Memilik cinta yang begitu besar tak menjamin akan bertakdir. Itulah yang terjadi pada Rayyan Rajendra. Mencintai Alanna Aizza dengan begitu dalam, tapi kenyataan pahit yang harus dia telan. Di mana bukan nama Alanna yang dia sebut di dalam ijab kabul, melainkan adiknya, Anthea Amabel menggantikan kakaknya yang pergi di malam sebelum akad nikah.
Rayyan ingin menolak dan membatalkan pernikahan itu, tapi sang baba menginginkan pernikahan itu tetap dilangsungkan karena dia ingin melihat sang cucu menikah sebelum dia menutup mata.
Akankah Rayyan menerima takdir Tuhan ini? Atau dia akan terus menyalahkan takdir karena sudah tidak adil?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Persiapan Pindah Rumah
Anthea terkesiap mendengar ucapan Rayyan. Dia menatap Rayyan dengan dahi yang berkerut. Meminta Rayyan untuk mengucapkannya lagi.
"Denger baik-baik," tekan Rayyan.
"Lusa kita akan pindah ke sini."
"Ke-kenapa?" Anthea masih di mode tak percaya.
Rayyan mulai mendekatkan wajahnya ke telinga Anthea. Bisikan pelan membuat bulu kuduk meremang.
"Biar Deket sama tempat kerja lu."
"Ta-tapi--"
"Enggak ada penolakan," balas Rayyan dengan wajah serius.
"Rayyan--"
Lelaki itu meninggalkan Anthea yang terus menolak. Dia selalu mengatakan tidak apa-apa sembari mengikuti Rayyan dari belakangan. Langkah Rayyan terhenti secara mendadak. Alhasil, Anthea tak bisa mengerem langkahnya hingga hingga menabrak punggung sang suami.
"Sekali gua bilang enggak. YA, ENGGAK!"
Mulut Anthea pun kini terkunci rapat. Dia menunduk dalam dan itu membuat Rayyan menghela napas berat melihat sikap Anthea yang merajuk seperti ini.
"Gua ini suami lu, Anthea. Jadi, apapun keputusan gua lu gak boleh bantah. Paham?"
Anthea hanya bisa mengangguk lemah dan Rayyan tersenyum penuh kemenangan. Tibanya di apartment, wajah Anthea masih merengut. Langkahnya terhenti ketika Rayyan mulai berucap.
"Besok temani gua beli perabotan rumah."
"Aku Kerja."
"Ijin dulu," balas Rayyan.
"Ya enggak bisa dong," jawabnya dengan sangat tegas.
Sikap tak mau kalah Anthea membuat Rayyan mendekat ke arah istrinya tersebut.
"Apa perlu gua yang ijin?"
"Eh, enggak usah," balas Anthea mulai sedikit panik.
"Apa perlu gua beli kafenya?"
"Jangan aneh-aneh, Rayyan!"
Nada bicara Anthea mulai meninggi. Lelaki di depannya ini malah semakin menjadi.
"Gua bukan hanya aneh. Tapi, gua juga bisa nekat dan merealisasikan setiap ucapan gua."
Decakan kecil terdengar. Anthea mulai mengeluarkan ponselnya.
"Iya, aku ijin nih," ucapnya sambil prengat prengut.
Rayyan tersenyum begitu kecil melihat wajah Anthea yang seperti itu. Sangat lucu di matanya.
"Gua aja rela nyerahin kerjaan ke sekretaris gua. Masa lu gak mau ijin? Padahal kan ini buat rumah yang bakal kita tempati."
"Bawel!" balas Anthea dengan wajah masamnya.
Tanpa mereka sadari mereka berdua duduk di atas sofa yang sama. Hanya jarak yang membentang seperti batasan. Anthea tengah menunggu pesan balasan, dan Rayyan tengah mengecek laporan.
Ponsel Anthea berbunyi dan segera dia buka pesan balasan tersebut. Hembusan napas kasar keluar dari bibirnya.
"Gajinya dipotong dong dua hari," keluh Anthea begitu sangat pelan ketika membaca pesan dari sang manager.
Kini, Anthea mengalihkan wajah pada Rayyan yang masih fokus.
"Aku dibolehin ijin."
Atensi Rayyan berubah. Kini, matanya tertuju pada Anthea.
"Kirim nomor rekening lu."
"Buat apa?" Anthea terkejut.
"Buat bayar kerugian lu karena dua hari gak kerja."
"Enggak usah!" Anthea menolak perkataan Rayyan dengan tegas.
"Tadi lu bilang gaji lu akan dipotong. Makanya, gua mau ganti rugi."
"Enggak usah, Rayyan. Enggak usah!"
"Cepet kirim!"
"ENGGAK MAU!" Anthea pun berlari meninggalkan Rayyan.
Lelaki itu hanya tertawa melihat tingkah Anthea. Dia merasa terhibur dengan sikap Anthea malam ini.
.
Keesokan harinya, Rayyan sudah keluar dari kamarnya dengan pakaian santai. Sedangkan pintu kamar Anthea masih tertutup. Di meja makan sudah ada dua piring di mana berisi roti bakar juga dua gelas susu. Tak lama berselang, Anthea sudah keluar dari kamar. Namun, dengan langkah lemas. Mereka menikmati sarapan di keheningan.
"Biar gua aja," ujar Rayyan ketika Anthea hendak membawa piring bekas dia makan.
"Lu udah nyiapin sarapan. Jadi, gua yang bertugas nyuci piring."
Tak ada penolakan dari Anthea. Dahi Rayyan sedikit mengkerut ketika melihat wajah Anthea yang sedikit pucat.
"Lu sakit?" Anthea menggeleng.
"Muka lu pucat."
"Day one," balas Anthea singkat. Lalu, dia beranjak dari meja makan. .
"Kalau mau berangkat, panggil aja."
Kalimat itu terucap sebelum dia kembali ke kamar. Rayyan masih menatap punggung Anthea hingga menghilang di balik pintu kamar.
Ketukan pintu membuat Anthea yang tengah merasakan sakit di perut turun dari tempat tidur. Sudah dipastikan itu adalah Rayyan.
"Aku ganti ba--"
Ucapan itu terhenti ketika Rayyan memberikannya goody bag dari minimarket dekat apartment. Anthea tak langsung menerima.
"Di situ ada jamu yang biasa para perempuan minum pas lagi M. Siapa tahu bisa meredakan nyeri di perut lu."
Anthea terdiam dan terpaku. Lelaki di depannya itu layaknya cenayang. Anthea memang berniat untuk membeli jamu tersebut, tapi dia malas untuk keluar apartment.
"Kalau masih sakit kita batalin aja nyari furniture-nya. Lebih baik lu isti--"
"Enggak apa-apa, Ray. Kita lanjut aja," potongnya.
"Aku udah biasa begini setiap red day."
"Jangan menyepelekan apapun, Anthea. Kalau udah biasa harusnya lu periksa. Takutnya ada hal lain yang menyebabkan perut lu sakit. Mending kita ke dokter, ya. Buat pastiin semuanya."
"Enggak usah, Ray," tolaknya lagi.
"Percaya deh nanti juga sembuh setelah minum jamu ini."
Rayyan mengangguk, mencoba untuk percaya.
"Tapi, kalau gak sembuh juga gak ada penolakan untuk gua bawa lu ke rumah sakit."
"Ray, gak usah. Jangan lebay begitu. Serius aku gak apa-apa."
"Gua gak suka penolakan, Anthea. Paham?"
Anthea pun berdecak kesal dan meraih goody bag yang masing menggantung di tangan Rayyan dengan kasar. Membanting pintu dengan keras. Alih-alih marah, Rayyan mah tersenyum.
Satu jam kemudian, Anthea keluar dari kamar. Dia mencari sosok Rayyan yang ternyata ada di ruang tamu.
"Ray."
Sang empunya nama pun menoleh. Terlihat Anthea sudah rapi dan cantik. Meskipun hanya dengan make up tipis.
"Lu udah mendingan?" Anthea pun mengangguk.
Rayyan segera mengambil kunci mobil dan mereka meninggalkan apartment menuju tempat furniture juga elektronik. Bagi pengunjung lain, mereka terlihat seperti pasangan yang amat serasi. Cantik dan tampan. Serta sang lelaki yang akan selalu bertanya mau atau tidak ke wanitanya.
"Aku sih terserah kamu aja."
Untuk urusan elektronik Rayyan serahkan kepada Anthea. Biarlah dia yang memilih karena menurutnya Anthea lebih tahu alat eletronik apa yang dibutuhkan. Namun, terlihat Anthea tengah membanding-bandingkan harga layaknya wanita pada umumnya.
"Gak usah liat harga."
Kalimat itu mampu membuat Anthea mengalihkan pandangan. Rayyan bersikap santai.
"Apa yang menurut lu butuhkan dan lu suka ambil aja."
"Jangan boros!" omel Anthea.
Rayyan tertawa. Lalu, mendekat. Menatap Anthea dengan begitu lamat.
"Mau lu beli toko inipun gua sanggup bayar kok."
"SUOMBONG!!"
Rayyan terkekeh melihat wajah kesal Anthea. Ketika Anthea memutar tubuhnya, segera Rayyan menarik tubuh sang istri hingga mereka berpelukan. Tak lama terdengar suara barang besar jatuh. Anthea dapat merasakan degup jantung Rayyan dan lelaki itupun dapat menghirup aroma parfum yang begitu lembut dan menyegarkan dari tubuh Anthea. Bukannya saling melepas, mereka seakan nyaman dengan posisi tersebut.
...*** BERSAMBUNG ***...
I'm comeback. Ayo atuh di komen biar aku semangat nulisnya ..
hahahahaa
karma gak pernah salah alamat.
amang Rayyan keren.. ngasih photolgpelukan kesijalangAlana 😀😀😀
lanjut kk