Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 30
Arka berhenti sejenak, memandang ke arah yang tampak lebih aman di ujung kota. “Kita harus bergerak. Tempat ini sudah tidak aman lagi untuk kita,” katanya, suaranya tegas namun lembut, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri sekaligus kelompoknya. Dia menatap satu per satu wajah mereka yang lelah namun penuh harapan. Kita tidak boleh menyerah sekarang.
“Arka benar,” Nizam menimpali sambil memegang senjata buatan tangan yang ia ciptakan dari pipa besi. “Aku… aku tidak mau mati di tempat ini.”
Nafisah menggigit bibir, matanya menatap reruntuhan di sekitar mereka dengan was-was. “Tapi ke mana kita akan pergi? Seluruh kota ini penuh dengan zombie… tempat mana yang aman?”
Arka mendekatinya, meletakkan tangannya di bahunya. “Kita akan cari tempat itu bersama-sama, Nafisah. Kita masih punya satu sama lain.” Dalam benaknya, Arka merasakan beban tanggung jawab itu semakin berat. Aku harus memastikan mereka semua selamat. Tidak akan ada yang tertinggal lagi.
Dengan langkah pelan tapi pasti, mereka mulai berjalan menyusuri lorong-lorong kota yang sunyi. Napas mereka terengah-engah, mata mereka penuh waspada terhadap setiap bayangan yang bergerak di antara bangunan tua. Suara langkah kaki mereka bergema, membuat keheningan semakin terasa menakutkan.
Setiap kali melihat wajah-wajah yang mulai surut semangatnya, Arka mencoba memberikan motivasi. “Kita mungkin kehilangan banyak,” ujarnya, suaranya bergetar sejenak. “Tapi kita masih hidup. Itu sudah lebih dari cukup untuk terus maju.”
Di belakangnya, Jasmine tersenyum kecil, meski samar. "Arka memang tahu bagaimana cara memimpin. Dia satu-satunya alasan kita tetap bisa bertahan sejauh ini." Dalam benaknya, Jasmine merasa tenang, meskipun ketakutan masih membayangi.
“Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bakal ada di posisi seperti ini,” Gathan berkata, suaranya rendah. Dia mengusap tengkuknya, mencoba menyembunyikan kecemasan. “Dulu aku berpikir… hanya perlu memikirkan diriku sendiri. Tapi sekarang?” Dia menoleh pada Arka, wajahnya menyiratkan kepercayaan yang baru muncul. “Aku akan melakukan apa pun yang perlu untuk kita.”
Arka tersenyum tipis. “Syukurlah. Itu artinya kita punya lebih dari sekadar teman di sini. Kita adalah keluarga sekarang.” Ia merasa sebuah kehangatan di tengah kegelapan ini, dan ia yakin yang lain merasakannya juga. Momen-momen ketika mereka berbagi tawa atau saling memberi dukungan menjadi kekuatan mereka.
Setelah berjam-jam perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di depan sebuah gedung yang masih berdiri kokoh di antara reruntuhan. Bangunannya tidak terlalu rusak—dindingnya tebal dan pintu depan terbuat dari besi. "Tempat yang sempurna untuk berlindung," pikir Arka.
Namun, saat mereka mendekati pintu, Arka berhenti mendadak, telinganya menangkap suara aneh dari dalam gedung. Napasnya tertahan sejenak, dan ia mengisyaratkan yang lain untuk berhenti.
“Kau dengar itu?” bisiknya kepada Jasmine di sampingnya, yang kemudian memasang telinga, wajahnya berubah pucat.
Dari dalam gedung, terdengar suara berderak seperti benda yang patah, disusul dengan geraman samar. Bekas gigitan besar tampak pada permukaan pintu besi, dan beberapa jejak kaki yang tidak wajar terlihat di tanah di depan pintu. Nafisah menggigil, mundur selangkah. “Kita tidak sendiri di sini,” katanya dengan suara bergetar.
Nizam berusaha menelan ludah, meski tenggorokannya terasa kering. “Mungkin… mungkin hanya hewan atau sesuatu?” Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, tapi suaranya terdengar lebih seperti bisikan putus asa.
“Tapi kalau itu bukan hewan?” bisik Gathan, wajahnya kaku. “Bagaimana kalau itu sesuatu yang… lebih buruk?”
Arka memegang pipa besi di tangannya lebih erat, jantungnya berdegup kencang. "Apa pun yang ada di dalam sana, kita harus siap. Tidak ada tempat lain untuk kita berlindung sekarang."
“Masuk atau tidak, Arka?” Abib bertanya, suaranya terdengar bergetar. Wajahnya menunjukkan campuran ketakutan dan ketegangan, namun pandangannya tetap terpaku pada Arka, mencari keputusan.
Arka menghela napas, menatap mereka satu per satu, melihat ketakutan sekaligus kepercayaan di mata mereka. “Kita masuk… pelan-pelan. Bersiaplah untuk apa pun.”
Saat mereka mendekati pintu dan bersiap untuk masuk, suara dari dalam semakin keras—geraman samar berubah menjadi pekikan. Tiba-tiba, pintu bergetar kuat seakan ada yang mendorongnya dari dalam. Mereka semua tersentak mundur.
“Tidak mungkin!” seru Nafisah, matanya membelalak. “Ada sesuatu yang besar di dalam sana!”
Sebuah hantaman keras terdengar dari dalam, membuat pintu bergoyang. Napas mereka tertahan, dan untuk sesaat, mereka berdiri terpaku. "Apakah ini keputusan yang tepat?" pikir Arka, namun dia tak punya pilihan lain.
Arka memimpin kelompok dengan langkah hati-hati, lampu senter di tangan kanannya menyinari kegelapan yang tebal. “Lihat, kita harus menjelajahi ruangan ini dengan cermat,” ujarnya, suaranya serak namun tegas. “Mungkin ada sesuatu yang bisa kita gunakan.”
“Atau mungkin kita hanya akan menemukan lebih banyak masalah,” Gathan mendengus, merapatkan jaketnya sambil memandang sekeliling dengan penuh ketidakpercayaan. Ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya, dan rasa tidak nyaman menyelimuti hati kecilnya. “Tempat ini jelas tidak aman, Arka!”
“Gathan, bersikap tenang!” Jasmine mencoba menenangkan, tapi suaranya juga bergetar. Dia menatap lorong gelap yang menganga di depan mereka, merasakan ketegangan yang semakin menggelayut. “Kita perlu fokus, oke?”
Mereka melangkah ke ruangan berikutnya, dan suara gemerisik dari kegelapan membuat mereka semua terdiam. Arka merasakan jantungnya berdebar kencang. "Apa itu?" pikirnya, mencoba menstabilkan napasnya yang mulai tidak teratur. Ia tahu ketakutan bisa menular, dan ia bertekad untuk menunjukkan ketenangan.
Namun, aroma busuk yang menyengat semakin menyengat hidung mereka. “Ini… tidak beres,” pikir Nizam, menutup hidungnya dengan ujung jari. Dia merasakan perutnya bergejolak, ketidakpastian membayang-bayangi setiap langkahnya. “Kita tidak boleh berada di sini lebih lama lagi!”
“Coba kita cari sumber daya, dan cepat keluar,” kata Arka, berusaha terdengar optimis, tetapi suaranya juga mulai bergetar.
Gathan, yang sudah tidak bisa menahan amarahnya, melangkah maju dan menghadapi Arka. “Kita seharusnya tidak berada di sini! Kita bisa mencari tempat lain yang lebih aman!” teriaknya, matanya melotot penuh frustrasi. Wajahnya berkerut, mengekspresikan semua ketidakpuasan yang ada di dalam hatinya. “Kau terus mengabaikan bahaya ini!”
Arka menatapnya, berusaha tetap tenang meskipun jantungnya berdebar. “Gathan, aku mengerti. Tapi kita tidak punya banyak pilihan. Jika kita tidak mencari, kita akan kelaparan atau lebih buruk—mati di luar sana.”
“Lebih baik mati di luar sana daripada terjebak di tempat ini!” Gathan membalas, suaranya membentur dinding gelap.
Jasmine menghela napas berat, merasa cemas. “Bisa kita pikirkan secara rasional? Kita perlu bersatu,” katanya, berusaha menciptakan jembatan di antara keduanya.
Tiba-tiba, suara bergetar terdengar dari dinding, mengalihkan perhatian mereka. “Apa itu?” tanya Queensha, wajahnya pucat, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ketegangan mencekam di antara mereka, menambah rasa cemas yang meluap-luap.
Suara itu semakin mendekat, diiringi dengan geraman rendah yang menandakan ancaman. Arka segera melirik ke arah asal suara, mengerutkan dahi. “Kita harus bergerak! Sekarang!”
Saat kelompok berusaha untuk tetap bersatu, Abib dan Queensha mengambil inisiatif untuk mencoba mengamankan jalur keluar. “Aku akan memeriksa koridor ini,” kata Abib, menunjuk ke arah lorong yang lebih sempit dengan tatapan penuh determinasi. “Kau tetap di sini dan jaga pintu.”
“Baiklah, tetapi hati-hati!” Queensha menjawab, cemas, saat mereka melangkah maju. Namun, saat mereka menjelajahi koridor, tiba-tiba sebuah suara keras mengejutkan mereka.
Suara kayu yang patah, disusul dengan geraman mendekat, membuat mereka berdua terloncat. Queensha menahan napas, tubuhnya bergetar ketakutan. “Apa yang itu?” bisiknya, wajahnya seputih kapur.
Abib menegang, merasakan ketakutan menembus tulangnya. “Kita harus kembali,” katanya, berusaha menenangkan diri meskipun keringat dingin mengalir di punggungnya. Namun, saat mereka berbalik, mereka melihat bahwa jalur yang mereka ambil kini dikepung oleh zombie yang berkeliaran.
“Mereka… mereka mengelilingi kita!” seru Queensha, suaranya hampir tak terdengar karena panik. “Kita terjebak!”
Dalam kepanikan, mereka menyadari bahwa komunikasi dengan yang lain terputus. Suara geraman semakin mendekat, dan mereka terjebak di antara zombie yang mulai berkeliaran. Ketegangan memuncak saat mereka harus memikirkan cara untuk kembali bergabung dengan kelompok tanpa tertangkap.
“Apa yang harus kita lakukan?” teriak Queensha, matanya membesar ketakutan.
Abib mengamati sekeliling, berusaha mencari jalan keluar. “Kita cari tempat berlindung, atau kita akan terjebak di sini selamanya!” Keduanya berlari mencari jalan keluar, namun suara langkah kaki zombie mendekat, menambah rasa terdesak yang semakin meluap-luap.