NovelToon NovelToon
Fading Stitches

Fading Stitches

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Trauma masa lalu / Careerlit
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: AMDee

Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

Asap rokok yang disulut Stev menyebar ke dalam mobil.

"Bukankah tindakan kalian tadi sudah keterlaluan?"

"Keterlaluan? Hah... Kurasa tidak. Aku melakukan semua ini demi kebaikan bersama. Yah, aku mengakui kalau caraku menyampaikan hal itu memang terlalu mendadak. Tapi, kadang-kadang kita memang harus egois untuk mendapatkan kebebasan. Bukankah begitu?"

"Hah... kebebasan apa? Kita semua tahu, Aline sama sekali tidak tahu apa pun dalam masalah ini. Dia juga korban."

"Sudahlah, Stev. Kita tidak perlu membahas ini lagi—yang terpenting kita sudah menyampaikan semua itu pada Aline. Selebihnya kita lihat saja nanti, apakah ada perubahan dalam hidup Aline atau tidak."

"Sebelum kamu bertindak seperti ini, apa kamu sudah membicarakan hal ini pada Raga terlebih dahulu?"

"Tidak. Aku tidak berdiskusi dengan Raga. Aku tidak mau dia sampai mengetahui hal ini."

Stev mendecakkan lidahnya lagi. "Sudah kuduga, kalian berdua memang tidak bisa dipercaya."

"Terserah kamu saja, Stev. Kalau kamu ada di posisiku, aku yakin sekali, kamu juga pasti akan melakukan hal yang sama."

"Yah, apa yang bisa kukatakan lagi sekarang? Keluarga kalian memang rumit. Sudahlah, mulai sekarang aku tidak ingin terlibat dengan kalian lebih jauh lagi."

"Kalau kamu nggak mau terlibat dengan urusan kami, tutup mulut saja, Stev. Jangan ikut campur. Kalau perlu kamu juga pindah saja sana seperti Vany."

"Ya, baiklah." ketus Stev. "Pinggirkan mobilmu di depan rumah perawatan. Aku akan turun dan menjenguk Pak Askar."

"Kamu mau mengadu?"

"Hah? Aku bukan gadis remaja yang sedikit-sedikit mengadu pada papanya. Aku hanya ingin menemani Pak Askar bermain catur. Itulah tugasku."

"Bagus kalau memang begitu."

Ode menyandarkan kepalanya di jendela mobil. Wajahnya yang lelah tampak pucat sekali. Ia berusaha membendung air matanya, hingga helaan napas Ode jadi terdengar berat.

Bagi Ode, ini benar-benar hari yang melelahkan sekaligus paling menyakitkan baginya.

"Stop. Aku turun di depan."

Levi segera menepikan mobilnya tepat di halaman parkir. Stev buru-buru turun dan membanting pintu mobil.

"Tolong sampaikan salamku ke Pak Askar." Ode menurunkan setengah kaca mobilnya.

"Apa kamu tidak salah bicara?" Stev memperhatikan wajah datar Ode yang tak biasa. "Seharusnya kamu sendiri yang menjenguk ayahmu, bukan aku."

Ode memalingkan wajahnya. Stev mendengus kesal kemudian pergi tanpa sepatah kata pun.

Seketika air mata Ode mengalir. Levi menepuk-nepuk pundak Ode. Ia tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh gadis itu. Sebagai teman baik sekaligus pasangannya, Levi hanya bisa menenangkan Ode dengan membiarkan gadis itu menangis di pelukannya.

"Aku juga ingin melakukannya, tapi aku tidak pernah bisa."

...•••...

Aline berlari menyusuri koridor asrama sambil memanggil-manggil nama Dokter Gita. Dokter Gita yang tengah sibuk memasak di dapur seketika terkejut mendengar teriakkan Aline di ujung pintu.

"Kenapa? Ada apa?" Dokter Gita bergegas menghampiri Aline.

Aline mengeluarkan beberapa stel pakaian dari keranjang cuciannya. Dokter Gita mengernyitkan dahi.

"Apa yang akan kamu lakukan dengan pakaian ini?"

Alih-alih merespon pertanyaan itu, Aline justru malah mengerucutkan bibirnya. "Aku yakin, Dokter Gita tahu sesuatu tentang baju-baju ini, kan?"

Dokter Gita memiringkan kepalanya. "Maksud kamu apa, Lin? Saya tahu apa?"

Aline berdecak kesal. "Tentang semua ini. Dokter tahu kan, baju-baju ini bukan punyaku?"

"Ya, lalu?"

"Itu dia... Aku heran kenapa semua pakaian ini ada di lemariku? Dokter tahu sesuatu, kan? Atau ... Dokter Gita yang menempatkan semua pakaian ini di lemariku?"

"Hm, soal itu, toh..." Dokter Gita tertawa sembari menutup mulutnya. "Saya bisa saja cerita ke kamu, tapi apa kamu akan percaya sama ucapan saya?"

"Maksud Dokter?"

"Maksud saya, apa kamu benar-benar ingin tahu alasan pakaian kamu tiba-tiba tidak ada di lemari?"

"Tentu saja."

"Baiklah. Jadi, sekarang ini ceritanya kamu lagi cari baju-baju kamu yang hilang begitu?"

"Hilang?"

"Maaf, maksud saya rusak."

"Apa? Kenapa bisa rusak?"

"Loh, kamu lupa? Malam saat peristiwa bodoh itu terjadi, kamu kan merusak semua fasilitas di kamarmu. Bukan hanya dinding dan lampu-lampu saja yang kamu rusak, perabotan di kamarmu dan baju-baju kamu semuanya benar-benar rusak parah setelah kamu gunting dan lemparkan begitu saja. Kamu merobek semua sketsa dan pakaian sehari-harimu sampai tidak ada yang bisa diselamatkan."

"Jadi, tidak ada satu pun?"

Dokter Gita mengangguk. "Benar. Tidak ada satu pun yang bisa saya selamatkan. Saya juga sempat bingung harus bagaimana mengganti barang-barang di lemarimu itu. Setelah berpikir lama, saya akhirnya mencoba menghubungi Margin untuk meminta beberapa pakaianmu, tapi Margin bilang, dia tidak sempat membuatkan baju yang sesuai dengan ukuran kamu. Tidak ada satu pun di butiknya."

"Kalau begitu pakaian ini—"

"Pakaian yang ada di lemari kamu itu semuanya dikasih oleh Raga. Raga sengaja membawa seluruh koleksinya ke tempat kamu untuk mengganti baju-baju kamu yang sudah saya buang."

"Kak Raga melakukan ini?" Aline tampak kaget. Ia memegang kepalanya dan berjongkok cukup lama. Salah satu tangan Aline meraih sebuah baju dan memeriksa nama merk yang tertera di bagian lehernya. "RagamOde. Jadi, semua baju ini benar-benar punya Kak Raga?"

"Iya, kamu nggak salah. Raga memang memberikan pakaian-pakaian itu untukmu."

"Tapi, semua ini kan mahal, Dok?"

Dokter Gita terkekeh. "Ya, memang demikian, kalau ditotal harga semua baju itu bisa mencapai ratusan juta atau mungkin lebih. Tapi, semua itu tidak semahal hati sanubari kalian."

Aline mengernyit. "Apa maksud ucapan Dokter Gita?"

"Kamu masih belum mengerti, ya?" Dokter Gita menyuruh Aline untuk duduk di meja makan kemudian melanjutkan ucapannya, "Raga sangat menyayangi kamu, Lin."

"Apa? Maaf, Dokter, maksudnya apa sih?"

"Kamu ini tidak peka sekali, ya. Raga suka sama kamu, Lin. Dia sangat sayaaaang sekaliiii sama kamu," bisik Dokter Gita yang membuat Aline langsung tersipu.

"Tapi walaupun Raga memang menyukaimu, saya harap sih, kamu tidak menyukai Raga lebih dari sekadar teman. Kamu mengerti, kan?"

"Hah?" Dahi Aline mengernyit. "Mengapa begitu, Dok?"

"Heh, kok, kamu malah tanya mengapa sih? Tunggu, apa kamu juga menyukai anak tiri saya?"

"Ah, tidak. Maaf, soal itu aku... Tidak. Itu tidak mungkin... Yah, tentu saja, aku kan cuma..." Aline segera menutup bibirnya dengan sebelah tangan. "Maaf, sudahlah. Mari kita hentikan obrolan ini. Pertanyaan Dokter benar-benar ngaco."

Dokter Gita menggeleng-gelengkan kepalanya. "Padahal kamu loh, yang tanya duluan sama saya."

"Baiklah. Kita sudahi ini, oke? Jangan bahas lagi!"

Dokter Gita menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil berjalan ke dapur, wanita itu masih berdebat dengan Aline. Aline mengintip aktivitas Dokter Gita dan mengikutinya dari belakang.

"Ke sini, Lin. Nih, daripada kita membicarakan sesuatu yang tidak ada habisnya, bagaimana kalau kamu bantu-bantu pekerjaan saya di sini."

"Bantuin apa, Dok? Tanganku kan masih diperban. Bagaimana caranya aku bantu dokter?"

"Iya, saya tahu. Karena itu, kamu duduk saja di counter. Bantu saya mencicipi semua kue yang baru saya buat ini."

"Icip-icip semuanya, Dok?" Aline menatap beberapa loyang kue bolu di atas meja.

Dokter Gita terkikik geli. "Kalau perut kamu bisa diubah jadi buntalan karet sih, kamu boleh menghabiskan semuanya."

Aline mendesah kesal mendapatkan ejekan itu, ia segera mencuci tangannya dan mengambil sendok untuk mencicipi satu per satu kue yang sudah disediakan Dokter Gita di piring-piring kecil.

1
Ian
kenapa tuh
Ian
Bukan peres kan??
Ian
Bikin geregetan
Ian
/Panic/
Ian
Ikut kemana??!!
Ian
Pikirannya terlalu kolot /Smug/
Ian
Tertusuk
Ian
sending a virtual hug to Aline
Ian
Jadi kepikiran buat nulis ginian juga
Aimee
Terima kasih ya, Kak Eurydice sudah baca dan kasih dukungan di karya ini. Semoga nggak bosan buat terus mengikuti kisahnya Aline. Salam hangat dari Aline. (´∩。• ᵕ •。∩`) (*^3^)/~♡
Aimee
Sayangnya author nggak bisa menggambar, kalau nyomot gambar punya orang nanti kena pelanggaran hak cipta, Kak. Bikin gambar pakai AI aja ada hak ciptanya hiks
Eurydice
suka kesel sama orang yg suka nganggap urusan orang lain tuh enteng
Aimee: Hehe, betul. Aku juga begitu sebenarnya... (╥﹏╥)
total 1 replies
Eurydice
coba ditukar posisinya
Eurydice
gk peka dih
Eurydice
mental alind yg harus diperhatikan/Scream/
Eurydice
🥺😭
Eurydice
hebat bener kebalikannya aline
Eurydice
😭
Eurydice
akhirnya tau kenapa diawal pesimisbgt
Eurydice
dulu aku jga daftar di FD cuma gak keterima
Aimee: Wah, serius, Kak?
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!