Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 – Kelanjutan Debar-Debar
Malam di Dubai terasa hangat, namun suasana di antara Hawa dan Harrison jauh lebih sulit digambarkan. Setelah kejadian makan malam romantis yang dirancang oleh Emma, kini mereka kembali ke hotel. Di dalam mobil, Hawa hanya bisa diam, menatap jalanan kota yang penuh gemerlap, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdetak tidak karuan sejak kejadian tadi.
Harrison, di sisi lain, melirik Hawa beberapa kali dari sudut matanya. Ia ingin mengatakan sesuatu untuk mencairkan suasana, tapi bibirnya seolah terkunci. Dalam hatinya, ia terus memutar kembali momen saat ia mendekap Hawa tadi.
Di Lobi Hotel.
Ketika mereka tiba di lobi hotel, Hawa melangkah lebih dulu dengan langkah kecil dan ragu, wajahnya masih sedikit merona. Ia sadar bahwa setiap langkahnya kini diikuti oleh Harrison, dan itu cukup membuatnya gugup.
“Tuan Harrison, apakah Emma sudah tertidur di kamar?” Hawa bertanya pelan, mencoba memecah keheningan yang mulai membuatnya tidak nyaman.
Harrison tersenyum tipis. “Sepertinya sudah. Ares menemaninya sampai kita kembali. Jangan khawatir, dia anak yang mandiri.”
“Oh, baiklah,” jawab Hawa sambil mengangguk. Ia menunduk, tidak berani menatap Harrison terlalu lama.
Saat mereka berdiri di depan lift, keheningan kembali melingkupi. Hawa menggigit bibirnya, merasa situasi ini terlalu canggung. Harrison, yang berdiri di sampingnya, tampak tenang, meski sebenarnya pikirannya sedang tidak fokus.
Namun, momen itu pecah saat Harrison tiba-tiba menoleh. Ia menangkap sekilas sosok wanita yang tampaknya ia kenal. Matanya menyipit, mencoba memastikan siapa yang baru saja ia lihat.
“Ella?” gumam Harrison pelan, nyaris tidak terdengar.
Hawa menoleh, bingung dengan perubahan ekspresi Harrison. “Ada apa, Tuan Harrison?”
“Ah, tidak,” Harrison buru-buru menggeleng dan tersenyum tipis. “Hanya merasa seperti melihat seseorang yang kukenal.”
“Oh,” Hawa mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, meski ia menyadari ada sesuatu di balik tatapan Harrison yang tiba-tiba menjadi serius.
Ketika pintu lift terbuka, mereka masuk bersama, berdiri berdampingan. Hawa mencoba menjaga jarak, tapi ruang lift yang sempit membuatnya sulit untuk melakukannya. Ia bisa merasakan kehadiran Harrison begitu dekat, membuatnya semakin salah tingkah.
Setelah sampai di lantai mereka, Harrison membuka pintu kamar suite dengan hati-hati. Di dalam, Emma sudah tertidur dengan damai di tempat tidurnya. Ares yang duduk di sofa mengangguk pada Harrison dan Hawa sebelum pamit untuk kembali ke kamarnya.
“Emma sangat menyukai liburan kali ini,” kata Harrison pelan sambil berjalan ke arah tempat tidur putrinya, memastikan selimutnya rapi.
“Dia anak yang sangat ceria,” jawab Hawa dengan senyuman. “Aku senang bisa mendampinginya.”
Harrison menoleh, menatap Hawa dengan lembut. “Terima kasih, Hawa. Kau sudah melakukan banyak hal untukku dan Emma.”
Hawa hanya tersenyum tipis, merasa tidak perlu menjawab lebih dari itu. Namun, ketika Harrison mendekat, ia bisa merasakan jantungnya kembali berdebar.
“Tuan Harrison… apakah ada yang ingin Anda sampaikan?” Hawa bertanya, mencoba memecah keheningan.
Harrison tertawa kecil. “Kenapa kau masih memanggilku Tuan? Bukankah kita sudah cukup dekat?”
Hawa tertegun, tidak tahu harus menjawab apa. “Aku… hanya merasa itu lebih sopan.”
“Kau tidak perlu terlalu formal, Hawa,” kata Harrison dengan suara yang lebih lembut. “Setidaknya, ketika kita hanya berdua seperti ini.”
Hawa menunduk, wajahnya memerah. “Baik, Harrison.”
Nama itu meluncur dari bibirnya dengan pelan, tapi cukup untuk membuat Harrison tersenyum lebar. Ada sesuatu yang berbeda ketika Hawa menyebut namanya tanpa embel-embel formalitas.
Setelah memastikan Emma nyaman, Harrison menutup pintu kamar anaknya, meninggalkan mereka berdua di ruang tengah suite yang luas. Hawa duduk di sofa, mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka tasnya, tapi tangannya sedikit gemetar.
Harrison, yang berdiri di dekat minibar, menuangkan segelas air untuk dirinya sendiri. Ia melirik Hawa, merasa ada sesuatu yang harus ia katakan, tapi ia tidak tahu bagaimana memulainya.
“Hawa,” panggil Harrison akhirnya, membuat Hawa mendongak.
“Ya?”
“Aku ingin bertanya sesuatu.” Harrison mendekat, duduk di sofa di hadapan Hawa. “Apa kau pernah merasa… bingung dengan perasaanmu sendiri?”
Pertanyaan itu membuat Hawa terdiam. Ia menatap Harrison, mencoba memahami maksud dari pertanyaannya. “Mungkin. Tapi kenapa Anda bertanya seperti itu?”
Harrison menghela napas, menunduk sejenak sebelum kembali menatap Hawa. “Tidak, Hawa. Aku hanya bertanya saja.”
Hawa tertegun, tidak tahu harus merespons bagaimana. Ia merasakan debaran jantungnya semakin kuat, tapi ia mencoba untuk tetap tenang.
“Oh begitu, Harrison?” tanyanya dengan suara pelan.
“Jangan salah paham, Hawa. Baiklah, aku akan mengatakannya tapi tidak tahu bagaimana menjelaskannya,” Harrison mengaku. “Tapi setiap kali aku bersamamu, aku merasa berbeda....”
Kata-kata itu membuat suasana menjadi semakin canggung. Hawa merasa wajahnya semakin panas, tapi ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Harrison.
“A-aku…” Hawa membuka mulutnya, tapi sebelum ia sempat menjawab, ia tanpa sengaja menjatuhkan tasnya.
Refleks, Harrison berlutut untuk membantu Hawa memungut barang-barangnya. Dalam proses itu, tangan mereka bertemu, membuat keduanya terhenti sejenak.
Mata mereka bertemu, dan waktu seolah berhenti. Mereka begitu dekat, dan ruang di antara mereka terasa semakin kecil.
“Harrison…” bisik Hawa, nyaris tanpa suara.
Harrison tidak menjawab, hanya menatap Hawa dengan intens. Namun, ketika ia menyadari betapa dekat mereka, ia segera mundur, wajahnya memerah.
“Maaf,” kata Harrison cepat, berdiri dengan gugup.
“Tidak, tidak apa-apa,” balas Hawa, meski ia sendiri merasa jantungnya hampir melompat keluar.
Keduanya berdiri dalam keheningan, masing-masing mencoba menenangkan diri. Namun, momen itu meninggalkan sesuatu yang tidak bisa diabaikan sebuah perasaan yang semakin sulit untuk disembunyikan.
Malam semakin larut, namun suasana hati Harrison dan Hawa belum juga tenang. Keduanya masih dilingkupi debaran yang sulit diabaikan setelah momen di ruang tengah tadi.
Di Kamar Hawa.
Hawa berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, mencoba menenangkan pikiran yang terus berputar. Bayangan tatapan mata Harrison kembali terlintas di kepalanya, membuat wajahnya kembali memerah.
"Apa yang sebenarnya terjadi denganku? Kenapa aku jadi seperti ini hanya karena dia…?" Hawa bergumam sambil duduk di tepi tempat tidur. Tangannya menyentuh dadanya yang masih berdebar.
Pikirannya terus memutar percakapan singkat mereka. Harrison bukan hanya seorang atasan baginya, tapi pria itu memiliki cara membuat hatinya kacau dengan sikap lembut namun penuh karisma.
"Aku tidak boleh seperti ini," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi setiap kali ia mengingat bagaimana tangan mereka bersentuhan, hatinya kembali goyah.
Di Kamar Harrison.
Di kamar sebelah, Harrison duduk di sofa dekat jendela. Pemandangan kota Dubai yang gemerlap seolah tidak menarik perhatiannya malam ini. Yang ada di pikirannya hanya Hawa—senyumnya, sorot matanya, dan sikap lembutnya yang tanpa sadar telah membuatnya jatuh hati.
Harrison menghela napas berat. "Ini tidak boleh terjadi… Aku hanya tidak ingin dia merasa terbebani."
Namun, meski ia mencoba menyangkal perasaannya, hatinya tidak bisa berbohong. Hawa telah membawa cahaya baru dalam hidupnya, sebuah perasaan yang bahkan belum pernah ia rasakan sejak lama.
Sebuah keraguan mulai muncul di benaknya. "Apa yang akan dia pikirkan tentangku? Apakah dia juga merasakan hal yang sama?"
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.