Miko seorang Psikiater menangani seorang pasien wanita dengan gangguan mental depresi. Tetapi dibalik itu ternyata ada seorang Psikopat yang membuatnya menjadi depresi.
Ketika pasien tersebut ternyata bunuh diri, sang Psikopat justru mengejar Miko.
Hari-hari Miko menjadi berubah mencekam, karena ternyata psikopat tersebut menyukainya.
Setelah menghadapi si psikopat ternyata ada sisi lain dari pria ini.
Bagaimana Miko menghadapi hari selanjutnya dengan sang Psikopat?
Yuk simak kisahnya di cerita Othor. Ada beberapa plot twist-nya juga loh..yang bikin penasaran...
Jangan lupa dukungannya ya man teman...
Oiya, di cerita ini ada adegan mengerikan, ****** ****** dan kata2 'agak gimana yah'
Jadi buat dek adek yg rada bocil mending skip dulu yah....maap ya dek...
Mohon bijak dalam membaca...
*Salam hangat dari othor*
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yurika23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 - Rencana pindah
“Ck! Apa-apaan sih pria ini!” gerutu Miko sengaja dan terdengar ke telinga Morino.
“Apa yang kau inginkan dariku!” tanya Miko sebelum menaiki mobil Morino.
“Sudah cepat naik!”
Morino membuka pintu mobil depannya untuk Miko, memastikan wanita itu masuk dan sudah duduk di kursi depan. Ia menutup pintu mobil, kemudian akan melangkah ke pintu depan sebelah kiri.
Tapi ketika Morino sudah hampir duduk di kursi kemudi, tiba-tiba Miko membuka pintu mobil cepat lalu melarikan diri, berusaha kabur dari pria itu dengan berlari sekuat mungkin. Morino hanya menghela nafas kasar sambil mengumpat memukul setir mobil, “Sial!”
Morino menutup pintu mobil dan melajukan mobilnya cepat mengejar ‘buruannya’. Miko terus berlari akan menuju keluar area parkir.
Tetapi Miko terpojok ketika ia berada di sudut yang agak sepi. Mobil Morino berhenti mendadak menyilang menghalangi jalan Miko.
Pria itu akan keluar cepat dari mobil, tetapi Miko dengan tubuhnya yang ramping mampu melewati celah kecil depan mobil. Morino tidak mengejarnya, karena di depan sana ada beberapa orang yang khawatir akan mencurigainya. Morino membiarkan Miko lolos kali itu.
Miko berlari cepat tanpa arah. Ia hanya berlari dan berlari menghindari Morino.
‘Kau tidak akan bisa lari dariku, kelinci kecil’ gumam Morino menyeramkan.
Malam harinya di rumah Miko. Ia benar-benar ketakutan. Ia tidak bisa lagi hidup tenang. Ia harus pindah secepatnya. Tapi kemana, karena kemanapun ia pergi Morino selalu membuntutinya.
Setelah beberapa lama berfikir. Miko sempat terpikir akan pergi kerumah pamannya, tapi niatnya buru-buru ia urungkan. Ia takut sesuatu menimpa pamannya nanti. Akhirmya ia mencoba cara lain.
Akhirnya Miko memutuskan untuk pindah ke kota lain. Ia ingat pernah suatu hari dia diajak ibunya ketika ia masih berumur delapan tahun ke sebuah kota kecil bernama Bullvard Town. Disana terlihat sangat tenang. Tidak terlalu banyak penduduk. Miko berfikir ia bisa membuka klinik terapi kecil-kecilan di sana.
“Yah! Fix, aku akan pindah ke tempat itu” gumamnya.
Miko buru-buru membuka laptopnya. Ia membuka mesin pencarian, mencari rumah-rumah yang dijual di kota itu. Tapi semua pencarian seolah tidak membuahkan hasil. ‘Apa karena kota itu hanya kota kecil, jadi sangat sulit mencari rumah yang akan dijual di daerah sana. Sebaiknya aku langsung kesana saja’
Paginya ia buru-buru berangkat kesana mencari rumah kosong yang bisa di tinggali atau jika belum menemukan sebuah rumah, ia bisa menyewa apartemen untuk sementara waktu.
- - -
Di sebuah kota yang sejuk, bersih dan jauh dari keramian. Miko menyusuri kota itu sendiri. Hampir seharian ia mencari rumah kosong yang akan dibelinya, tapi dia belum juga menemukan yang cocok. Ada rumah yang ia sukai namun harganya tidak disanggupi oleh Miko. Jika ia menjual rumah lamanya ditambah uang tabungannya rasanya juga belum cukup untuk membeli rumah yang ia inginkan itu.
Sampai akhirnya dia melihat sebuah rumah tidak terlalu besar yang bertuliskan bahwa rumah itu dijual.
Setelah bertanya kesana kemari, Miko bertemu dengan si pemilik rumah. Mereka membicarakan harga. Miko sesuai dengan harga yang di tawarkan si pemilik. Akhirnya transaksi tersebut deal. Besok Miko akan mengurus surat-suratnya.
Malamnya, Miko tidak kembali ke kotanya, karena ia pikir akan sangat lelah bila esoknya ia harus pulang pergi ke kota ini. Akhirnya Miko menyewa penginapan kecil dan murah hanya untuk semalam.
Tapi ketika akan beristirahat di penginapan, Miko mendadak mendapat telepon dari si pemilik rumah yang tadi siang.
“Malam Nona Miko. Kami minta maaf sebelumnya, tapi sepertinya rumah kami tidak jadi di jual. Atau jika anda mau, pembayarannya bisa dua kali lipat dari harga yang tadi siang aku tawarkan”
“Apa! Tapi tadi kita sudah deal dengan harga itu? Kenapa tiba-tiba anda batalkan, Tuan?!” pekik Miko geram.
“Aku minta maaf sekali lagi, Nona. Aku sarankan agar Nona mencari yang lain saja. Selamat malam” sambungan telepon terputus sepihak.
Miko belum percaya dengan keputusan orang tadi. ‘Apa-apaan?’
Miko menghela nafas kasar. Seolah pasrah dengan keadaan, besok ia terpaksa mencari lagi rumah kosong yang di jual.
Di tempat yang berbeda,
Seorang pria memberi sejumlah uang kepada pria pemilik rumah yang baru saja menelepon Miko.
“Kerja bagus. Terimakasih atas bantuanmu” ujar si pria.
“Yah. Aku hanya kasihan pada wanita itu” ucap pria pemilik rumah sambil mengambil uang dari si pria misterius.
Esok paginya yang agak dingin,
Miko kembali keliling mencari rumah dijual. Ia ingat kemarin ada dua rumah yang kosong. Keduanya bertuliskan di papan bahwa rumah itu di jual. Akhirnya Miko bergegas kesana.
Tapi anehnya lagi, ketika tiba di lokasi. Satu rumah yang ia lihat kemarin terpampang papan iklan penanda bahwa rumah itu dijual, sekarang sudah tidak ada lagi. ‘Apa rumah ini sudah laku? Tapi apa iya secepat itu?’ Miko tak habis pikir.
Berarti tinggal satu rumah lagi yang akan ia lihat.
Rumah bercat putih bersih, tanpa pagar dan berlantai dua. Di depannya plang papan iklan masih berdiri.
Tetapi Miko melihat lingkungan di sekitarannya sedikit meyeramkan. Beberapa meter dari rumah itu, terlihat bekas botol minuman keras berserakan di sebuah sudut tembok yang penuh dengan coretan dinding. Ada beberapa anak muda yang berjalan kaki terlihat mengenakan anting dan sebagian lagi berambut punk.
Di depannya tidak terlalu banyak rumah. Hanya ada beberapa deret rumah disana. Juga ada rumah tua terbengkalai berlantai tiga di sebrang sebelah kiri rumah yang dijual.
‘Ck, apa aku harus tinggal di lingkungan seperti ini’ keluh Miko.
Akhirnya Miko akan rehat sejenak di sebuah kedai kopi tak jauh dari sana untuk menenangkan pikiran. Miko memesan Mocha latte.
Beberapa orang di kedai itu sempat memandang kearah Miko, karena wajahnya memang terlihat asing disana.
Seorang pria setengah baya menghampirinya.
“Nona, baru disini? Aku belum pernah melihamu sebelumnya?” sapanya ramah.
“Aku sedang mencari rumah yang sedikit murah disini, Paman” ungkap Miko.
“Ah, begitu. Apa kau sudah lihat rumah di sebelah sana dekat pohon cherry besar?”
“Oh yang itu. Ya, aku sudah melihatnya tadi. Tapi aku coba mencari yang lain dulu” ujar Miko.
“Disitu bangunannya baru di renovasi. Tapi belum lama ditinggal oleh pemiliknya dan di jual. Pemiliknya seorang wanita baru bercerai dengan suaminya. Sepertinya wanita itu sedang membutuhkan uang, dia janda tiga anak. Kalau kau membelinya mungkin bisa sedikit membantu” jelas pria tua itu.
“Ah, ya. Akan kupikirkan, tapi sepertinya aku akan mencari apartemen dulu”
“Ini nomer teleponku, simpanlah. Barangkali suatu saat kau berminat dengan rumah itu, aku bisa menghubungi pemiliknya” pria tua yang ramah itu memberikan secarik kertas yang sudah ditulis nomer telepon di atasnya