Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma Zanya
Bugghh!
Sebuah tinju mendarat di pipi Razka, dan membuatnya tersungkur.
"P-Pak Marlon?" Razka tergagap, menatap amarah di wajah Marlon.
"Sangat disayangkan prestasimu selama ini, Razka. Seandainya kamu bisa menjaga sikap, karir dan masa depan kamu pasti cerah. Tapi, sepertinya kamu justru menginginkan kehancuran untuk diri kamu sendiri." Ucapan Marlon terdengar tenang, namun siapapun yang melihat wajahnya pasti tahu ia sangat marah.
"Maaf, Pak... Ini hanya kesalahpahaman... Saya dan Zanya punya hubungan spesial.. Ini masalah pribadi." Razka berkilah.
"Tidak ada yang pribadi jika menyangkut kekerasan, dan dialami oleh orang terdekatku. Terlebih lagi ini terjadi di kantorku." Ujar Marlon.
Dua orang satpam muncul dari lift, Marlon memberi kode kepada mereka, dan mereka pun segera memegang Razka.
"Radit, hubungi pengacaraku. Minta pada operator CCTV, video rekaman dari semua kamera yang menjangkau semua gerak gerik Razka sebelum dan selama penyerangan terhadap Zanya. Serahkan bersama video yang kamu rekam tadi." Titah Marlon.
"Baik, Pak!" Radit segera pergi.
Zanya sangat terguncang, lututnya terasa lemas, matanya masih basah oleh air mata. Marlon mendekati Zanya, merengkuh bahunya dan membimbingnya berjalan menuju lift ekslusif dan naik ke wisma.
Marlon membimbing Zanya untuk duduk di sofa kediaman Zanya. Gadis itu masih terdiam, tatapannya kosong, perasaannya campur aduk antara kesal, jijik, takut dan juga malu.
"Lain kali, jangan pernah beri kesempatan orang lain berbuat jahat pada kamu. Kalau kamu merasa gak nyaman, lebih baik kamu pergi sejauh mungkin. Untung tadi aku dan Radit melihat kamu diikuti oleh Razka, sehingga kami bisa cepat menyusul ke atas." Ujar Marlon.
Zanya kembali teringat kejadian tadi, ia tak bisa menahan tangisnya. Marlon menepuk-nepuk bahu Zanya untuk menenangkan gadis itu.
"Nanti kamu pasti akan dimintai kesaksian, kamu bisa, kan? Aku akan temani." Ujar Marlon.
Zanya mengangguk, Marlon kembali menepuk-nepuk bahunya. Kemudian Marlon berjalan ke kulkas, dan mengambilkan air minum untuk Zanya.
"Aku pinjam hp dan gelang kamu." Pinta Marlon.
Zanya melepas gelangnya, dan mengeluarkan ponselnya dari saku. Lalu Zanya membuka kunci ponselnya dan memberikannya kepada Marlon.
Marlon menerimanya, lalu mendownload sebuah aplikasi dan mengutak-atik ponsel Zanya juga ponselnya. Setelah selesai, Marlon memakaikan gelang ke tangan Zanya kembali.
Zanya terkejut saat merasakan gelangnya bergetar. Ia menatap gelang itu, gelang itu mengeluarkan cahaya berwarna merah muda. Kemudian Zanya menatap Marlon dengan wajah bertanya-tanya.
"Kalau ada apa-apa, kamu tinggal ketuk aja liontin gelang ini, maka liontin milikku akan bergetar. Sebaliknya, kalau aku ketuk liontin yang aku pakai, kamu akan merasakan getarannya. Jadi kapanpun kamu butuh aku, terutama di saat terdesak seperti tadi, kamu gak perlu menelepon lagi, kamu tinggal ketuk aja." Ujar Marlon.
"Kamu mau makan?" tanya Marlon kemudian.
Zanya menggelengkan kepala. "Silahkan Anda istirahat, Pak... Saya udah gak apa-apa." ujarnya.
Marlon menggeleng. "Gak! Aku gak akan biarkan kamu sendiri. Atau, kamu mau aku panggilkan teman kamu itu? Siapa namanya, Khaifa?"
"Bolehkah saya ajak dia menginap di sini, Pak?" tanya Zanya.
Marlon mengengguk dengan cepat. "Iya, tentu boleh!" jawabnya.
Zanya kemudian mengetik pesan di ponselnya.
"Katakan pada temanmu untuk datang ke security di lobi, dan bilang pada security bahwa dia tamu Pak Marlon. Nanti security akan mengantarnya kemari." Ujar Marlon.
Zanya mengangguk dan kembali mengetik pesan di ponselnya.
"Zanya, maafin aku, ya..." Ucap Marlon sambil duduk di samping Zanya. Ia mengambil tangan Zanya dan menggenggamnya.
Rasa nyaman menyelimuti hati Zanya ketika Marlon menggenggam tangannya. Ada debar halus dalam dadanya, yang membuatnya menginginkan lebih. Zanya menghela napas, mencoba mengendalikan perasaannya.
"Anda gak salah, kenapa minta maaf?" tanya Zanya.
"Aku merasa ini terjadi karena aku, aku menyuruh kamu mengambil barang-barangku di ruangan." Jawab Marlon.
"Itu adalah pekerjaan saya, Anda gak perlu merasa bersalah hanya karena saya melaksanakan pekerjaan saya. Anda sendiri yang bilang, Anda mau saya bekerja dengan profesional. Apapun yang terjadi saat saya bekerja, itu bukan kesalahan Anda." Ujar Zanya. Ia tidak ingin membuat Marlon merasa buruk.
Marlon tersenyum kecut. "Aku akan pastikan tidak ada celah bagi orang lain untuk menyentuh, kamu." Ujarnya yakin.
***
"Fa, gue takuuut...!" Zanya menghambur ke pelukan Khaifa sambil menangis saat khaifa datang ke kediamannya.
Marlon menatap Zanya yang menangis dipelukan temannya. Sejak tadi gadis itu berpura-pura tegar, padahal sebenarnya ia sangat rapuh. Mungkin Zanya belum merasa dekat dengannya, sehingga tidak bisa memperlihatkan perasaannya yang sesungguhnya. Aku akan lebih dekat dengannya sampai ia bisa menunjukkan semua yang dirasakannya, ujar Marlon dalam hati.
Khaifa memeluk Zanya, kemudian mengusap-usap rambut dan punggung Zanya.
"Lu pasti trauma banget, ya...? Nanti gue temani ke polisi, kalau perlu gue juga akan memberi kesaksian atas apa yang dia perbuat ke elu beberapa tahun silam." ujar Khaifa.
Marlon terdiam, selama ini ia menyukai Razka sebagai karyawan yang berprestasi, sehingga ia sempat mencurigai Zanya bukan gadis baik-baik karena tidak sengaja mendengar ucapan Razka.
"Terimakasih sudah datang kemari, Dok." ujar Marlon. Ia memakai kata dok untuk sapaan kepada Khaifa yang seorang dokter, karena mereka tidak dekat dan rasanya kurang sopan jika hanya memanggil nama, dan ia juga tak mungkin memanggil mbak atau kakak, karena mereka seumuran.
"Saya juga berterimakasih, Anda sudah perhatian kepada Zanya. Dia lebih dari sekadar teman bagi saya." ujar Khaifa.
Marlon tersenyum dan menganggukkan kepala. "Kalau begitu, saya permisi dulu. Sekarang saya bisa meninggalkan Zanya, karena sudah ada temannya di sini, kalai butuh sesuatu, silahkan hubungi saya." Pamit Marlon.
***
Zanya selesai merias wajahnya, lalu ia merapihkan tatanan rambutnya, kemudian memakai blazer.
Rrrrttttt.... Rrrrtttt....
Terdengar getaran dari gelang pemberian Marlon yang ia letakkan di nakas sebelum tidur semalam. Zanya tersenyum menatapnya, lalu meraih gelang itu dan memakainya, setelah ia pakai, gelang itu ia ketuk, untuk memberi isyarat bahwa ia sudah memakainya. Kemarin ia sempat lupa memakai gelang itu, dan Marlon mengomelinya, bosnya itu berkata akan mengingatkan ia dengan cara membuat gelang itu bergetar di jam-jam Zanya bersiap pergi bekerja.
Marlon mengancingkan lengan bajunya, tak sengaja ia menyentuh gelang di pergelangan tangannya. Sambil tersenyum ia mengetuk liontin gelangnya, agar gelang Zanya bergetar, sehingga gadis itu tidak lupa memakai gelangnya lagi seperti kemarin. Tak lama, gelangnya bergetar, tanda Zanya juga mengetuk liontinnya. Marlon tersenyum sambil terus mengancingkan lengan bajunya, kemudian memakai jasnya.
Setelah selesai bersiap, Zanya keluar dari kediamannya, menunggu Marlon dan Radit selesai. Sekarang Marlon melarangnya pergi dan pulang sendiri tanpa teman. Akhir-akhir ini Marlon sangat cerewet untuk segala hal, tapi entah mengapa Zanya justru merasa bahagia. Semakin Marlon cerewet, semakin Zanya senang, mungkin aku sudah gila, pikir Zanya.
Tak lama, pintu kediaman Marlon terbuka, Marlon keluar diikuti oleh Radit di belakangnya. Marlon menatap mata Zanya sambil tersenyum, Zanya tersenyum namun memalingkan wajahnya agar tak terlihat oleh Radit yang berasa di belakang Marlon.
"Apa saja agendaku hari ini?" Tanya Marlon sesampainya di ruangannya.
"Anda ada meeting dengan tim produksi pukul 09:00." Radit membacakan jadwal Marlon.
"Selain itu?" tanya Marlon.
"Hari ini Anda ada pertemuan dengan para pemegang saham Makmur Bersama, pukul 1 siang." Zanya membacakan jadwal Marlon di tabletnya.
"Oke, Radit tolong siapkan bahan meetingnya." Ujar Marlon.
"Baik, Pak!" jawab Radit, kemudian ia keluar dari ruangan Marlon.
"Zanya, sidang Razka berapa hari lagi?" Tanya Marlon.
"Tiga hari lagi, Pak." Jawab Zanya.
"Kalian sudah kosongkan semua jadwalku hari itu?" tanya Marlon.
"Sudah, Pak!" jawab Zanya.
Marlon mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pukul 1 siang nanti kita bertemu Bu Gustia lagi. Apa ada yang kamu butuhkan untuk pertemuan itu?" tanya Marlon.
Zanya mengernyitkan dahi dan berpikir. "Seperti apa?" tanyanya bingung.
Marlon tersenyum, lalu mendekati Zanya, setelah itu ia berdiri di belakang Zanya. Kedua tangan Marlon menjulur ke sisi kanan dan kiri bahu Zanya, seperti akan memeluk dari belakang.
Jantung Zanya berdebar kencang, sangking kencangnya, ia seperti bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Marlon akan memeluknya sekarang? Di sini, di kantor? Tanyanya dalam hati.
Kelamaan Up gua sedot Ubun² lu thor /Facepalm/