NovelToon NovelToon
Aku tahu kau selingkuh

Aku tahu kau selingkuh

Status: tamat
Genre:Tamat / Balas Dendam / Konflik etika / Selingkuh / Dendam Kesumat
Popularitas:2.8M
Nilai: 4.8
Nama Author: Itha Sulfiana

"Tidak semudah itu kamu akan menang, Mas! Kau dan selingkuhanmu akan ku hancurkan sebelum kutinggalkan!"

~Varissa
_____________________


Varissa tak pernah menyangka bahwa suami yang selama ini terlihat begitu mencintainya ternyata mampu mendua dengan perempuan lain. Sakit yang tak tertahankan membawa Varissa melarikan diri usai melihat sang suami bercinta dengan begitu bergairah bersama seorang perempuan yang lebih pantas disebut perempuan jalang. Ditengah rasa sakit hati itu, Varissa akhirnya terlibat dalam sebuah kecelakaan yang membuat dirinya harus koma dirumah sakit.

Dan, begitu wanita itu kembali tersadar, hanya ada satu tekad dalam hatinya yaitu menghancurkan Erik, sang suami beserta seluruh keluarganya.

"Aku tahu kau selingkuh, Mas!" gumam Varissa dalam hati dengan tersenyum sinis.

Pembalasan pun akhirnya dimulai!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sepenggal kisah tentang Dikta

Dikta Anantavirya. Seorang yatim piatu yang terbuang dari keluarga sendiri dalam usia yang masih sangat muda. Dengan kedua matanya, dia menyaksikan sendiri bagaimana rumahnya habis dilalap api ditengah malam buta tanpa sempat diselamatkan siapa-siapa. Dia yang nekat melompat keluar jendela dari lantai dua kamarnya saat itu perlahan menyesali keputusannya. Andai tahu akan yatim piatu, andai tahu akan kehilangan saudara, lebih baik dia berpasrah diri dan membiarkan si jago merah turut menghapuskan keberadaannya.

"Pembawa sial! Gara-gara kamu, anakku mati!"

Begitu seruan nenek dari Ayahnya saat tahu bahwa hanya Dikta satu-satunya yang selamat.

"Kamu membunuh Kakakku. Kenapa bukan kau saja yang mati?"

Seruan lain dari pihak keluarga Ibu juga tak kalah menyakitkannya.

"Anak psiko. Sakit jiwa!" umpat tetangga yang sengaja hanya mau menambah kobaran emosi keluarga besar yang murka.

Anak itu tetap diam. Terpekur menatap kebawah pada tanah yang ia pijak. Airmata tidak setetes pun yang tumpah. Bukan karena dia tidak merasakan sedih ataupun sakitnya kehilangan. Namun, justru karena perasaan itu terlalu besar dan menyesakkan hingga bahkan dengan air mata pun, emosi itu takkan pernah mampu tersampaikan.

"Ikut denganku, Nak!" Tangan itu terulur. Saat Dikta mengangkat kepala, sebuah senyum bersahaja dan tatapan mata tulus tidak menghakimi menyambut. Berbeda sekali dengan tatapan orang-orang yang katanya adalah keluarga.

"Mulai sekarang, kau anakku. Kau adalah bagian dari diriku. Ikutlah denganku. Tinggalkan semua dukamu ditempat ini dan hiduplah bersamaku. Kau mau, kan?" Kedua tangan besar itu memegang bahu anak yang ringkih dan penuh kemalangan didepannya. Sepasang mata polos namun tajam itu tidak berkedip sama sekali. Langkahnya pelan terangkat mengikuti pria yang menuntunnya menuju sebuah mobil.

"Jangan bawa dia. Dia anak pembawa sial!"

Anak lelaki itu menghentikan langkahnya. Dia mendongak. Menatap wajah pria yang hendak membawanya seolah memberitahu bahwa yang dikatakan orang-orang itu benar adanya. Ya, dia pembawa sial.

"Jangan didengar!" Pria asing itu menutup kedua telinga sang anak. "Kau bukan pembawa sial. Kau anak yang baik dan calon seorang penguasa besar di masa depan. Jangan dengarkan perkataan orang lain. Cukup dengar perkataan ku saja! Kau mengerti?"

Si anak mengangguk. Berpasrah diri mengikuti seorang pria asing tanpa ragu berkat tatapan tulus yang diberikannya.

"Dia anakku. Namanya Varissa. Mulai sekarang, tugasmu menjaganya. Bahkan, sampai aku sudah tiada di dunia ini pun, tugasmu tetap akan sama. Kau harus menjaganya."

Dikta mengangguk mengerti. Di tatapnya seorang anak perempuan yang memiliki selisih usia dua tahun dengannya itu. Meski tahu dia sedikit tak di sukai, namun Dikta sama sekali tidak peduli. Asal dia menyukai anak perempuan itu, maka hal lain tidak masalah.

Jika Hadi Ananta saja mampu mengulurkan tangan dan memberinya kembali harapan yang hilang, kenapa Dikta harus menolak menjaga Varissa hanya karena anak perempuan itu tidak menyukainya? Lagipula, Dikta tahu bahwa anak perempuan itu tidak benar-benar membencinya. Dia hanya sedikit iri dan merasa khawatir akan kehadiran sosok anak lain yang mungkin saja akan merebut perhatian yang selama ini hanya di curahkan sang Ayah untuknya. Itu wajar. Dan, Dikta memaklumi itu.

****

"Terimakasih sudah membantuku selama ini, Bang!" ucap Dikta kepada seorang pria berbadan besar dengan tato yang memenuhi seluruh lengannya.

Pria itu tersenyum. Menerima amplop yang digeser Dikta ke arahnya lalu memasukkan benda itu ke dalam saku celana.

"Santai saja! Ini memang spesialis ku. Lagipula, kau sudah seperti adikku sendiri. Jadi, jangan sungkan," ucap pria itu tertawa lepas.

Dikta menyeringai. Membiarkan pria di sebelahnya menepuk bahunya dengan keras beberapa kali.

"Alamak!! Sejak kapan bahumu sekuat ini, Boy?" tanya pria itu.

"Waktu kau masih SMA, bahumu tidak sekuat ini. Kau olahraga?"

Dikta hanya menanggapi dengan senyuman kecil. Memilih tak menjawab pertanyaan berkesinambungan dari pria besar disampingnya.

"Ck, sifatmu masih sekurang ajar dulu, Boy!" gerutu pria yang biasa dipanggil Bang Rambo itu.

Yang di sindir menoleh. Mengangkat alis dengan tatapan mata seolah bertanya. Kurang ajar darimana?

Bang Rambo menggaruk rambut panjangnya. Sama seperti Dikta, dia ikut mencepol rambut gonrong miliknya asal.

Tak bertahan semenit, rambut panjang itu kembali dia urai setelah mendapat tatapan menyebalkan dari seorang pelayan wanita yang datang mengantarkan pesanan mereka. Tatapan mata wanita itu seolah memuji 'Mashaallah' saat melihat ke arah Dikta dan beristighfar ' Astaghfirullah' justru saat melihat dirinya.

"Hei, Mbak! Kami ini saudara kandung! Tatapanmu tidak usah seperti itu. Aku bukan penculik!" Bang Rambo melingkarkan lengan kekarnya di bahu Dikta.

Ya, ya, ya. Terserah! Siapa juga yang akan percaya? Kurang lebih begitu maksud tatapan si Mbak-mbak pelayan. Bang Rambo lagi-lagi berdecak. Mencubit pipi Dikta disebelahnya sebagai pelampiasan kekesalan.

"Memangnya, apa bedanya aku dengan kau, Boy? Kalau dilihat-lihat, bukannya kita ini mirip? Rambut sudah sama, tinggi juga sama. Ya, walaupun kulitmu sedikit cerah daripada kulitku. Perawatan kau, ya? Hah?" selidik Bang Rambo setengah berbisik. "Kau pakai sekin-seker merk apa? Bagi-bagilah, Boy!" Alis Bang Rambo terangkat genit.

"Skincare, Bang!" koreksi Dikta.

"Ss... Skk.. Bwahh... Susah kali menyebutnya," dengus Bang Rambo yang merasa lidahnya terlilit akibat berusaha menyebut nama perawatan itu.

"Sebut saja nama merk-nya. Nanti ku beli. Siapa tahu, ujug-ujug dua Minggu kemudian, tampangku jadi benar-benar mirip kau."

Dikta memutar bola matanya malas. Pria itu mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban lalu dengan santainya meminum Jus Alpukat yang dia pesan.

"Pelit kali kau bicara! Memangnya, seberapa mahal sekin-seker-mu itu?" omel Bang Rambo yang sedari tadi hanya berbicara sendiri.

"Oh iya, kapan kau ingin mengerjai perempuan itu lagi?" tanya Bang Rambo yang kembali ke topik serius pembahasan. Segelas susu cokelat panas yang dia pesan di sesap perlahan sedikit demi sedikit.

"Belum tahu, Bang! Tapi, aku berharap Abang bisa terus memastikan seluruh anak buah Abang untuk stand by!"

"Hahahaha... Kalau masalah itu, kau tidak perlu khawatir! Serahkan semua pada penguasa pasar Cikadut ini." Bang Rambo menepuk dadanya sombong.

Dikta mengangguk. "Ya, aku percayakan semuanya pada Abang!"

Terbiasa menghabiskan waktu di jalanan meski telah di angkat anak oleh seorang pengusaha kaya, membuat Dikta bisa akrab dengan Bang Rambo. Pertemuan keduanya terjadi secara tak sengaja. Dikta dulu merupakan sasaran palak anak buah Bang Rambo. Meski sudah di pukul habis-habisan, Dikta tidak mengeluarkan suara sama sekali. Tatapan matanya bahkan tak sekalipun meredup. Justru makin lama makin tajam menantang. Uang yang digenggamnya juga tak bisa di ambil oleh anak buah Bang Rambo. Saat menyaksikan itu, Bang Rambo tahu bahwa anak SMA itu memiliki sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Sejak saat itu, Bang Rambo menyukai Dikta. Mengajarkan anak itu beberapa gerakan bela diri meski sifatnya tetap tidak berubah. Pelit bicara dan jarang sekali berbaur. Namun, dibanding para anak buahnya, anak itu justru malah yang paling perhatian. Selalu membeli makanan untuknya, selalu membeli obat jika dia sakit, bahkan selalu menjenguk ke penjara saat dia terjerat kasus pencurian.

"Anak pahlawanmu masih belum membuka hati untuk kau, Boy?"

Dikta lagi-lagi tak menjawab. Sama seperti sebelumnya, ia memilih tidak mengindahkan pertanyaan dari Bang Rambo. Namun, senyum lebar di wajahnya cukup menjawab pertanyaan dari pria berbadan besar itu.

"Sudah rupanya." Bang Rambo tertawa lagi. "Aku turut senang untuk kau, Boy! Selamat!" ujarnya penuh sukacita.

1
Anita Nita
varissa ko panggil nama sih ke dikta...kaya waktu sama erik dong panggilnya mas biar sopan sama suami😀😀🤭🤭
Atoen Bumz Bums
makanya jangan tidur terlalu miring 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Komang Aditya Wijaya
Biasa
Komang Aditya Wijaya
Kecewa
Komang Aditya Wijaya
Lumayan
Atoen Bumz Bums
sat set
awalan yg menarik
Fony Oktafiani
Buruk
umi istilatun
Luar biasa
umi istilatun
Lumayan
Basri Muhammad
Luar biasa
Fifid Dwi Ariyani
trusceria
Fifid Dwi Ariyani
trussemangat
Fifid Dwi Ariyani
trussabar
Fifid Dwi Ariyani
trussemangst
Fifid Dwi Ariyani
trusceria
Fifid Dwi Ariyani
trussemsngat
Fifid Dwi Ariyani
truscrria
Fifid Dwi Ariyani
trssemangat
Fifid Dwi Ariyani
trussabar
Fifid Dwi Ariyani
teussabar
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!