"Hanya satu tahun?" tanya Sean.
"Ya. Kurasa itu sudah cukup," jawab Nadia tersenyum tipis.
"Tapi, walaupun ini cuma pernikahan kontrak aku pengen kamu bersikap selayaknya istri buat aku dan aku akan bersikap selayaknya suami buat kamu," kata Sean memberikan kesepakatan membuat Nadia mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud kamu?"
"Maksud aku, sebelum kontrak pernikahan ini berakhir kita harus menjalankan peran masing-masing dengan baik karena setidaknya setelah bercerai kita jadi tau gimana rasanya punya istri atau suami sesungguhnya. Mengerti, sayang!"
Loh, kok jadi kayak gini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bingung
"Karena jika tidak, saya akan suruh Sean menceraikan kamu dan menikah dengan wanita yang bisa memberinya keturunan," kata Indira dengan nada santai namun menuntut.
"Nadia bisa memberiku keturunan atau tidak, aku gak akan pernah menceraikannya."
Ucapan itu sontak membuat kedua wanita tersebut menoleh ke arah pintu utama di mana Sean berdiri. Entah karena terlalu larut dalam pembicaraan mereka sampai tidak menyadari kedatangan Sean. Pria itu berjalan ke arah ruang tamu di mana dua wanita itu berada.
Sean menghampiri Nadia sembari tersenyum lebar.
Chupp!!!
Demi Neptunus sang raja laut, Nadia terkejut bukan main saat Sean mencium mesra keningnya. Terlebih di depan Indira.
"Hai, Sayang. Aku kangen banget sama kamu," ujar Sean memeluk Nadia.
Astaga! Nadia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Maksudnya jika Sean sedang ingin bersandiwara, seharusnya dia memberi Nadia aba-aba. Jangan langsung seperti ini karena Hal itu membuat jantung Nadia berdebar.
"Aku juga kangen sama kamu." Dengan terpaksa Nadia mengikuti permainan Sean sambil melirik Indira dari sudut matanya. Wanita itu tersenyum sinis di sana.
Setelah adegan saling memeluk itu, mereka kemudian duduk bersama.
"Mama udah lama datang?" tanya Sean dan bukannya menjawab Indira malah mendengus. Seharusnya kan dia lebih dulu yang disapa bukan malah menampilkan adegan yang membuat wanita itu semakin kesal.
"Pokoknya Mama gak mau tau ya, Sean. Kalo Nadia gak bisa beri kamu keturunan kamu harus tinggalin dia," kata Indira kekeh. "Memangnya apa gunanya seorang perempuan kalo gak bisa punya anak," lanjutnya menatap Nadia penuh penghakiman.
Sean menarik napas panjang. Padahal dia sengaja bertanya seperti itu berharap ibunya lupa dengan hal tadi namun ternyata dia tetap mengingat dan membahasnya.
"Tapi, aku gak bisa, Ma," jawab Sean tetap juga pada jawabannya yang pertama.
"Kenapa gak bisa?"
"Karna aku cinta sama Nadia."
Jawaban yang akan membuat siapa saja bungkam. Jika sudah bicara tentang perasaan, maka tidak akan ada yang bisa melawannya.
Sean kembali menghela napas lalu beralih duduk di samping sang ibu.
"Aku mohon, Ma. Setelah ini tolong jangan ikut campur lagi dalam urusan rumah tanggaku. Itu membuat aku maupun Nadia gak nyaman. Yang Mama harus tau, aku bahagia sama Nadia. Itu aja," kata Sean lembut namun menusuk.
Indira menatap Sean seakan tidak percaya, sang anak bisa berkata demikian. Apalagi di depan Nadia. Sungguh itu sangat memalukan. Padahal Nadia mengajaknya untuk makan malam bersama, namun Indira memilih pergi dari sana tanpa mengatakan apa-apa lagi. Bahkan pamit pun tidak. Dia sudah terlalu sakit hati.
"Sean, kamu gak seharusnya ngomong kayak gitu sama Mama kamu," kata Nadia merasa sangat tidak enak. Meski di lain sisi dia juga senang karena Sean membelanya tapi tetap saja hal ini akan membuat Indira semakin tidak menyukainya.
"Terus, seharusnya aku ngomongnya gimana?" tanya Sean menghentikan langkahnya kemudian berbalik. Tindakan tiba-tiba yang membuat Nadia menabrak tubuhnya. Wanita itu pun berakhir dalam pelukan Sean.
Mereka saling menatap beberapa saat sebelum Nadia mencoba melepaskan diri namun gagal membuat wanita itu hanya bisa pasrah. Meski rasanya tidak nyaman sekali harus bicara dalam keadaan seperti itu.
"Y-ya, pokoknya kamu harusnya ngomong baik-baik," Si4lan! Nadia malah tergagap. "Dan lagian kita kan memang akan bercerai."
"Siapa bilang?" Jelas nada suara Sean berbeda dengan yang tadi. Nadia seketika dibuat merinding apalagi saat melihat raut wajah Sean yang berubah serius. Kata yang ingin diucapkan Nadia sudah berada di tenggorokan namun entah kenapa sulit sekali keluar dari mulutnya.
"Kan tadi aku udah bilang kita gak akan bercerai."
"Ta-tapi---"
"Sekali aku bilang enggak yah enggak, Nadia."
Loh, kok jadi kayak sih?
***
Nadia terus memikirkan ucapan Sean tempo hari.
"Kita tidak akan bercerai, Nadia."
Maksudnya apa?
Bukankah dalam perjanjian mereka akan bercerai setelah satu tahun? Lalu kenapa sekarang malah jadi seperti ini? Apakah Sean mencintai Nadia seperti yang dia katakan pada ibunya?
Itukan seharusnya tidak terjadi.
Lalu bagaimana dengan Nadia sendiri? Hampir setiap hari dia kehilangan kendali atas dirinya saat Sean selalu berhasil menerobos pertahannya. Meski belum mengakuinya secara terang-terangan, Nadia sebenarnya mulai punya perasaan pada teman SMA-nya itu.
"Hah ...." Helaan napas Nadia yang terdengar begitu berat didengar oleh Antoni, mertuanya saat pria itu lewat di depan kursi koridor rumah sakit dimana Nadia sedang istirahat setelah selesai memeriksa pasien di bangsal umum.
"Kamu kenapa, Nadia?" tanya Antoni menghentikan langkahnya untuk menyapa sang menantu. Saking lamanya melamun Nadia sampai kaget saat disapa oleh sang mertua.
"Eh, Papa," Nadia menutup mulutnya. "Maksud saya Pak Antoni." Semua orang tahu jika Nadia adalah menantu Antoni alias istri Sean. Kendati demikian Nadia tidak ingin menyamakan sikapnya ketika sedang di rumah dengan di tempat kerja. Walau bagaimanapun Antoni itu atasannya di sana.
Antoni tertawa kecil lalu menggerakkan tangannya menyuruh para dokter yang tadi bersamanya pergi lebih dulu karena dia ingin mengobrol sebentar dengan Nadia.
"Sekarang kan udah gak ada orang, kamu bisa bicara lebih santai," ujar Antoni membuat Nadia tersenyum simpul. "Kamu sudah makan siang?" tanya Antoni kemudian.
"Belum," jawab Nadia jujur.
"Kebetulan Papa juga belum makan. Yuk makan bareng Papa," ajak Antoni dan Nadia tidak punya alasan untuk menolak.
Antoni mengajak menantunya makan di sebuah restoran yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah sakit.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Antoni sembari membaca buku menu.
Jujur saja Nadia masih sangat sungkan dengan ayah mertuanya. Meski Antoni sosok yang ramah dan santai tapi tetap saja Nadia tidak bisa bersikap yang sama.
"Kamu mau makan ayam?" tanya Antoni lagi tanpa melihat ke arah Nadia.
Aduh! Kok Nadia jadi bingung sendiri. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Karena tak kunjung mendapatkan jawaban membuat Antoni menurunkan buku menu lalu menatap Nadia.
"Nadia, kamu mau pesan apa, Nak?" tanya Antoni lagi dan kali ini nadanya sangat berbeda. Begitu lembut. Pria itu juga tersenyum hangat ke arah Nadia membuat mata wanita itu seketika berkaca-kaca. Bahkan ayahnya sendiri pun tidak pernah bicara selembut itu padanya.
"Loh, Nadia, kamu kenapa, Nak?" tanya Antoni saat satu bulir air mata Nadia jatuh membasahi pipinya. Nadia segera menyapu air mata itu lalu tersenyum.
"Gak apa-apa, Pa," bohongnya. "Aku mau makan ayam," kata Nadia mengalihkan perhatian Antoni.
Astaga, Nadia! Kenapa kamu malah menangis sih di depan ayah mertuamu?
Sungguh Nadia tidak bermaksud seperti itu namun perhatian kecil Antoni telah berhasil membuat hati Nadia terenyuh.