Setelah terbangun dari mimpi buruk di mana ia dibunuh oleh pria yang diam-diam ia kagumi, Ellison, Queen merasa dunianya berubah selamanya.
Sejak hari itu, Queen memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam kehidupan Ellison. Dia berhenti mengejar cintanya, bahkan saat Ellison dikelilingi oleh gadis-gadis lain. Setiap kali bertemu Queen akan menghindar- rasa takutnya pada Ellison yang dingin dan kejam masih segar dalam ingatan.
Namun, segalanya berubah saat ketika keluarganya memaksa mereka. Kini, Queen harus menghadapi ketakutannya, hidup dalam bayang-bayang pria yang pernah menghancurkannya dalam mimpinya.
Bisakah Queen menemukan keberanian untuk melawan takdirnya? Mampukah dia membatalkan pertunangan ini atau takdir memiliki rencana lain untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Queen mengenakan piyama bermotif kucing, raut wajahnya tampak frustrasi sambil menyusuri lorong-lorong mansion mencari ayahnya. Dia bertanya pada para pelayan, namun mereka juga menggeleng, tidak ada yang melihat sang ayah.
Soal Ellison yang mengantarkannya tiba-tiba membuat dia sampai sekarang bertanya-tanya. Dia sempat berpikir bahwa Ellison pura-pura baik kepadanya untuk menjatuhkan nya.
“Ayah di mana sih?” gumamnya sambil berjalan tergesa-gesa. Hanya ruang kerja ayahnya yang belum ia datangi.
Langkahnya semakin lebar dan cepat menuju ruangan tersebut, tetapi, ketika ia sampai, Mario masih tidak ada di sana.
Saat berbalik untuk pergi, matanya tertuju pada sebuah map yang tergeletak di atas meja kerja. Rasa penasaran mendorong tangannya untuk membuka map itu.
Awalnya ia acuh tak acuh, tetapi tiba-tiba matanya melebar dan nafasnya tertahan saat membaca isi dari map tersebut. Kakinya mendadak terasa lemah, ia meremas baju yang ia kenakan, dan air mata mulai mengalir deras.
Dengan perasaan ketakutan yang terpancar jelas di wajahnya, Queen berjalan keluar dari ruangan dengan langkah tertatih-tatih.
"Mau kemana Nona?" tanya salah satu maid.
Queen hanya tersenyum tipis, menyembunyikan kesedihan dalam hatinya.
“ aku ingin menemui Rena,” jawabnya dengan suara yang bergetar, berusaha keras menyembunyikan rasa takut yang menguasainya.
Kening maid itu berkerut lembut ketika dia memandang Queen. "Dengan pakaian seperti ini? Nanti non masuk angin," katanya dengan nada khawatir.
Queen menggelengkan kepala, bibirnya mengerucut sejenak sebelum dia menjawab.
"Cuma sebentar kok, Pak Johan nanti yang akan antarin aku," ucapnya mencoba menenangkan.
Maid itu mengangguk, meskipun rasa khawatir masih terlukis di wajahnya. "Baiklah," katanya akhirnya.
Queen berjalan menuju garasi dimana Pak Johan sudah menanti, bersantai bersama pengawal lainnya.
"Pak, antarin aku dong ke kafe Rena. Aku pengen jemput Rena," pinta Queen, memaksakan senyum yang meyakinkan.
Pak Johan menghela nafas berat. Dia menatap Queen yang tampak begitu bertekad. "Nanti non masuk angin. Lagi pula, Rena sebentar lagi pulang," coba ia memberi alasan.
Queen mengerucutkan bibirnya lagi, kekeuh. "Pokoknya akubingin jemput Rena." katanya lebih tegas.
Akhirnya, Pak Johan mengalah. "Baiklah, ayo Bapak antar," ujarnya, sambil tersenyum lemah. Mereka pun berangkat.
***
Sampai di depan kafe, Pak Johan berkata, "Sudah sampai, non." Namun Queen terlihat melamun, matanya tertuju pada pemandangan kafe, tidak mendengarkan.
"Non," panggil Pak Johan lagi, suara mendesaknya membuyarkan lamunan gadis itu.
Gadis itu terkejut dan gelagapan, lalu dengan cepat dia berkata, "Oh ya, terima kasih Pak. Bapak pulang duluan saja ya."
Pak Johan meneliti majikannya dengan tatapan penuh kecurigaan, alisnya berkerut saat ia bertanya, "Nona yakin?"
Queen hanya mengangguk lembut, dengan tatapan serius ia menjawab, "Baiklah nona, hati-hati."
Saat ia melihat mobil yang dikendarai Pak Johan menghilang di kejauhan, Queen menoleh ke kafe di depannya namun ia tidak melangkah mendekat. Sebaliknya, ia berbalik arah menuju ke jalan raya dan menghentikan sebuah taksi yang melintas.
***
KEDIAMAN KELUARGA ALVANZO
Di rumah keluarga Alvanzo, usai makan malam bersama, mereka berkumpul di ruang tamu. Hari itu, mereka tidak sempat bertemu karena kesibukan masing-masing, hanya saat malam tiba mereka bisa berkumpul, meskipun anak bungsu jarang hadir.
Tengah asyik berbincang, seorang pengawal masuk dengan tergopoh-gopoh. "Maaf tuan, menganggu," ucapnya memecah kesunyian.
Keempat orang di ruangan itu menoleh serentak, terkejut mendengar berita dari pengawal. "Ada Nona Vale di depan," lanjut pengawal tersebut.
Mereka mengerutkan kening, tercengang mendengar Queen berada di kediaman mereka pada malam.
"Suruh masuk pak," ucap Soya dengan nada suara yang berat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
Queen berjalan lambat mendekati mereka, kepala tertunduk dan wajah penuh kecemasan. Dibalik piyama yang dipakainya dan luka cakar yang terlihat jelas di wajahnya, dia tampak sangat rapuh.
Soya, dengan suara lembutnya yang khas, menyambutnya, "Sayang," sambil bergerak mendekat ke arah Queen.
Richard, yang memperhatikan dari jauh, mulai merasa tidak nyaman dengan kondisi Queen.
Dia memberi isyarat kepada Alina. "Alina, suruh adikmu pulang," perintah Richard dengan nada serius.
Alina dengan cepat mengangguk, mengambil ponsel yang berada di samping Chiko, suaminya, untuk melakukan apa yang diminta ayahnya.
Sementara itu, Queen berdiri di tempat, tanpa berkata-kata. Matanya yang mulai memerah menunjukkan ia sedang menahan kesedihan.
Melihat ini, kekhawatiran Soya semakin menjadi-jadi. Dia menggenggam kedua bahu Queen yang gemetar, mencoba menatap mata gadis itu yang masih menunduk.
"Apa yang terjadi, sayang? Kamu sakit?" tanya Soya, suaranya penuh kekhawatiran.
Queen hanya menggeleng lemah tanpa menatap balik ke arah Soya.
Melihat keadaan semakin mengkhawatirkan, Soya menoleh pada suaminya, meminta dukungan.
Richard segera mendekati mereka, berusaha memberikan ketenangan. "Ayo, cerita sama daddy dan mommy," ujarnya, mengajak Queen untuk berbicara.
Queen berdiri di tengah ruangan, napasnya terengah-engah dan berat, melukiskan keraguan yang menebal di hatinya. Matanya yang memelas terangkat perlahan ke arah mereka.
"Daddy," suaranya parau, nyaris berbisik, "Aku ingin membatalkan pertunangan ini."
Soya dan Richard tampak terkejut, matanya terbelalak tidak percaya, sementara Alina dan Chiko saling bertukar pandang yang penuh kebingungan.
"Kenapa?? Apa Ell marahin kamu kemarin?" Soya bertanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran, berharap Queen menggelengkan kepala.
Queen menghela nafas panjang, sebelum menggelengkan kepala, menyangkal dugaan Soya.
"Bukan itu, Mom." Dengan gerakan tegas,
Queen melepaskan cincin pertunangannya dan menyerahkannya ke tangan Soya. "Aku gak pantas buat kak Ell. Dia bisa dapetin wanita yang lebih sempurna dariku."
Kerutan di dahi Soya dan Richard semakin dalam mendengar keputusan Queen. Tiba-tiba, suasana tegang tersebut dipatahkan oleh suara bariton Ellison, yang menggema di seluruh ruangan.
"Gak ada yang boleh membatalkan pertunangan ini," katanya sambil berdiri di ambang pintu, ekspresi wajahnya tetap datar, mencerminkan keteguhan hatinya.
Suasana di ruangan itu mendadak hening ketika Ellison muncul dengan wajah penuh lebam.
Queen, yang tadinya hanya mendengar suara, kini menoleh dan syok melihat kondisi Ellison. Ekspresi terkejut dan khawatir terpancar jelas dari wajahnya. Waktu di mall dia tidak terlalu memerhatikan Ellison karena sibuk menghindar..
Dengan langkah gontai, Ellison mendekati Queen. Saat berdiri tepat di depannya, dia segera mengambil cincin dari tangan Queen dan dengan perlahan memasangkannya kembali ke jari lentiknya.
Jarak antara mereka begitu dekat sehingga Queen bisa merasakan tiap hembusan nafas Ellison.
Mata Queen tak lepas dari wajah lebam Ellison yang sedang fokus dengan cincin itu. Tanpa sadar, tangannya terangkat, merapikan helai rambut yang menutupi mata Ellison.
Ellison menatap tajam ke mata Queen yang sembab, suaranya serak namun tegas, "Jika lo berani batalin pertunangan ini lagi, gue enggak akan segan-segan buat lo menderita."
"Tapi aku penyakitan kak, aku enggak... "
Mata Queen tiba-tiba terbuka lebar ketika jari Ellison mendadak menekan bibirnya untuk membungkam kata-kata yang baru hendak terlontar.
Kedua bola matanya hampir menahan gejolak emosi yang muncul dari rasa terkejut dan rasa takut yang bercampur menjadi satu.
"Ingat ancaman gue," bisik Ellison dengan suara yang mencubit dingin hingga ke tulang.
Queen hanya bisa berkedip-kedip, memproses ancaman tersebut. Dalam kebingungan, dia mengangguk perlahan, menerima situasi yang tidak ia pahami sepenuhnya.
Ellison tersenyum, seolah puas melihat reaksi Queen, lalu dengan gerakan ringan menepuk kepala gadis itu sebagai tanda "Baiklah".
Sekejap kemudian, ekspresi wajah Ellison kembali serius.
Kerutan muncul di dahi Queen, bingung dengan keadaan sebenarnya mengenai Ellison. 'Apa kak Ell sudah tahu sebenarnya siapa aku? Tidak mungkin dia tak marah setelah aku membohonginya,' gumam Queen dalam hati.
Dalam keheningan yang dipenuhi tatapan matanya yang masih diliputi kebingungan, Ellison berseru, "Pak Bandi!"
Seorang pria segera mendekat dengan langkah cepat. "Antar dia pulang," perintah Ellison singkat.
Pak Bandi mengangguk, kemudian mempersilahkan tangannya pada Queen. "Mari nona muda, bapak antar," ucapnya dengan lembut, menyela suasana yang tadi tegang.
Soya mendekati Queen dengan langkah pelan, menyisir rambut sebahunya ke belakang. "Pulang ya, ayah dan Rena pasti khawatir," ucapnya dengan nada lembut.
"Ingat, jangan pernah keluar malam tanpa kabar." Queen mengangguk lembut, matanya menunjukkan rasa penyesalan.
Ketika Queen menghilang di ujung jalan, Ellison menarik napas dalam. Hatinya berdetak keras, rasa frustrasi merambat di dada.
"Dek, kenapa dengan wajahmu?" tanya Soya, suaranya penuh kekhawatiran.
Ellison menggeleng, memaksakan senyum tipis pada wajah dinginnya. "Tidak apa, hanya sedikit perselisihan," jawabnya cepat sebelum bergegas menuju kamarnya.
Soya menarik napas panjang, kesedihan melingkupinya. "Kapan dia berubah," gumamnya lirih.
Richard mendekat, tangannya merengkuh bahu Soya. "Sabar, sayang. Ell perlahan akan kembali seperti dulu. Separuh jiwanya sudah kembali." katanya, mencoba menenangkan.
Di sudut ruang, Alina terpaku, matanya memandang tajam pada langkah adiknya yang menjauh.
"Aku enggak tahu... tatapan Ell begitu mengintimidasi, sangat mirip dengan almarhum kakek," bisik Alina, suaranya cukup keras untuk didengar oleh seluruh keluarga.
seru cerita nya🙏
GK jd mewek UIN🤭
ko ada aja yg GK suka