NovelToon NovelToon
Surai Temukan Jalan Pulang

Surai Temukan Jalan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Sci-Fi / Fantasi Timur / Spiritual / Dokter Genius / Perperangan
Popularitas:182
Nilai: 5
Nama Author: Hana Indy

[Sampul digambar sendiri] Pengarang, penulis, penggambar : Hana Indy

Jika ada yang menganggap dunia itu penuh dengan surga maka, hanyalah mereka yang menikmatinya.
Jika ada yang menganggap dunia penuh dengan kebencian maka, mereka yang melakukannya.

Seseorang telah mengatakan kepada lelaki dengan keunikan, seorang yang memiliki mata rubah indah, Tian Cleodra Amarilis bahwa 'dunia kita berbeda, walau begitu kita sama'.

Kali ini surai perak seekor kuda tunggangnya akan terus memakan rumput dan berhagia terhadap orang terkasih, Coin Carello. Kisah yang akan membawa kesedihan bercampur suka dalam sebuah cerita singkat. Seseorang yang harus menemukan sebuah arti kebahagiaan sendiri. Bagaimana perjuangan seorang anak yang telah seseorang tinggalkan memaafkan semua perilaku ibundanya. Menuntut bahwa engkay hanyalah keluarga yang dia punya. Pada akhirnya harus berpisah dengan sang ibunda.

-Agar kita tidak saling menyakiti, Coin-

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 Tumpukan Daging

...“Seekor kumbang hinggap pada kuncup bunga mekar. Biasanya akan turun hujan kala itu, katanya.” -Surai....

Bukalah sebuah buku! Ketika malam tiba sebuah dongeng akan dikisahkan. Mereka yang terperangkap dalam cahaya dan tulisan menjadi wujud nyata seorang manusia. Para gadis kecil bermimpi dalam tidur. Sepatu kaca mungil, gaun megar, rambut panjang dengan cahaya mahkota hinggap pada kepalanya. Dunia fantasi yang diimpikan semua gadis kecil ada dalam genggaman lelaki dengan paras unik. Mata rubahnya meruncing tajam setelah mendengar sayup ringkikan kuda.

Dari balik semak belukar hutan belakang rumahnya. Pagar tinggi dia panjat sedemikian hingga menuju batas lainnya. Mengawasi sejenak apakah ada penjaga yang tidak merelakan tuannya pergi.

Berbekal bunga tepian hutan, terus mengikuti ke mana suara ringkikan kuda membawanya. Menuju..,

Dunia fantasi yang didambakan semua orang.

Lelaki dengan rambut hitam mengurai lurus menggapai kuda bersurai perak, memiliki tanduk dikepalanya. Lalu menundukkan kepalanya ketika melihat lelaki ini merentangkan tangannya.

“Unicorn, sudah lama tidak menyapamu.”

Begitu riang ringkikan itu.

Lelaki memiliki mata hitam-perak indah, hidup mewah dalam sebuah rumah. Berpakaian rompi serta celana diatas lutut juga sepatu bootsnya, walau begitu, bangsawan ini sering menyusahkan pelayannya.

“Tuan Tian,” suara berteriak kencang memanggil namanya.

Tian lelaki itu hanya mendecih.

Melihat adanya pedang juga perisai yang menerobos melewati rerumputan. Dilihatnya lelaki yang memang sering menjaga gerbang perbatasan belakang. Ciri khasnya dengan pedang dan perisai dikarenakan banyaknya penyerangan hewan liar.

“Aku akan pulang. Aku tidak kabur.”

Meyakinkan jawaban atas tatapan penjaganya melihat penuh tanya.

“Tuan Besar Amarillis mencari Anda, Tuan Muda. Sebaiknya kita segera kembali.”

“Aku akan pulang sebelum matahari tenggelam. Kamu santai saja.”

“Tuan Besar tidak mengijinkan Anda memasuki kawasan hutan.” Sedikit kepanikan berada diraut wajahnya

“Aku akan bilang ayah nanti,” jawab Tian.

Tipikal anak yang menuruti apa yang dikatakan orang tua. Tetapi, dalam urusan bermain dia sangat suka melanggar.

Sekarang usianya menginjak 12  tahun, waktu yang sangat muda untuk menjelajahi dunia.

Seorang pengawal itupun masuk ke dalam gerbang. Hendak melaporkan apa yang dia ketahui kepada penjaga pribadi Tuan Tian. Lelaki berperawakan gagah, dengan mata hampir serupa dengan adiknya berdiri menyambut penjaga yang keluar dari perbatasan lain.

“Tuan Muda Lunar,” sapa penjaga itu.

“Adikku di hutan?” sesuai dengan tebakan yang benar.

“Iya Tuan Muda. Saya sudah memperingatkan.”

“Tidak apa,” jawab lelaki dengan suara sedikit berat dan serak. “Dia hanya tidak memiliki teman seusia dengannya.”

Tian hanya menatap kepergian penjaganya dengan senyuman kecil. Bermain bersama dengan kuda bertanduk, juga tanpa sengaja melihat sayap kecil melintasi matanya. Peri dengan sayap biru melambaikan tangan. Tian tersenyum. Diulurkannya tangan lalu peri kecil itu bersandar. Bercengkerama dengan teman peri-nya, sembari menatap Tian lalu berbisik.

Begitu nampak indah pulau yang sudah dikenal dengan surganya mitologi. Kuda Bertanduk, peri, naga, berada dalam balutan indah hutan belantara. Dinamai Pulau Arash. Lokasi paling berkabut dari kebanyakan pulau atau negara lainnya. Sering mencoba diambil dan diperalat oleh negara lain. Disinilah mereka mengembangkan kemiliteran, namun sedikit sayang jika terbuka dengan peradaban.

Tian meletakkan tikus bersayap yang dia pegang. Berkaca pada danau kecil di sebelahnya lalu membasuh mukanya. Berjalan menuju kuda yang menunggu sembari menggesekkan kepalanya karena gatal. "Unicorn, aku akan pulang."

Begitu suaranya terdengar, ringkikan kuda itu sedikit sedih. Dielusnya pelan lalu bersiap mengantarkan Tian menuju perbatasan benteng belakang. Memberi penghormatan lalu mengejar mimpi malam yang akan segera hadir.

Tian memanjat benteng dengan kaki tangannya. Sejak lahir Tian memiliki keistmewaan. Lelaki itu akan selalu memanjat benteng tinggi, pendek, selicin apa, akan selalu bisa melakukannya.

Melihat wajah kakaknya yang berada di bawah kakinya, Tian hanya mendengus sebal. "Aku kira kamu sudah pergi."

"Ayahanda memanggil siang tadi dan kamu hanya bermain dengan hewan. Tidakkah jika kamu menuruti kata ayah?" Tipikal lelaki yang sangat acuh dengan adiknya walau wajahnya tidak menunjukkan keharusan itu.

Menunduk hormat kepada sang ayahanda sudah siap dengan teh dingin. "Maafkan aku ayahanda," ucap Tian.

"Tian, apakah dunia luar begitu bebas untukmu?"

Pertanyaan yang membuat Tian meragu. "Begitu," jawabnya pada akhirnya.

"Esok, kamu akan menjalani pelatihan militer. Ayahanda harap kamu dapat bersekolah dengan baik."

Kedua jemarinya dia tautkan di depan badannya. Perjalanan militer yang sudah ditempuh oleh kakaknya dimana Tian akan ditugaskan dalam hal-hal jauh dari rumah. Hidup bebas dan bertahan hidup. Mengabdikan dirinya untuk negara agar bisa mewarisi gelar keluarganya punya sebagai Regen.

"Kelulusanmu juga hanya seminggu lagi," lanjut ayahandanya. Adalah fakta yang tidak dipungkiri.

Tian juga beranjak dewasa. "Baik ayahanda," jawabnya lemas.

Tian berjalan lesu menuju kamarnya berada di lantai dua rumah besar itu. Menatap anak tangga berlantai licin sembari menghitung jumlahnya karena mengalihkan pemikirannya sendiri. Dunia bebas yang Tian inginkan adalah di alam, bermain dengan banyak hewan, bebas seperti bagaimana dia menginginkan sayap kebebasan.

"Bukankah hanya kakak yang menjadi pewaris Regen," rutuknya sepanjang perjalanan menuju kamarnya. Istilah kepala pulau. Seseorang yang memiliki pulau dan membangun perekonomian.

Merebahkan dirinya malas dalam sofa panjang. Sekilas melirik pemandangan luar dari balik jendela. Melangkah menuju jendela besar, begitu indah kerlipan bintang bertengger diangkasa. Awan tipis menghiasi malam kala itu.

Esok hari tidak akan disambut lelaki ini, menunggangi kereta kudanya lalu berhenti pada akademi militer yang akan menjadi tempat belajarnya baru. Sebuah ambisi untuk menyelesaikan pelajaran dengan cepat lalu keluar dengan membawa gelar.

Tidak lupa mampir ke sekolah lamanya untuk mengambil surat kelulusan. Bagi Regen yang paling terhormat di pulau, Tian cukup kesepian. Beberapa anak yang sungkan berteman dengannya hanya karena derajat. Ada juga yang mengejek jika dia terlalu kaku. Pada dalam lubuk hatinya Tian hanya punya teman.

Namun, begitulah cara dunia memperlakukan bangsawan.

Tian mengikuti sesi wawancara unuk masuk militer dan lolos dengan nilai yang bagus. Tidak sengaja melihat lelaki seumuran dengannya juga mendaftar sekolah yang sama. Lelaki yang dia kenal dengan Baron. Adalah putra semata wayang menteri pertahanan militer.

"Baron," sapa Tian ramah. Lelaki itu hanya mengacuhannya lalu memilih bidang ekstra yang akan dia ikuti. Di Akademi Militer yang Tian punya anak bebas menentukan bidang tambahan untuk penunjang pelajaran utama.

"Siapa namamu?" tanya lelaki itu ketus.

"Tian," jawabnya cepat. Berharap akan ada teman yang juga memperlakukan dirinya teman.

"Aku Baron," salam kenal darinya.

Tian tersenyum. "Salam kenal."

"Salam kenal, aku tidak tahu darimana asalmu. Memangnya kamu putra siapa?"

Ribuan pertanyaan mampir sejenak. Apakah seperti itu dunia bangsawan yang tidak dia ketahui? Mengingat dirinya selama ini hanya terkurung dari penjara benteng ayahnya. Tian memilih untuk tidak menjawab dan hanya menundukkan kepalanya kikuk.

"Tidak apa, aku berteman dengan siapa saja."

"Begitulah," jawab Tian. Menyembunyikan identitas adalah hal bodoh yang dia ketahui. Namun, terlepas dari itu semua ada baiknya jika dia melakukan untuk membuat hal bodoh lainnya.

Tian sempat melirik kedua pengawal yang ada dibelakang lelaki itu. Bahkan, pengawalnya saja tidak mengetahui jika Tian adalah putra Regen. Menyadari jika Tian tidak pernah tampil dilayar kaca, berbeda dengan kakaknya yang akan menjadi pewaris. Tian sering berada dibalik layar. Ditambah dengan usianya belum 17 tahun. Belum akan diumumkan sebagai pewaris apapun.

Hari terik mewarnai pelatihan fisik militer yang keras. Sudah lama Tian tidak berlari dalam jauhnya kilometer. Bersama dengan teman sekelasnya sesombong apapun dirinya, hanyalah dia yang bisa Tian dekati saat ini.

Seorang lelaki berdiri tegak di dalam ruangan. Sedikit mengintip siapa yang berlarian dibawah terik matahari untuk pelatihan fisik. "Sepertinya dia sudah bisa berbahagia sedikt ya," ujar seorang kakak, Tuan Muda Viper.

Banyaknya tanda penghargaan berada dilengan juga saku bajunya mendekati jendela. "Tuan Muda yang menawarkan adik Anda untuk melakukan pelatihan militer lebih cepat."

Senyum diwajahnya mampir. "Aku tahu jika dia tidak memiliki banyak teman di Akademi, jadi aku menyarankan jika Tian bisa mengikuti pelatihan ini lebih awal."

"Tetapi, mengajukannya sampai satu tahun saya rasa Anda terlalu berlebihan."

"Haha, kamu terlalu kaku." Menghela nafasnya lega. "Aku memperhatikan jika Tian cukup tertutup. Dari sekian banyaknya teman dia memilih bersama hewan. Ah, lelaki itu."

"Haha, Anda juga memerhatikan masa depan adik Anda dengan baik Tuan Muda."

"Aku hanya ingin dia hidup lebih lama dariku," lirihnya.

Harapan telah lebih banyak diutus pada siang itu. Perlahan namun pasti menuju sikap yang diinginkan. Adiknya juga telah tubuh menjadi lelaki yang tidak pantang menyerah, ambisius seperti halnya dirinya. Pergerakan waktu selama tiga bulan pertama membuahkan hasil yang sangat memuaskan.

Itulah harapan kecil dari sang kakak.

...***...

Banyaknya kelas membuat rasa lelah cepat menghampiri. Tian berbaring di atas rumput bergelora manja membelai dirinya. Setelah pelatihan dinyatakan usai, kini hanya tinggal bersantai. Bersama dengan rekannya semenjak masuk.

"Baron, minggu ini akan ada pesta kembang api, bukan?"

"Iya," jawabnya singkat. Memang begitulah adanya.

Tian teringat jelas akan sebuah danau yang dia lihat berada dipinggiran hutan. "Hm, apakah kamu melihat kembang api dari danau?"

"Di mana ada danau, kita bahkan hanya memiliki satu, dan itupun sudah ramai dengan orang."

Tian bangkit. "Kalau begitu kita akan menuju hutan."

"Hutan yang berada di belakang rumah Regen?" Memastikan dirinya tidak salah dengan pandangan temannya. Begitu baik hati Baron walau sedikit takut dengan ular dan jenis hewan melata.

"Iya, aku yakin kamu akan menyukainya."

"Kamu gila!" teriaknya tanpa sadar. Baron bangkit dan menatap lekat manik sahabatnya. "Lokasi itu dijaga oleh penjaga Regen."

"Iya," jawab Tian enteng. "Apakah kamu bermasalah dengan itu?"

"Kita akan kena habis oleh penjaga Regen."

"Aku yang akan meminta ijinnya."

Senyuman cerah sekaligus meyakinkan membuat benak Baron selalu bertaya darimanakah asal lelaki itu? Walau dia sudah mencari dalam platform masih saja selalu bertanya. "Apa kamu memiliki koneksi dengan Regen?"

Tian hanya tersenyum. Lalu membarngkan badannya dengan enteng. Melihat matahari di ufuk Barat yang seakan tenggelam di bukit, menemani perjalanan indah menghayal mengenai masa depan.

Setidaknya ada ratusan yang hadir dalam meriahnya pesta tahunan. Kali ini digelar dengan pesta topeng dibalut banyak sirkus juga atraksi gila. Berbekal banyaknya jajanan juga memakan es krim pedas ditaburi dengan bubuk cabe. Menurut Baron dan Tian adalah hal gila yang sudah mereka lakukan.

"Huwek," Baron mengusap bibirnya yang merah akibat bubuk cabai.

"Ini idemu," sangkal Tian sembari mengipasi mulutnya. Melihat diantara kerumunan, kakaknya berjalan layaknya bintang dikerubungi lalat. Para gadis, wanita, permpuan juga turut melihat ketampanannya. Tian memiliki ide konyol. Ditambahkannya bubuk cabai masih tersisa. Menghampiri Tuan Muda Viper.

"Bisakah jika Anda mencobanya," pinta Tian.

Baron dengan cepat mengejar temannya. Menghentikan ide konyol yang akan dia lakukan. "Apa yang akan kamu lakukan, sialan," bisiknya Baron kesal.

Tuan Muda Viper mengambil es krim itu lalu menjilatnya. Mengangkat alisnya ketika wajahnya berubah menjadi sangat senang. "Aku suka," jawab Tuan Muda Viper.

"Lah," Tian malah heran. Terlupa jika kakaknya memang menyukai hal menjijikkan. Sembari mengangguk menikmati es krim pedas.

Baron melihat es krimnya yang masih utuh, sedikit menyodorkan tangannya. "Untuk Tuan Muda," pinta Baron.

Dengan senang hati Tuan Muda Viper mengambilnya.

Keduanya hanya melongo melihat Tuan Muda Regen menghabiskan es krim itu. Berterima kasih kepada mereka hingga berjalan melewati keduanya.

“Apa dia menyukai hal aneh?” Baron terlihat linglung.

“Aku rasa,” jawab Tian.

Tian melihat arlojinya hampir menunjukkan tengah malam. Momentum yang akan disaksikan keduanya akan segera tiba. “Ayo cepat!” Perintah Tian ketika dia melihat petugas yang akan menyalakan kembang api itu.

Baron mengikuti langkah Tian, menyusuri sedikit sungai kecil, melompatlah lalu menyusuri sedikit perbatasan benteng belakang Rumah Regen. Beberapa penjaga mendelik kepada langkah kaki yang terdengar.

“Hoi,” Baron memanggil pelan. “Penjaga melihat kita.”

“Tidak apa. Dia hanya memperhatikan kita.”

“Tuan Muda Tian sebaiknya Anda tidak menuju hutan.” Suara penjaga membuat Tian merinding. Hanya saling melihat ketus.

“Tidak mau. Apakah kalian diperintahkan kakak untuk mencegahku?”

Penjaga itu menggeleng. “Tidak Tuan Muda.”

Tian melenggang bersama dengan Baron masih mengikuti di belakang. “Lelaki itu memanggil kamu Tuan Muda.”

“Ya, penjaga perbatasan. Kami sering bertengkar.”

“Hee,” lirih Baron.

Luasnya padang rumput memanjakan mata. Kunang-kunang terbang bebas menghiasi puncak rumput. Ada beberapa hewan menghiasi telinga. Tian menepuk tangannya. Suara ringkikan kuda terdengar samar dari hutan.

Baron terjingkat ketika melihat kuda bersurai perak menghampiri dirinya. Kuda itu mengenduskan hidungnya. Terasa samar dia menyukai bau tubuh Baron.

“Kurasa dia menyukaimu.”

“Benarkah?” Baron mengusap kepala muda bersurai perak itu ditundukkan kepala membuat senyum Baron manis.

Duduklah ketika jam tengah malam, terdengar samar. Berbaring sejenak dalam rumput sedikit basah karena embun, dihiraukan. Angkasa yang selalu memanjakan mata Tian. Begitu juga langit hitam dengan sedikit bintang malam ini. Kepulan asap perayaan festival sudah dilaksanakan.

Bagaimana kembang kerlipan itu menjajak diudara. Melenggang mesra lalu hilang masanya. Meledak hasrat siapa saja yang melihatnya.

“Aku jarang melihat kembang api,” suara Baron memecah keheningan.

Tian hanya tersenyum menanggapi. “Mungkin sedikit dingin duniamu. Sejujurnya ini adalah pertama kalinya aku memiliki teman yang bisa diajak bermain bersama.”

Baron menyetujuinya. “Kamu berasal dari keluarga Regen. Aku juga akan menjauh jika menjadi temanmu.”

“Beruntungnya kamu menyadarinya ketika kita sudah berteman.” Sedikit kepedihan mampir diotaknya. “Mengapa mereka menganggap berteman dengan Regen mengerikan?”

Sekilas kembang api sudah mulai surut. Bersiap dengan kembang besar yang akan diledakkan diudara. Tian menantikan momen yang sudah lama tidak dia lihat.

“Mungkin mereka takut dengan kalian.”

“Kami juga tidak akan secara sembarangan membunuh penduduk. Kami tidak memiliki keberanian seperti itu. Memangnya apa yang kalian takutkan?”

Baron menggeleng. “Entahlah, tetapi aku hanya merasa jika berteman dengan kalian akan mengemban hormat yang tiada kira.”

Apa yang dikatakan oleh lelaki itu adalah benar. Regen adalah pemilik pulau. Paling dihormati. Paling disanjung. Tingkah laku mereka akan disorot setiap saat. Tidak terkecuali, Tian. Walau begitu, Tian bersyukur karena bukan dia yang akan menjadi Regen berikutnya.

Tetapi, bagaimana jika perasaan kakaknya juga sama?

“Apakah kakak juga tidak memiliki teman?” Suara lirih membelai keheningan.

Baron hanya melirik sekilas mata sendu itu. “Tian, mengapa kembang api paling besar belum dinyalakan?” Bersahabat mengalihkan pembicaraan agar tidak berlanjut kesedihan.

“Benar juga, mengapa lama ya?”

Kepulan asap mulai terbentuk. Tian menunjuk. “Itu,” serunya.

Kepulan asap hitam sedikit api pada bawah kepulannya. Baron dan Tian segera bangkit. Itu bukan kembang api. Apa yang ada dihadapan mereka bukan kembang api. Tidak lama setelahnya banyak suara jeritan yang terdengar. Bom mulai menggelegar.

Baron berlari mendahului Tian. Berusaha menangkap lelaki itu. “Baron, Tunggu!”

Teriak Tian kencang. Diraihnya tangan Baron. Wajah kepanikan terpatri di sana. “Ada penyerangan Tian. Kita harus bergabung dengan tim lainnya!”

“Kita jangan lewat jalur utama. Kita lewat bukit. Itu lebih aman.” Kuda bersurai perak itu meringkik lalu membawa satu temannya muncul.

Baron mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Tian. Bergegasnya mereka menaiki kuda dan berlari kencang. Menembus gelapnya hutan berbekal dengan kunang-kunang yang memandu jalan mereka.

Suara bom memekakkan telinga. Berhentinya kuda poni segera. Ketakutan sedikit melanda hewan itu. Dilihatnya seorang lelaki dengan bom diantara tangan dan kakinya. Bersuara keras menyerukan pembantaian. Tian memutar kudanya. Melewati distrik militer yang ada disebelah bukit.

Tempat dimana markas paling luar kemiliteran.

Terkejutnya matanya ketika semua pasukan kekar itu sudah dibantai oleh semua orang. Bom terus diledakkan sedangkan, penduduk sipil terus ketakutan.

“Tian! Kita harus menemui militer utama!”

Penyerangan begitu cepat. Mengobarkan api dengan setidaknya 50 pasukan pemberontakan.

“Baron, aku mungkin masih muda dan belum mengerti tentang pemerintahan. Tetapi, maukah kamu percaya padaku?” Tian berteriak kencang melebihi banyaknya deruan asap bom.

“Pergilah!” Kuda bersurai coklat itu segera mengalihkan laju Baron. Tian menggunakan serbuk kekuatannya untuk menunjukkan jalan yang akan Baron lewati.

“Tidak! Tunggu apa yang akan kamu lakukan!”

Teriakan Baron terkesiap ketika melihat sandi yang dikirimkan oleh Tian kepadanya.

Mungkin Regen akan berakhir di sini!

Setelahnya tanpa pikir panjang memalingkan muka lalu berlari kencang kuda sekencang-kencangnya. Malam itu dirinya masih muda harus mengemban kekuatan dari bermacam-macam pundak. "Sudah aku bilang, aku tidak mau berteman dengan Regen."

Hanya lirikan Tian lihat dari sudut matanya. Melihat semua penduduk sipil menangis, meraung tidak berdaya. Menangis bukan lagi wajahnya, air matanya namun, batinnya.

Malam secepat itu membunuh ratusan penduduk sipil.

Malam secepat itu merenggut kenyataannya asri.

Tian bersiap dalam tenda militer. Dilihatnya banyak barang dan prajurit yang sudah bergelimpangan.

Malam ini 50 orang harus mati!

Penjajah yang tertawa lepas dalam indahnya malam.

Menarik senapannya, menembak satu per satu lelaki bertubuh kekar dengan seragam hitam pekat, bertudung hitam juga wajah yang ditato kotak.

Bendera Mata Satu bertengger di dada masing-masing.

Suara peluru itu melesat, membelah angin. Menusuk telat di jantung salah satu anak buah-yang dia kenal sebagai penjajah Kota Tanpa Suara.

Satu mayat bergelimpangan. Waspada merajai mata mereka. Diliriknya lelaki dengan senapannya. Maju tidak gentar melawan ke 50 prajurit.

Bom molotov segera dilancarkan kepada lelaki kecil. Tian gesit menghindari. Dari semua banyaknya tentara militer hanya Regen yang berkemungkinan memiliki supranatural.

Pusat kota akan menyaksikan pertempuran mereka.

Dilihatnya kakaknya masih bersembunyi menyusun rencana. Hendak berlari ketika melihat adiknya yang dia sayang bertempur sendirian.

“Lindungi Tian!” Perintah Tuan Muda Viper.”

“Tidak!” Teriak Tian. “Ungsikan mereka para guru, dokter, dan calon dokter. Ungsikan mereka yang memiliki hubungan kemiliteran tertinggi! Warga sipil yang masih bisa berlari! Nyawaku tidak lebih berharga dari mereka.”

Sedikit kegoyahan dari beberapa penjaga. Pada akhirnya Tuan Muda Viper mengangguk.

“Tidak ada yang menggantikan Regen.” Tuan Muda Viper nampak khawatir.

Pada malam itu di tengah kota yang hancur lelaki berbadan besar penuh dengan tatto berjalan diantara tumpukan mayat masyarakat sipil.

"Bawa kepala Regen!" peintahnya mutlak.

Seakan tahu hidupnya tidak sampai esok. Maka, siapkan pedang terbaikmu! Seperti yang telah ditakutkan oleh Sang Regen terdahulu, Pulau Arash adalah tipu daya hebat untuk setiap kekayaan yang ada. Tidak ada yang mampu menahan hasrat ingin menguasai. Namun, Regen memiliki Regen, yang akan melawan dunia.

Melihat dengan ratapan mengasihi rumah yang menjadi tempat tinggal mereka musnah sudah. Seseorang kakak telah menarik pedangnya. Melawan! Begitu juga militer yang meninggalkan keduanya untuk bertarung sendirian. Saat itu, harus ada yang berjaga di gerbang depan.

Tian mengarahkan bidiknya. Anak buah yang mencoba melawan Tian, segera Tian bergesit. Menjatuhkan lelaki dengan menendang tubuhnya.

Sang kakak telah menghunuskan pedangnya. Melihat banyaknya tusukan yang didapat oleh salah satu anak buah pemimpin, membuat Tuan Muda Viper tersenyum lega. Mungkin ada sedikit asa.

"Sekte Uno!"

Tuan Muda Viper terkejut. Tangan yang mengadah ke atas membuat malam semakin gelap. Dalam penerangan minim ada suara gemuruh yang jauh datangnya. Menyambar-nyambar daratan dengan kilat petirnya. Kekuatan Sekte Uno Pemuja Iblis yang mendapat kekuatan dari cara kotor. Mereka mengikat janji dengan iblis dan melakukan penumbalam dengan jenis anak kecil. Siapa yang tidak akan hafal suara lantang yang terus memanggil penumbalan mereka?

Tanpa tapi Tuan Muda Viper kini menyingkirkan tubuh Tian sembarangan. menendang tubuh anak lelaki dengan kaki sempurna. Terguling dalam tumpukan mayat anggota kemiliteran lainnya. Sebuah penumbalan harus gagal saat itu. Setidaknya ribuan volt menyambar tubuh kekar kakak laki-laki Tian.

Sejumlah tangis yang dia deraskan pada tanah tumpah sudah. Sedikit asa? Tidak. Bahkan hampir tidak ada harapan sama sekali. Tian hanya terpaku, melihat tubuh kakaknya yang gosong tanpa meninggalkan pesan apapun.

"Sialan! Lelaki itu!" Begitu merah amarah.

Lelaki yang kenal pemimpin Sekte Uno, kerap dipanggil Tuan Uno menendang tubuh gosong kakaknya. Cengkeram tangan Tian memegang senjata lepas sudah. Serasa hatinya remuk redam. Pasrah dengan teriakan yang diperintahkan Tuan Uno. Apakah dia akan membuat Tian menjadi korban selanjutnya? Sekedar menyimpan untuk bulan depan.

Dijambaknya rambut Tian, meludahi wajahnya dengan menjijikkan. Seakan lelaki keras itu mengatakan sesuatu, namun hanya dengingan yang Tian tahu.

Hanya satu yang Tian tahu, fakta yang tidak akan pernah Tian lupakan setiap dia melangkah.

Lelaki itu tidak tahu jumlah persis masyarakat Pulau Arash.

Bersambung...

1
Galaxy_k1910
ilustrasi karakternya keren
@shithan03_12: Wuahh makasih ya
total 1 replies
༆𝑃𝑖𝑘𝑎𝑐ℎ𝑢 𝐺𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
dia cewek apa cowok thor?
@shithan03_12: kalau Tian cowok..
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!