NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦝꦸꦃ

Amarga sing kuwat bakal tetep lestari.

Sore itu, langit mulai meredup dengan semburat jingga yang memancar di ufuk barat. Mela masih sibuk merawat ibunya yang terbaring lemah di tempat tidur. Satu persatu tugas harus dilakukannya, mulai dari memandikan, membajui, hingga memberi makan. Wajah ibunya yang pucat menambah beban di hatinya, namun ia tak pernah mengeluh. Itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Setiap gerakannya dipenuhi ketelitian, seolah tak ingin meninggalkan ibunya dalam keadaan yang kurang nyaman.

Sambil memandikan, ia mencoba mengingatkan diri untuk tetap kuat. Sudah bertahun-tahun ia melakukan semua ini sejak ayahnya meninggal, dan Mela tahu bahwa ibunya tak bisa lagi berbuat banyak. Setelah selesai memandikan, Mela kembali membajui dengan lembut dan memberi makan dengan penuh kasih. Setiap kali ibunya makan, Mela selalu memastikan bahwa ibunya merasa nyaman dan tenang.

Malam pun menjelang. Suara azan magrib terdengar dari kejauhan, dan Mela tahu waktu semakin sempit. Ia harus segera pergi ke ladang untuk mengambil jahe dan kunyit yang mereka tanam. Jamu yang dibuatnya adalah satu-satunya sumber penghasilan keluarga mereka. Dengan hati-hati, Mela mengambil kantong dan berjalan keluar dari rumah.

Ladang mereka terletak cukup jauh, dikelilingi oleh pepohonan dan semak-semak. Mela menyusuri jalan setapak yang biasa ia lalui setiap sore, langkahnya terburu-buru, namun tetap hati-hati agar tidak tergelincir. Sesampainya di ladang, ia mulai memetik jahe dan kunyit dengan cekatan, sambil memikirkan berapa banyak yang harus dipetik untuk memenuhi pesanan jamu besok.

Pekerjaan itu tidak mudah. Menekuk tubuh untuk mencabut jahe yang sudah mengakar, kemudian merobohkan tanaman kunyit yang sudah siap panen, membuat tubuhnya merasa lelah. Namun, ia tahu ia tak punya pilihan. Waktu terus berjalan dan ibunya membutuhkan perawatan, sementara mereka sangat bergantung pada penjualan jamu untuk bertahan hidup.

Setelah cukup banyak mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan, Mela menatap ladang mereka sejenak.

"Manawi saged kasagedaken, mesthi badhe angsal asiling."

Mela kembali duduk di gubuk sederhana yang ia buat dengan tangan sendiri. Gubuk itu terletak di tepi ladang mereka, sebuah tempat yang penuh kenangan dan perjuangan. Dindingnya dari anyaman bambu yang sudah mulai rapuh, atapnya dari daun nipah yang melindungi dari hujan dan panas.

"Bocah ayu putra-putri kraton Demak, punapa ingkang panjenengan lakoni ing ngriki? Wektu sampun wanci malem."

Mela, yang sebelumnya terdiam, mendengar suara itu kembali. Suara lembut namun tegas yang memanggilnya, membuatnya terkejut. Ia menoleh ke sekeliling, mencoba mencari asal suara yang misterius. Setelah beberapa saat, matanya tertuju pada sebuah bayangan di antara pepohonan yang mulai gelap. Tanpa ragu, Mela melangkah mendekat, penasaran dengan suara yang memanggilnya.

"Pangapunten, punapa ingkang nenek lampahi ing ngriki?"

"Panjenengan punika, wanci malem kados mekaten, punapa ingkang panjenengan lampahi ing ngriki, ayu?" tanya nenek itu seolah mengalih pertanyaan Mela.

"Aku kemari cuma mau mengambil kunyit dan jahe ini," ujar Mela sambil menunjukkan hasil panennya kepada nenek itu. Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit nada gugup dalam ucapannya. Ia merasa tak biasa berbicara dengan seseorang yang tiba-tiba muncul di ladang pada malam seperti ini.

Mela mencoba tersenyum sopan untuk menghilangkan rasa canggung. Tangannya masih memegang erat ikatan kunyit dan jahe yang baru saja dipetiknya dari ladang. "Ini buat bahan jamu untuk dijual besok pagi," tambahnya pelan, berharap nenek itu memahami alasannya berada di tempat itu meskipun malam sudah larut.

Nenek itu menatapnya dengan mata tajam namun penuh rasa ingin tahu. Seolah-olah sedang mencari sesuatu dalam ucapan dan gerak-gerik Mela. Hening sejenak melingkupi mereka, hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut melalui pepohonan di sekitar ladang.

"Manawi nenek piyambak, punapa ingkang nenek lampahi?"

Nenek itu menghela napas panjang, suaranya terdengar lemah namun penuh kejujuran. "Gini, Nak," ucapnya, sambil menunjuk ke arah sebuah gubuk kecil di sudut ladang. "Aku tidak punya tempat tinggal. Sudah lama aku hidup sebatang kara. Gubuk itu, meskipun reyot dan hampir roboh, setidaknya bisa menjadi tempatku berteduh dan beristirahat dari dinginnya malam."

Mela memandang ke arah yang ditunjukkan nenek itu.

Mela memandang nenek itu dengan tatapan bingung bercampur heran. "Nek," ucapnya pelan, mencoba menjaga nada suaranya agar tetap sopan, "itu gubuk yang saya buat sendiri. Saya gunakan untuk istirahat kalau capek bekerja di ladang ini." Kata-katanya terhenti sejenak, matanya kembali memandang gubuk kecil itu yang tampak jelas di bawah rembulan.

Nenek itu tersentak sedikit, lalu menundukkan kepala. "Oh, iya kah?" jawabnya dengan nada penuh penyesalan. "Maafkan nenek, Nak. Nenek benar-benar tidak tahu kalau itu gubuk milikmu. Nenek hanya menumpang tidur, tak ada niat mengganggu." Suaranya terdengar tulus, tapi ada rasa malu yang terlintas di wajah keriputnya.

Mela menghela napas panjang, mencoba memahami situasi ini. Memang, gubuk itu sengaja ia buat tanpa kunci di pintunya, agar mudah ia masuki kapan saja. Ia tidak pernah terpikir ada orang lain yang akan menggunakannya, apalagi seorang nenek tua yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

"Sepertinya nenek tinggal di sini malam-malam saja, ya?" tanya Mela hati-hati, mencoba mencari tahu lebih banyak. "Kalau siang, saya tidak pernah melihat nenek di sekitar ladang ini."

Nenek itu mengangguk pelan, wajahnya penuh kerendahan hati. "Iya, Nak. Nenek hanya datang saat malam. Siang hari nenek pergi mencari makan atau mengumpulkan kayu bakar di tempat lain. Nenek tidak ingin mengganggu siapa pun di sini."

Ada jeda hening di antara mereka. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari ladang. Mela merasa iba, tapi juga sedikit bingung. Gubuk itu adalah hasil kerja kerasnya, tempatnya melepas lelah setelah hari yang panjang di ladang. Namun, ia juga tak tega melarang nenek itu yang tampak begitu membutuhkan tempat berteduh.

"Baiklah, Nek," ujar Mela akhirnya, dengan nada lembut tapi tegas. "Kalau nenek memang butuh tempat untuk tidur, tidak apa-apa nenek tinggal di situ. Tapi lain kali, beritahu saya dulu, ya? Supaya saya tidak bingung."

Nenek itu tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak. Kau benar-benar baik hati. Semoga kebaikanmu ini dibalas Tuhan," ucapnya dengan tulus.

Mela melihat ke arah langit yang semakin gelap. Ia teringat ibunya yang pasti sudah menunggu di rumah, dan rasa khawatir segera merayapi pikirannya. "Aduh, aku kelamaan di sini," gumamnya pelan sambil melirik hasil panen yang ia genggam. Ia menoleh kembali kepada nenek itu. "Nek, aku harus segera pulang. Ibuku sudah menunggu di rumah."

Nenek itu menatapnya dengan mata lembut, menyiratkan rasa terima kasih atas kebaikan hati Mela sebelumnya. "Oh iya, Nak. Hati-hati di jalan. Dan terima kasih karena sudah mengizinkan nenek menumpang di gubukmu," ujar nenek itu dengan tulus.

Mela tersenyum tipis. "Iya, Nek. Nenek istirahat saja, ya. Aku pamit dulu," katanya sambil melangkah mundur perlahan, bersiap untuk pergi.

Namun, sebelum Mela benar-benar berbalik, nenek itu tiba-tiba berkata dengan nada yang penuh makna, "Keturunan kerajaan Demak yang tidak sombong..."

Mela tersentak mendengar kata-kata itu. Ia berhenti sejenak, menoleh sedikit, namun tidak berkata apa-apa. Hanya matanya yang menatap sekilas ke arah nenek itu, penuh dengan rasa heran dan bingung. Darimana nenek itu tahu tentang asal-usulnya? pikir Mela dalam hati. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

Dengan langkah cepat, Mela meninggalkan ladang itu, membawa hasil panennya sambil mencoba melupakan kata-kata nenek tadi. Namun, semakin jauh ia berjalan, semakin dalam kata-kata itu terngiang di pikirannya.

Sementara itu, nenek tua itu masih duduk di bawah pohon besar, menatap punggung Mela yang perlahan menghilang di kegelapan malam. Wajahnya menyiratkan senyum tipis, seolah ia mengetahui sesuatu yang Mela sendiri belum sepenuhnya pahami. "Semoga kau selalu kuat, anakku. Takdir besar menunggumu," bisik nenek itu pelan, lalu kembali bersandar di batang pohon, menikmati ketenangan malam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!