Ibrahim, ketua geng motor, jatuh cinta pada pandangan pertama pada Ayleen, barista cantik yang telah menolongnya.
Tak peduli meski gadis itu menjauh, dia terus mendekatinya tanpa kenal menyerah, bahkan langsung berani mengajaknya menikah.
"Kenapa kamu ingin nikah muda?" tanya Ayleen.
"Karena aku ingin punya keluarga. Ingin ada yang menanyakan kabarku dan menungguku pulang setiap hari." Jawaban Ibra membuat hati Ayleen terenyuh. Semenyedihkan itukah hidup pemuda itu. Sampai dia merasa benar-benar sendiri didunia ini.
Hubungan mereka ditentang oleh keluarga Ayleen karena Ibra dianggap berandalan tanpa masa depan.
Akankah Ibra terus berjuang mendapatkan restu keluarga Ayleen, ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Sambil mendengarkan lagu yang diputar didalam mobil, Ayleen menyandarkan kepala di jok. Mengecek ponsel untuk kesekian kali dengan harapan ada pesan masuk dari Ibra. Sejak kejadian tadi malam, Ibra tak menghubunginya lagi. Mungkinkah pria itu sudah menyerah karena semalam dia secara tidak langsung sudah menolaknya? Ibra yang ditolak, kenapa dia yang galau?
"Pulang nanti, kamu bareng Mama apa dijemput Ayah?" Ayleen yang sedang melamun tak mendengar pertanyaan ayahnya. "Leen..."
"I-iya Ayah, ada apa?" sahut Ayleen gugup.
"Ngelamunin apa sih, pacar kamu?"
"Eng-enggak kok. Leen gak punya pacar."
"Lalu apa, crush. Anak jaman sekarang, suka nyebut crush-kan?"
"Dih, Ayah ngerti aja bahasa anak muda. Tahu dari siapa hayoo?" goda Ayleen sambil menunjuk ayahnya dan tersenyum.
"Ya tahu dari anak-anak lah, kamu ini gimana. Anak buah Ayah masih muda semua. Pelanggan juga banyak anak muda. Sedikit banyak Ayah ngertilah bahasa gaul," sahut Ayah sambil terkekeh pelan. Usia boleh matang, tapi jiwanya masih muda.
"Kalau Leen bilang sama Mama, dia pasti cemburu kalau tahu Ayah masuk suka nimbrung ama yang muda-muda," ujar Ayleen sambil cekikikan.
"Heis, kamu ini apaan sih. Ayah itu cuma sekedar ngobrol sama mereka, lagipula sama yang cowok, bukan cewek."
"Iya, iya, Leen tahu kok. Ayah Leen kan yang paling the best." Ayleen memeluk lengan ayahnya lalu mencium pipinya.
"Nanti kamu pulang naik apa? Mau bareng Mama atau dijemput Ayah?"
"Leen naik ojol aja," sahut Ayleen sambil melepaskan lengan ayahnya. Takut mengganggu konsentrasinya saat menyetir.
"Yakin gak mau dijemput, Ayah?"
"Gak usah, Leen naik ojol aja."
"Ya udah terserah kamu. Gak usah ke cafe dulu, tunggu sampai kaki kamu bener-bener sembuh."
Ayleen tersenyum pada sang ayah sambil mengangguk. Sebenarnya dia sudah meminta mamanya merasahasiakan ini dari ayah. Tapi sepertinya Mama tak bisa menyembunyikan apapun dari Ayah. Saat malam, mereka terbiasa untuk sharing semua cerita yang terjadi hari ini, bahkan sekecil apapun kejadiannya, tak luput dari cerita mereka.
Ayleen melihat kearah jendela saat mobil berhenti dilampu merah. Jantungnya seperti mau meloncat saat melihat Ibra ada disebelah mobilnya. Ya, motor cowok itu berhenti tepat disebelah mobilnya. Matanya tampak menyipit saat dia membuka kaca helm fullface nya. Menandakan jika cowok itu sedang tersenyum padanya. Entah ini hanya suatu kebetulan, atau Ibra mengikuti mobilnya?
Saat lampu berwarna hijau, Ayleen masih memperhatikan Ibra dari kaca spion. Motor cowok itu masih menguntit dibelakangnya. Meski ada kesempatan untuk mendahului, sepertinya Ibra enggan melakukan itu.
Ayleen mengulum senyum, dia pikir Ibra sudah tak mau lagi mendekatinya karena penolakan kemarin. Tapi sepertinya, cowok itu pantang menyerah.
Sesampainya di kampus, Ibra masuk lebih dulu saat mobil ayah Ayleen berhenti didekat gerbang kampus. Cowok itu menunggu Ayleen didepan gedung A, karena sudah pasti, Ayleen akan lewat sana.
Sambil menyandarkan punggung didinding dan memasukkan kedua tangan disaku jaket, Ibra terus menatap Ayleen yang berjalan kearahnya.
Tatapan yang membuat Ayleen salting. Membenarkan posisi tas, merapikan rambut kebelakang telinga, mengatur detak jantung, sambil meremat ujung blouse, semua itu Ayleen lakukan untuk mengurangi kegugupan.
Astaga, kenapa orang bilang jika cinta itu sangat indah. Nyatanya, untuk sekedar bernafas dengan lega saja sulit. Jantung berdebar kencang, panas, dingin, ini sungguh menyiksa.
Setelah jarak mereka lumayan dekat, Ibra berjalan menghampiri Ayleen. "Pagi," sapanya sambil mengulum senyum.
"Pagi juga," sahut Ayleen sambil menunduk. Menatap Ibra hanya membuat dia kena serangan jantung. Mereka berjalan beriringan menuju kelas Ayleen.
"Sarapan yuk?"
"Aku udah sarapan."
"Yah, padahal aku udah nyiapin bekal buat sarapan bareng kamu."
Langkah Ayleen seketika terhenti. Nyiapin bekal? Bukankah kemarin Ibra cerita kalau dia hanya tinggal sendirian? Mungkinkah seorang berandal kampus nyiapin bekal? Masak gitu?
Ibra tergelak melihat wajah kaget Ayleen. "Gak usah kaget gitu. Kesana bentar yuk." Dia menunjuk sebuah kursi panjang yang ada dibawah pohon. Dan entah apa yang ada dipikiran Ayleen, dia menurut saja saat Ibra mengajaknya duduk dibangku panjang tersebut.
Rasanya Ayleen masih tak percaya, Ibra mengeluarkan kotak bekal dari dalam ranselnya. Dan ketika kotak itu dibuka, pecahlah sudah tawa Ayleen. Sandwich berbentuk kepala binatang. Entah kucing, anjing, atau beruang, bentuknya sangat tidak jelas. Mata dan hidung yang dibuat dari coklat menyatu tak karuan.
Melihat Ibra menatapnya, Ayleen langsung berhenti tertawa. "Maaf," ujarnya sambil tersenyum simpul.
"Aku gak bisa masak, cuma bisa bikin sandwich isi nutela. Percaya deh, tadi bentuknya gak kayak gini. Mungkin karena gegesek didalam kotak bekal, jadi mata dan hidungnya nyatu dan penyok."
Ayleen mengangguk sambil menutup mulut dengan telapak tangan menahan tawa. "Iya, aku percaya."
Ibra mengambil air mineral didalam tas lalu mencuci tangan. Mengambil sebuah sandwich lalu menyerahkannya pada Ayleen. "Gak ada racunnya," ujarnya saat Ayleen tak kunjung menerima sandwich tersebut.
Senyum Ibra seketika mengembang saat Ayleen mengulurkan tangan menerima sandwich tersebut. Dia lalu mengambil sebuah lagi dan memakannya bersama-sama.
Tak ada yang bisa dikomentari dari rasanya. Karena roti yang dioles dengan selai coklat, ya seperti itu rasanya.
"Kadang bosen juga makan roti atau makanan warung. Dulu saat masih ada Ibu, dia selalu masak buat aku." Tatapan Ibra menerawang jauh. Teringat saat-saat bahagia dalam hidupnya saat ibunya masih ada.
Ayleen merasa sangat beruntung. Hidup ditengah keluarga yang hangat, yang memberinya limpahan kasih sayang.
"Aku selalu rindu saat-saat masih ada Ibu." Ibra menoleh kearah Ayleen. Tangan pria itu tiba-tiba bergerak kearah kepala Ayleen.
Tubuh Ayleen langsung menegang. Jantungnya berpacu sangat cepat. Dan saat tangan Ibra mendarat dikepalanya, Ayleen seperti tak bisa bernafas.
Semua itu tak berlangsung lama, karena Ibra kembali menarik tangannya. Menunjukkan daun kering yang ada ditangannya.
Ayleen tersenyum simpul. Pria itu hanya mengambil daun yang ada dikepalanya, bisa-bisanya dia udah berdebar tak karuan.
"Nanti pulang dijemput?"
"Naik ojol."
"Aku anter ya?"
Ayleen menggeleng cepat. Bisa gawat kalau ada keluarganya yang melihat dia diantar Ibra.
"Kenapa? Kamu gak nyaman karena lamaranku kemarin ya? Lupakan saja, aku gak maksa kok."
Ayleen bingung harus menjawab apa, tak mungkin dia akan bilang kalau takut pada keluarganya.
"Mau ya, aku antar?" Ibra memohon.
"Em...." Ayleen bingung caranya menolak yang halus. Yang membuat Ibra tak tersinggung dan tak merasa keluarnya mengecap dia sebagai berandalan. "Aku sebenarnya kurang nyaman naik motor kamu. Terlalu tinggi, maksud aku, telalu nungging buat yang dibonceng."
Ibra garuk-garuk kepala. Baru kali ini dia mendengar cewek yang ogah dibonceng naik motor sport. Biasanya justru cewek suka banget, kelihatan keren.
"Ya udah, kelas aku mau dimulai." Ayleen membenarkan letak tas ranselnya lalu berdiri. "Aku pergi dulu."
"Tunggu." Teriakan Ibra membuat Ayleen yang baru melangkah langsung berhenti. Cowok itu mendekati Ayleen lalu berdiri dihadapannya. Jaraknya lumayan dekat, membuat jantung Ayleen lagi-lagi sulit dikondisikan.
Mata Ayleen reflek terpejam saat Ibra menyentuh sudut bibirnya.
"Ada sisa nutella disini." Saat Ayleen membuka mata, dia bisa melihat coklat diujung jari telunjuk Ibra. Astaga, memalukan sekali, bisa-bisanya dia makan sampai belepotan.
Ayleen membersihkan daerah sekitar mulut dengan telapak tangannya, takut jika masih ada yang tersisa.
"Udah bersih kok," ujar Ibra sambil tersenyum.
"Permisi, Kak." Ayleen buru-buru pergi darisana sebelum jantungnya makin tak karuan.