Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebaikan
Naya pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk—kesal, lelah, dan frustrasi. Seluruh pikirannya masih kacau akibat percakapan dengan ibunya yang penuh kritik dan rasa sakit. Namun, begitu langkahnya mendekati studio kecilnya di sebelah rumah, ia sadar bahwa pekerjaan yang menumpuk tidak bisa menunggu. Studio itu, yang biasanya menjadi tempat perlindungan dan pelarian dari dunia luar, hari ini terasa lebih seperti beban.
Saat Naya membuka pintu studio, ia mendapati Tika masih sibuk di depan layar komputernya. Berkas-berkas referensi yang dibawa oleh Fajar sebelumnya tertata rapi di meja, sementara Tika terlihat tekun mengerjakan beberapa konsep yang sudah mulai dibentuk berdasarkan referensi tersebut.
"Oh, Kak Naya, sudah pulang," sapa Tika, menoleh sejenak dengan senyum yang sedikit mengendur saat ia melihat wajah Naya yang masih terlihat muram.
Naya hanya mengangguk lemah. “Iya, Tika. Maaf ya, aku agak lama.”
Tak ingin memperpanjang pembicaraan, Naya segera duduk di kursi kerjanya. Di hadapannya, meja itu penuh dengan sketsa dan dokumen kerja sama yang harus ia periksa. Meskipun hatinya belum sepenuhnya tenang, dia tahu pekerjaan ini tidak bisa diabaikan. Ia mengambil salah satu referensi desain yang diberikan Fajar dan memandangi gambar-gambar itu dalam-dalam.
Tika memperhatikan Naya dalam diam, merasa bahwa atasannya itu sedang menghadapi sesuatu yang berat. “Kak, kalau kakak masih capek atau butuh istirahat dulu, aku bisa lanjut sendiri. Ini masih tahap awal, belum banyak yang perlu diselesaikan malam ini,” ujar Tika, dengan nada penuh pengertian.
Naya menggeleng, mencoba tersenyum meskipun lelah masih jelas di matanya. “Nggak, Tika. Aku harus tetap fokus. Kita harus selesaikan ini tepat waktu. Dante bukan tipe orang yang sabar menunggu.”
Tika mengangguk pelan, lalu kembali pada pekerjaannya. Naya juga berusaha mengalihkan pikirannya pada desain-desain di depannya. Tangannya mulai bergerak menggambar di atas sketsa yang sudah ia buat sebelumnya. Namun, di kepalanya, kata-kata ibunya masih terus terngiang. Kritikan tentang penampilannya, tentang bagaimana ia terlalu banyak bekerja, terus menghantui pikirannya. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Arfan, tapi juga oleh ibunya yang tidak melihat betapa keras ia berjuang.
Setelah beberapa menit terbenam dalam pekerjaannya, Naya akhirnya berhenti. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menghela napas panjang. Ia tahu, meskipun tangannya bergerak, pikirannya masih terlalu kacau untuk benar-benar fokus.
"Tika," Naya memanggil pelan, "apa menurutmu aku terlalu keras sama diriku sendiri?"
Tika menatap Naya dengan tatapan heran. Pertanyaan itu tak terduga. “Maksud Kakak?”
“Aku kerja terus, nggak pernah mikirin yang lain. Apa mungkin aku salah? Apa mungkin aku terlalu fokus sama karier sampai lupa hal-hal lain yang penting?”
Tika diam sejenak, berpikir sebelum menjawab. “Kak, aku rasa nggak ada yang salah dengan kerja keras. Kakak punya mimpi, dan Kakak mau mencapainya. Itu nggak salah sama sekali. Tapi kalau sampai Kakak ngerasa nggak bahagia atau terlalu lelah, mungkin Kakak perlu waktu buat istirahat. Bukan berarti Kakak salah fokus, tapi setiap orang butuh keseimbangan.”
Naya menatap Tika dengan rasa syukur. Kata-kata sederhana dari asisten mudanya itu terasa seperti angin segar di tengah keruwetan pikirannya. Ia tersenyum tipis. “Terima kasih, Tika. Mungkin kamu benar.”
Tika membalas senyuman itu, lalu kembali berkutat dengan pekerjaannya. Di luar studio, malam semakin larut, namun di dalam, Naya dan Tika terus berusaha menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Meskipun banyak hal di hidup Naya yang terasa tidak pasti, satu hal yang ia tahu pasti: pekerjaan ini adalah yang membantunya tetap bertahan, dan ia akan melakukan apapun untuk menyelesaikannya dengan baik.
Namun, di dalam hatinya, Naya tahu bahwa masalah-masalah pribadinya masih belum terselesaikan. Perasaan kecewa pada ibunya, rasa sakit akibat pengkhianatan Arfan, dan keraguan tentang masa depannya terus membayangi. Tapi untuk saat ini, ia memutuskan untuk menyimpan semua itu sejenak. Yang ada di hadapannya adalah pekerjaan yang harus diselesaikan, dan ia akan fokus pada itu—seperti yang selalu ia lakukan.
Pagi itu, matahari baru saja muncul ketika Widuri bersiap-siap untuk menjemput Naya dan mengantarkannya ke kantor Dante. Ia berusaha menjaga mood-nya tetap baik meskipun hari-hari sebelumnya cukup melelahkan, apalagi setelah berbagai masalah yang dialami Naya. Namun, di tengah perjalanan menuju rumah Naya, tiba-tiba mobilnya berhenti mendadak. Mesin mobilnya mogok di tengah jalan yang sepi.
Widuri berusaha tetap tenang. Ia keluar dari mobil dan mencoba memeriksa kondisi mesin, meskipun ia sama sekali tidak mengerti soal mobil. “Apa lagi ini…?” gumamnya sambil membuka kap mesin.
Di saat yang sama, sebuah mobil melintas di jalan yang sama. Mobil itu berhenti tidak jauh dari mobil Widuri, dan dari kaca jendela yang terbuka, terlihat sosok Fajar yang tengah mengemudi. Tanpa berpikir panjang, Fajar menghentikan mobilnya dan keluar, menghampiri Widuri yang tampak kebingungan.
“Kau kenapa? Apa butuh bantuan?” tanya Fajar sambil mendekati mobil Widuri.
Begitu melihat Fajar, Widuri langsung merasa kesal. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Fajar lagi setelah insiden tabrakan kemarin. Matanya menyipit saat mengenali wajahnya, dan tanpa sadar, nada suaranya berubah sinis.
“Kenapa aku selalu bertemu denganmu?” ucap Widuri dengan nada marah, sambil menutup kap mobilnya dengan keras. "Aku tidak butuh bantuanmu. Pergi saja kau dari sini."
Fajar terkejut melihat reaksi keras itu, tetapi ia mencoba tetap tenang. Dia tahu bahwa pertemuan mereka sebelumnya tidak berjalan dengan baik, dan ia tidak ingin memperburuk keadaan. “Hei, aku cuma mau membantu. Mobilmu mogok, kan? Aku bisa panggil mekanik atau bantu cek sebisaku.”
Namun, Widuri menolak dengan tegas. “Tidak perlu. Aku bisa mengurus ini sendiri.”
Fajar menghela napas, mencoba mengerti. “Aku paham kalau kamu mungkin masih kesal soal kemarin, tapi aku serius, aku cuma mau membantu.”
Widuri menyilangkan tangannya di dada, masih menatap Fajar dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. "Mungkin kau pikir aku tak bisa menyelesaikan masalahku sendiri? Aku sudah cukup menghadapi hari-hari buruk, dan kau muncul lagi seolah ingin menambahnya."
Fajar tertawa kecil, sedikit canggung. “Hei, aku bukan orang jahat, tahu. Kita cuma kebetulan bertemu, dan aku benar-benar ingin membantu. Lagi pula, apa salahnya menerima bantuan sesekali?”
Widuri terdiam sejenak. Sebenarnya, ia tahu bahwa Fajar hanya berniat baik, tapi entah mengapa setiap kali melihatnya, ada rasa jengkel yang muncul begitu saja. Mungkin karena pertemuan mereka yang selalu diwarnai oleh hal-hal tak menyenangkan.
"Baiklah," kata Widuri akhirnya, menyerah pada keadaan. "Kalau kamu bisa memperbaiki mobil ini, silakan."
Fajar tersenyum lega dan segera memeriksa mesin mobil. Ia tidak berkata apa-apa lagi, hanya fokus pada pekerjaannya, berusaha menemukan masalah yang menyebabkan mobil itu mogok. Widuri memperhatikan dari jauh, masih dengan rasa waspada. Meskipun ia membiarkan Fajar membantu, tetap ada perasaan enggan di dalam hatinya.
Setelah beberapa menit, Fajar bangkit dan mengelap tangannya. "Sepertinya masalahnya nggak besar, mungkin cuma kabel yang longgar. Mobilmu harusnya bisa jalan lagi sekarang."
Widuri memutar bola matanya, setengah tidak percaya. "Benarkah?"
"Coba saja," Fajar menjawab dengan tenang.
Dengan sedikit ragu, Widuri kembali masuk ke dalam mobil dan mencoba menyalakan mesin. Benar saja, mobil itu menyala dengan mulus. Widuri merasa sedikit lega, meskipun ia masih tidak ingin menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Fajar.
"Terima kasih," kata Widuri singkat, suaranya masih datar.
Fajar mengangguk sambil tersenyum tipis. “Sama-sama. Dan hei, tidak usah terlalu sinis padaku, oke? Aku nggak seburuk itu kok.”
Widuri hanya mendengus pelan, tetapi kali ini tanpa kemarahan. Ada sedikit pengakuan dalam sikapnya, meskipun dia tidak mau menunjukkannya secara terang-terangan.
Setelah memastikan mobilnya benar-benar berfungsi, Widuri segera melanjutkan perjalanannya ke rumah Naya. Namun, sebelum Fajar beranjak pergi, ia berkata, "Kita akan bertemu lagi di kantor Dante, kan? Jadi... sampai jumpa di sana."
Widuri menatap Fajar sejenak, lalu mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia tahu, meskipun pertemuan mereka selalu penuh ketegangan, kemungkinan besar Fajar akan terus muncul dalam hidupnya, terutama dengan proyek yang tengah dikerjakan Naya dan Dante. Dan dengan kesadaran itu, ia hanya bisa berharap bahwa pertemuan mereka berikutnya akan lebih baik daripada yang sebelumnya.
Saat mobil melaju, Widuri tidak bisa menahan senyum kecil di sudut bibirnya. Meski Fajar membuatnya kesal, ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak terlalu membenci pria itu seperti yang ia duga.
"Aneh," gumamnya pelan sambil melirik ke kaca spion, melihat bayangan Fajar yang semakin jauh.