Naira berbalik menghadap Nauval ."wah kalungnya bagus Nai ,ada huruf inisial N," Kata Naira sambil tersenyum.
"N untuk Naira, N untuk Nauval juga, jadi di mana pun kamu nanti nya akan selalu ingat sama aku Nai ," Kata Nauval sambil tersenyum.
"Bisa aja kamu Val , makasih ya, aku akan jaga baik baik Kalung ini ,"ucap Naira senang sambil memeluk Nauval.
Nauval terdiam saat Naira memeluknya,ada rasa nyaman yang dia rasa, seakan tidak mau jauh lagi dari sahabat nya itu.dia membalas pelukan itu sambil mengusap kepala Naira .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naura Maryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Persiapan pernikahan
Sementara itu, Alvian yang tidak tahu apa-apa tentang konflik antara Ciara dan Vino, mulai merencanakan pernikahannya dengan Ciara. Ia memperkenalkan Ciara kepada keluarganya sebagai calon istri, dan keluarga Dharmawan menyambutnya dengan hangat, termasuk Vino yang terpaksa menyembunyikan kemarahannya.
Setiap kali mereka berkumpul sebagai keluarga, Ciara sengaja menunjukkan kemesraan dengan Alvian di depan Vino. Ia menggenggam tangan Alvian dengan erat, tertawa lepas pada leluconnya, dan bahkan bersandar di bahunya. Vino hanya bisa diam, tapi wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa sakit yang ia rasakan.
Di lain waktu, Ciara berbicara kepada Vino dengan nada lembut tapi menusuk. "Kau tahu, Vino, Alvian jauh lebih baik darimu. Dia memperlakukanku dengan cara yang tidak pernah kau lakukan."
Ucapan itu seperti pisau yang menancap di hati Vino. Tapi ia hanya bisa menggertakkan giginya, menyadari bahwa ini adalah akibat dari kesalahannya sendiri.
"Hari pernikahan "
Hari pernikahan akhirnya tiba. Ciara berdiri di depan cermin, mengenakan gaun pengantin yang indah. Di balik wajahnya yang tersenyum, ada rasa puas yang tak terkira. Ia tahu bahwa hari ini adalah puncak dari rencananya.
Saat ia berjalan menyusuri altar dengan Alvian, ia melirik Vino yang duduk di antara tamu. Wajahnya penuh penyesalan dan rasa sakit. Ciara tersenyum tipis, merasa bahwa dendamnya akhirnya terbalaskan.
Setelah acara selesai, Vino mendekati Ciara saat Alvian sedang sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu.
"Selamat, Ciara," kata Vino dengan suara pelan. "Kau menang. Kau berhasil menghancurkan ku."
Ciara memandangnya dengan tajam. "Aku hanya memberikanmu pelajaran, Vino. Jangan pernah bermain-main dengan hati seseorang."
Ciara yang melihat vino sakit/menyesal pun senang karena rencana balas dendam nya berhasil.
"Awal Baru yang Pahit"
Beberapa minggu setelah pernikahan, Ciara mulai merasakan kehampaan yang aneh. Meski ia berhasil membalas dendam, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Ia menyadari bahwa kebahagiaan yang ia rasakan hanyalah sementara.
Alvian, yang tidak tahu apa-apa, tetap menunjukkan cinta dan kasih sayangnya. Namun, semakin hari, Ciara merasa bersalah. Ia mulai bertanya-tanya apakah ia bisa menjalani hubungan ini dengan tulus, atau apakah ia akan terus terjebak dalam bayangan dendam masa lalu.
Ciara yang melihat vino pun langsung teringat akan perselingkuhan yang dilakukan oleh vino dan itu membangkitkan semangat niat untuk balas dendam kepada vino semakin besar.
Ciara berkata kepada Alvian Dharmawan, sayang aku boleh berbicara dengan adikmu vino , Alvian Dharmawan pun menjawab boleh baby , Ciara pun mendekati vino dan berbisik permainan baru saja di mulai vino, kamu harus merasakan apa yang aku Rasakan bahkan setiap hari kamu akan melihat aku bermesraan dengan Alvian Dharmawan kakak mu selamat untuk adik ipar ku, vino kamu yang memulai aku hanya mengikuti permainan mu dan semua belum berakhir
"permainan Baru Dimulai"
Saat Ciara mendekati Vino, tubuhnya dipenuhi dengan perasaan puas sekaligus dendam yang membara. Ia menatap pria yang dulu pernah ia cintai itu dengan senyum dingin. Vino, yang sedang berdiri di pojok ruangan resepsi, terlihat gelisah melihat Ciara mendekat. Ia tahu, percakapan ini tidak akan menyenangkan.
Ciara berhenti tepat di hadapan Vino, lalu membungkukkan tubuhnya sedikit untuk berbisik di telinganya.
"Permainan baru saja dimulai, Vino," ucapnya dengan suara pelan tapi tajam, seperti belati yang menembus hati Vino. "Kamu harus merasakan apa yang aku rasakan. Setiap hari, kamu akan melihat aku bermesraan dengan Alvian, kakakmu sendiri. Selamat, adik ipar. Kamu yang memulai permainan ini, dan aku hanya mengikutinya. Tapi ingat, Vino, semua ini belum berakhir."
Wajah Vino memucat. Ia mencoba menjawab, tapi kata-katanya tercekat di tenggorokan. Hatinya dipenuhi rasa bersalah, marah, dan sakit yang bercampur menjadi satu.
"Kau tidak akan bahagia dengan ini, Ciara," bisiknya akhirnya, mencoba mempertahankan sedikit kendali.
Ciara tertawa kecil. "Bahagia? Itu bukan tujuan utamaku, Vino. Aku hanya ingin memastikan kau tahu rasanya kehilangan sesuatu yang kau anggap milikmu."
Setelah pernikahannya dengan Alvian, Ciara semakin menunjukkan kemesraannya dengan sang suami di depan Vino. Ia sengaja memanfaatkan setiap kesempatan untuk membuat Vino merasa tidak nyaman. Mulai dari mengunggah foto-foto romantis di media sosial hingga bersikap mesra di depan keluarga besar Dharmawan.
Setiap kali Ciara memeluk atau mencium pipi Alvian di depan Vino, ia bisa merasakan tatapan penuh rasa sakit dari pria itu. Vino tidak bisa menyembunyikan emosinya. Ia selalu mencari alasan untuk meninggalkan ruangan atau menghindari tatapan Ciara.
Di lain waktu, saat makan malam keluarga, Ciara sengaja menggenggam tangan Alvian dengan erat dan berbicara dengan nada manja.
"Sayang, apa kau ingat tempat bulan madu yang kita bahas tadi? Kurasa itu akan jadi pengalaman yang tak terlupakan untuk kita," ucap Ciara dengan suara lembut yang disengaja.
Alvian tersenyum hangat. "Tentu, baby. Aku akan memastikan kita mendapat pengalaman terbaik."
Vino, yang duduk di seberang meja, hampir menjatuhkan garpunya. Ia tidak tahan mendengar obrolan itu, tapi ia juga tidak bisa mengatakan apa-apa.
Vino mencoba menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Ciara terasa seperti belati yang menancap di dadanya. Ia berusaha menyibukkan diri dengan makanan di piringnya, tapi semua itu sia-sia.
Ciara, yang menyadari reaksi Vino, hanya tersenyum puas. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Alvian, mempererat genggaman tangan mereka di atas meja. "Aku tidak sabar, sayang. Rasanya seperti mimpi akan segera menjadi kenyataan," katanya, melirik sekilas ke arah Vino.
Alvian merespons dengan mencium kening Ciara, sikap yang membuat Vino semakin tak nyaman. "Aku juga, baby. Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu. Kau pantas mendapatkan semua kebahagiaan di dunia ini."
Vino akhirnya bangkit dari kursinya dengan cepat, menggeser kursi kayu itu hingga berdecit keras. Semua orang di meja, termasuk Alvian dan Ciara, menoleh kaget.
"Maaf, aku harus pergi," ucap Vino singkat, lalu berjalan keluar ruangan tanpa menunggu tanggapan.
Setelah makan malam, Ciara berpura-pura merasa cemas atas sikap Vino. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk berbicara dengan Alvian, memastikan bahwa suaminya tidak curiga terhadap niat sebenarnya.
"Sayang, apa kau pikir Vino baik-baik saja?" tanya Ciara dengan nada penuh perhatian. "Aku merasa dia terlihat tertekan akhir-akhir ini."
Alvian mengangguk, mengelus punggung Ciara dengan lembut. "Mungkin dia hanya lelah dengan pekerjaannya. Kau tahu, Vino bukan tipe yang suka membicarakan masalahnya."
Ciara mengangguk, menyembunyikan senyumnya. "Kau benar, aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Bagaimanapun, dia adikmu, dan aku ingin menjadi bagian dari keluarga ini sepenuhnya."
Alvian memeluk Ciara erat. "Itulah yang membuatku mencintaimu, baby. Kau selalu peduli pada orang lain."
Di balik pelukan itu, Ciara merasa puas. Ia tahu bahwa rencananya berjalan dengan sempurna.
Beberapa minggu kemudian, Vino akhirnya tidak bisa lagi menahan diri. Ia memutuskan untuk menemui Ciara secara diam-diam. Ketika ia menemukan kesempatan di taman belakang rumah keluarga Dharmawan, ia mendekati Ciara yang sedang duduk sendirian menikmati udara malam.
"Ciara," panggil Vino dengan nada tegas.
Ciara menoleh, senyumnya tipis namun penuh arti. "Apa lagi, Vino? Kau ingin mengaku kalah?"
"Apa yang kau lakukan ini salah," kata Vino tajam. "Kau memanfaatkan kakakku hanya untuk menyakitiku. Alvian tidak pantas diperlakukan seperti ini. Dia mencintaimu dengan tulus, Ciara!"
Ciara berdiri, mendekati Vino dengan langkah pelan. "Dan aku? Apakah aku pantas diperlakukan seperti sampah olehmu? Kau menghancurkan hatiku, Vino. Jadi, jangan berbicara tentang siapa yang pantas atau tidak. Aku hanya memberikanmu pelajaran yang layak kau dapatkan."
"Aku sudah meminta maaf," sergah Vino. "Aku tahu aku salah, tapi membalas dendam seperti ini tidak akan membuatmu bahagia!"
Ciara menatap Vino tajam. "Bahagia? Aku sudah kehilangan kebahagiaanku saat melihatmu menggandeng wanita lain. Sekarang, aku hanya ingin memastikan kau tahu rasanya kehilangan. Dan aku tahu, setiap kali kau melihat aku bersama Alvian, kau akan merasakan luka yang sama seperti yang kau berikan padaku."
Vino terdiam. Ia tahu apa yang dikatakan Ciara ada benarnya, tapi ia juga tidak bisa membiarkan kakaknya terus dimanfaatkan.