Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 33
Malam semakin kelam di lahan yang ditinggalkan, di antara gedung-gedung roboh yang menjadi saksi pertarungan hidup dan mati. Suara desah angin mengiringi geraman zombie yang semakin mendekat. Aroma tanah basah bercampur bau darah dan daging membusuk memenuhi udara, menciptakan suasana yang mencekam.
Arka mengacungkan tangannya, memberi isyarat pada kelompoknya untuk mengambil posisi. Mata cokelatnya yang penuh tekad menyapu medan pertempuran, berhenti sejenak pada Lara. Meski hatinya masih diliputi ketidakpercayaan, ia tahu tak ada waktu untuk berdebat.
"Jaga sisi kanan! Jangan biarkan mereka menyusup!" serunya pada Nafisah dan Nizam, yang berdiri dengan wajah serius.
Di seberangnya, Lara memberikan instruksi pada kelompoknya dengan nada tajam. "Erik, awasi bagian kiri. Jangan biarkan siapa pun terluka." Mata Lara menatap Arka sesaat, seolah menantang, sebelum kembali fokus pada pertempuran.
"Apakah dia akan mengkhianati kita di tengah kekacauan ini?" pikir Arka, memegang senjatanya lebih erat. Namun, tidak ada pilihan. “Lindungi garis belakang, Gathan, Abib!” Arka berteriak, mengalihkan pandangan penuh keraguannya pada rekan-rekannya yang sekarang berhadapan dengan zombie yang semakin mendekat.
Saat pertempuran memanas, terdengar suara pekikan yang memilukan. Di sudut medan tempur, Azam terjatuh ketika seekor zombie melompat padanya dengan cepat, gigi kuningnya hampir merobek leher Azam.
“Awas, Azam!” Nafisah berteriak panik, tubuhnya tegang, namun ia terlalu jauh untuk membantu.
Dalam sekejap, Erik, salah satu anggota kelompok Lara, menerjang zombie itu, melindungi Azam dari gigitan mematikan. Erik menebas zombie tersebut dengan senjatanya, tapi dalam prosesnya, tangannya terkena cakaran yang dalam.
Azam terengah-engah, wajahnya penuh keringat dan ketakutan. “K-Kenapa… Kenapa kau membantuku?” tanyanya terbata, tidak menyangka orang asing yang mereka curigai ini berani mempertaruhkan nyawanya.
Erik tersenyum samar, meskipun kesakitan terpancar di matanya. "Karena... di sini... kita hanya punya satu sama lain."
Arka, yang menyaksikan kejadian itu dari dekat, merasakan sesuatu bergetar dalam hatinya. "Bagaimana mungkin ada orang seberani ini?" batinnya. Tiba-tiba, bayangan ketidakpercayaan itu mulai memudar sedikit demi sedikit.
Gathan mendekat dengan tatapan serius namun penuh respect, berkata lirih pada Arka, “Mungkin... mereka tidak seburuk yang kita kira.”
Arka hanya mengangguk. "Mari kita selesaikan ini dulu," katanya tegas. Mereka berdua kembali ke posisi, tekad semakin kuat.
Setelah beberapa waktu, pertempuran berakhir dengan napas yang tersengal-sengal dan luka di sana-sini. Mereka berdiri di antara mayat zombie yang bergelimpangan, aroma busuk semakin kuat, namun mereka selamat.
Lara mendekati Arka, napasnya belum teratur, namun wajahnya tetap tak menunjukkan kelemahan. “Sepertinya kalian bisa diandalkan,” katanya dengan nada datar namun tetap penuh kewaspadaan. "Kita mungkin bisa lebih kuat jika bersama, tapi ini hanya sementara. Jangan mengira kami sepenuhnya percaya pada kalian."
Arka mengangguk, namun ada sesuatu di matanya yang berubah—sedikit kepercayaan yang mulai tumbuh. "Kami juga belum tahu apakah bisa percaya sepenuhnya. Tapi untuk saat ini, kita butuh satu sama lain."
Lara tersenyum kecil, nyaris tak terlihat, lalu membalikkan badan. “Baik, kita lanjutkan perjalanan. Tapi ingat, satu langkah salah, dan perjanjian kita batal.”
Gathan menatap Arka penuh harap, sementara Nafisah menggenggam senjatanya lebih erat, menyadari bahwa di tengah dunia yang kacau ini, bahkan sekutu yang curiga mungkin bisa menjadi teman yang setia.
Arka berdiri di hadapan Lara, menatap pemimpin kelompok baru itu dengan sorot mata penuh kewaspadaan. Bibirnya menipis, menggambarkan ketegangan yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. "Baiklah," katanya akhirnya, suaranya rendah namun tegas. "Aliansi ini sementara, sampai kita menemukan apa yang kita butuhkan untuk bertahan hidup."
Lara mengangguk, wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya memancarkan keteguhan. "Aku setuju," sahutnya sambil menatap Arka dengan tatapan tajam. "Tapi ingat, kami tak akan ragu untuk meninggalkan kalian jika ada tanda-tanda masalah."
Dalam hati, Arka mendengus. "Gadis ini percaya diri sekali," batinnya. Tapi, aku tak punya pilihan lain.
Di belakang Arka, Nizam menggenggam lengan sahabatnya itu, ekspresinya cemas. "Arka, kau yakin ini keputusan yang benar?" tanyanya pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
Arka menoleh, mencoba menenangkan dengan senyum singkat. "Untuk saat ini, ini adalah yang terbaik," bisiknya. Kalau saja kita bisa mempercayai mereka.
Di sisi lain, Lara juga tampak memberi instruksi kepada anggotanya. Erik, yang masih terluka setelah pertempuran sebelumnya, mengangguk patuh meski wajahnya sedikit meringis menahan sakit. "Erik, pastikan kau tidak membuat masalah. Ini kesepakatan penting," kata Lara dengan nada tajam namun lembut.
Erik memaksakan senyum, berusaha tampak kuat. "Aku akan berhati-hati. Jangan khawatir," jawabnya, dalam hati bertanya-tanya apakah kelompok Arka benar-benar sekutu yang bisa diandalkan.
Mereka bergerak dalam formasi yang hati-hati, menyusuri lorong-lorong sempit yang penuh reruntuhan dan jejak pertempuran lama. Di depan, Arka dan Nizam berjalan paling depan, senjata siap di tangan. Suara langkah kaki mereka berbaur dengan hembusan angin yang membawa bau busuk dari tubuh zombie yang berserakan di sekitar.
Jasmine dan Aisyah mengikuti di belakang, waspada terhadap setiap suara. Mata mereka berkilat ketika mereka melihat sebuah gudang kecil yang tertutup sebagian oleh puing-puing.
"Apa menurutmu di dalam ada sesuatu yang berguna?" tanya Aisyah, suaranya bergetar antara cemas dan penasaran.
Jasmine mengangguk cepat, mengintip dari celah pintu yang retak. "Sepertinya bahan medis," ujarnya sambil menyentuh pintu dengan tangan gemetar. "Ini bisa membantu Erik dan yang lain yang terluka."
Di tempat lain, Gathan dan Erik tengah mengatur rute pelarian. Gathan menatap Erik dengan tatapan penuh perhatian, mencoba menilai niat sebenarnya pria itu. "Apa yang sebenarnya kalian cari di sini?" tanyanya pelan, nadanya penuh rasa ingin tahu namun waspada.
Erik mengangkat bahu, matanya menyapu sekitar seolah mencari sesuatu. "Hanya mencari tempat aman," jawabnya datar. Tapi, dalam hati, Erik bergulat dengan keraguannya. "Apakah mereka akan tetap membantu jika tahu alasan sebenarnya?"
Saat mereka tiba di depan sebuah gedung besar yang kokoh, semua terdiam. Gedung itu menjulang dengan tembok tebal dan pagar kawat yang menjaganya. Di depan pagar, terdapat lambang militer yang samar-samar terlihat, tertutup oleh lumut dan karat.
"Ini… ini markas militer," bisik Gathan dengan mata melebar. Suara itu penuh rasa takut sekaligus antusiasme.
Arka menatap gedung itu, tatapan penuh kecurigaan. "Kenapa bangunan sebesar ini ditinggalkan?" gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. "Apa yang terjadi di sini?"
Lara berdiri di sampingnya, alisnya berkerut. "Mungkin ada jawaban di dalam tentang apa yang menyebabkan wabah ini," katanya, suaranya lirih namun penuh keyakinan. Dia menoleh pada Arka. "Kita harus menyelidiki ini."
Arka mengangguk pelan, meskipun hatinya bergejolak. "Setuju. Tapi kita harus siap untuk apa pun yang mungkin menunggu di dalam."
Tiba-tiba, suara gesekan terdengar dari dalam gedung. Semua terdiam, mendengarkan dengan cemas. Nafas mereka tertahan, mendengarkan suara samar namun mengancam. Dari dalam kegelapan gedung, terdengar langkah kaki berat, bergerak mendekat ke arah pintu depan.
Arka menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Apa yang kita hadapi kali ini?"
Lara memandang kelompoknya dengan tatapan tegas. "Siap-siap. Apa pun yang ada di dalam sana, kita hadapi bersama," katanya dengan suara penuh tekad, menggenggam senjatanya lebih erat.
Dengan hati berdebar, mereka berdiri di depan gedung yang misterius, menyadari bahwa langkah mereka berikutnya bisa mengungkap rahasia kelam atau membawa mereka ke dalam bahaya yang tak terbayangkan.