tetap tertinggal.

“Dia bahkan nggak butuh bicara untuk bikin orang merasa rendah diri,” ujar Gale setengah bercanda, meski matanya tetap waspada. “Berhati-hatilah, Al. Kalau suatu saat kita harus berhadapan dengan mereka... terutama Zaela.”

Alvaro hanya diam, tetapi di dalam pikirannya, ia sudah menyadari satu hal: Zaela adalah lawan yang tak bisa diremehkan. Namun, ia tidak pernah percaya pada superioritas yang dipaksakan, tidak peduli betapa sempurnanya seseorang terlihat.

Gale masih bersandar santai di batang pohon, sedangkan Alvaro diam memandangi keramaian, pikirannya memutar ulang perkenalan singkat dengan Zaela. Suasana kembali terasa ringan hingga sosok tinggi besar muncul sambil membawa nampan penuh makanan dari kantin.

“Waktunya makan siang, tuan-tuan!” seru Hans, anggota Fluttergeist yang paling ceria, dengan senyum lebar khasnya. Ia meletakkan nampan di antara mereka.

“Lama sekali, Hans,” ujar Gale dengan nada malas sambil menoleh. “Apa kau sempat bernegosiasi dengan ibu kantin?”

Hans tertawa kecil sambil menjatuhkan diri duduk di rumput. “Nyaris! Kau tahu, kantin siang ini seperti arena gladiator. Tapi, semua demi Fluttergeist tercinta.” Ia mendorong sebuah roti ke arah Gale. “Makanlah, Ketua. Jangan sampai memimpin dengan perut kosong.”

Alvaro hanya mengambil roti tanpa bicara, matanya sekilas melirik Hans. “Kau terlihat agak serius,” ujarnya pendek.

Hans meneguk minumnya sebelum menjawab, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Ya, ada sesuatu... Vella bilang sesuatu yang aneh tadi pagi.”

Alvaro dan Gale langsung menoleh. Vella—anggota Fluttergeist dengan rambut ungu yang mencolok dan tubuh ideal—adalah salah satu anggota yang paling peka. Jika dia merasa ada sesuatu yang aneh, mereka tahu itu bukan omong kosong.

“Ada apa dengan Vella?” tanya Gale sambil meraih botol minumnya, nada suaranya mulai serius.

“Dia bilang merasa seperti diawasi sejak bangun tidur. Awalnya dia kira itu cuma perasaannya,” jelas Hans. “Tapi ada yang lebih aneh lagi. Saat dia di kamar asrama pagi tadi, katanya udara tiba-tiba jadi dingin—padahal semua jendela tertutup rapat.”

Alvaro menghentikan gerakannya. Ingatannya langsung melayang ke ucapan Latania di kelas tadi pagi tentang perasaan tidak nyaman yang sama.

“Itu belum semuanya,” lanjut Hans. Ia menatap Gale dan Alvaro bergantian, memastikan tidak ada yang mendengarkan percakapan mereka. “Vella juga bilang, waktu dia bercermin, bayangannya... bergerak beda. Seperti bukan dia.”

Gale mengangkat alisnya, setengah tidak percaya. “Vella bilang begitu? Dia biasanya cukup rasional.”

Hans mengangguk cepat. “Dia bilang ini bukan perasaannya saja. Wajahnya pucat saat cerita.”

Alvaro akhirnya buka suara. “Latania juga bilang hal serupa pagi ini.”

Hans menoleh cepat. “Latania? Serius?” Nada suaranya berubah.

“Dia bilang ada sesuatu yang aneh di sekitar akademi hari ini,” jawab Alvaro singkat, tatapannya tajam ke depan. “Kalau Vella merasakan hal yang sama, maka ini bukan kebetulan.”

Hening sejenak. Angin siang yang sebelumnya terasa hangat kini membawa hawa dingin samar yang menyusup ke sela-sela percakapan mereka.

Gale bersandar ke belakang, matanya menerawang langit. “Baiklah... Ini mulai menarik.”

Hans menatap keduanya dengan cemas yang tak bisa ia sembunyikan. “Kalian tahu apa artinya ini, kan? Jika sesuatu yang aneh sedang terjadi di akademi, kita—Fluttergeist—pasti akan berada di garis depan untuk mencari tahu.”

Alvaro tidak menjawab, tetapi dalam hatinya, ia tahu Hans benar. Ketika keanehan mulai menyusup ke dalam kehidupan akademi, hanya mereka—kelompok kecil yang solid ini—yang bisa bergerak lebih cepat sebelum segalanya menjadi lebih buruk.

"Oh aku jadi ingat, kau tahu siapa pelaku yang membakar patung pendiri akademi dan menyebabkan keributan tadi pagi?" Gale menyunggingkan senyum jahil pada Hans.

"Halah, siapapun sudah pasti tahu itu ulah Al. Untung kau berbakat, kalau tidak sudah habis dirimu ditelan pak Bevan. Wajahnya sudah merah padam sejak ledakan itu terjadi." Jelas Hans sambil membuka bungkusan roti yang ke tiga.

***

Suasana koridor malam itu semakin mencekam. Alvaro, yang tengah memeriksa lorong, mendapati dirinya tiba-tiba merasa terintimidasi. Udara seakan berat, seperti tertimpa sesuatu yang tak kasat mata. Tadinya ia berencana untuk buang air kecil sebentar, biasanya masih ada siswa-siswa bandel yang begadang dengan bermain kartu di sepanjang lorong tapi kali ini sepi yang tidak wajar.

Tiba-tiba langkahnya terhenti—matanya tertuju pada jejak darah tipis di lantai. Darah itu membentuk garis yang memanjang menuju sudut gelap koridor.

Alvaro mengepalkan tangannya, jantungnya berdegup kencang. Naluri bertarungnya mulai aktif, menyuruhnya bersiap.

Langkahnya membawa dia semakin dekat hingga akhirnya ia melihat Dave—tergeletak di lantai. Tubuh kurus Dave terkulai lemas, darah merembes membentuk genangan kecil di bawahnya. Bekas gesekan kasar tampak samar di sekitar tubuh Dave, seolah ia sempat diseret sebelum akhirnya dibiarkan di sana.

Alvaro berjongkok perlahan, menatap tubuh itu dengan rahang mengeras. Sorot matanya menyapu sekitar—dan itulah saat ia melihatnya.

Di dinding yang berdebu, tak jauh dari tubuh Dave, ada bekas telapak tangan besar yang samar-samar terlihat. Alvaro menatapnya lekat-lekat. Jejak itu tingginya setara dengan kepala Alvaro, nyaris mustahil berasal dari siswa biasa.

“Apa... maksudnya ini?” gumam Alvaro pelan.

Namun di belakangnya, samar-samar ia menangkap bekas gesekan sepatu besar di lantai, bercampur dengan jejak darah. Nalurinya berteriak—ini bukan kebetulan.

1
Luna de queso🌙🧀
Dialog yang autentik memberikan kehidupan pada cerita.
Garl4doR: Baguslah kalau kamu suka :3 Trims buat apresiasinya ya :) stay tune untuk bab² selanjutnya/Grin/
total 1 replies
emi_sunflower_skr
Aku terpukau dengan keindahan kata-kata yang kamu gunakan! 👏
Garl4doR: Terima kasih/Smile/ Author ini jadi semangat karena komen mu/Smirk/ Terus berkembang adalah prinsip mimin/Applaud/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!